Dunia Butuh Lebih Banyak Kawasan Bebas Polusi Cahaya

CNN Indonesia | CNN Indonesia
Rabu, 31 Jan 2018 16:53 WIB
Polusi cahaya yang semakin parah belakangan ini membuat kita lebih sulit melihat gugusan bintang dengan jelas di langit.
Turis menikmati pemandangan Galaksi Bima Sakti di Pulau Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur. (ANTARA FOTO/M Agung Rajasa)
Jakarta, CNN Indonesia -- Fenomena gerhana bulan atau supermoon bukan satu-satunya keajaiban alam yang bisa dinikmati. Setiap tahunnya, ada banyak fenomena alam yang terjadi di langit, namun tak setiap hari kita bisa beruntung untuk menyaksikannya.

Pasalnya, untuk melihat fenomena seperti Cahaya Utara, Galaksi Bima Sakti, atau sekadar langit berbintang, kita butuh langit yang cerah dan terbebas dari polusi cahaya. Kondisi tersebut hanya bisa didapatkan di kawasan yang sangat gelap, kemungkinan besar di tengah hutan atau di puncak gunung.

International Dark-Sky Association (IDA) merupakan organisasi non-profit yang selama ini rajin merilis informasi mengenai kawasan-kawasan gelap yang cocok untuk dijadikan tempat berburu fenomena alam di langit.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tak hanya berguna bagi turis, informasi yang diberikan juga memberikan wawasan mengenai pentingnya eksistensi kawasan gelap untuk ilmu pengetahuan manusia, terutama di bidang astronomi.

Oleh karena itu, IDA menyarankan agar tidak boros dalam hal penggunaan lampu, yang berujung pada polusi cahaya dan konsumsi energi fosil berlebihan.

Setiap tahunnya, organisasi ini menobatkan beberapa kawasan baru dalam status Dark Sky Park, Dark Sky Reserve, dan Dark Sky Sanctuaries.

Dark Sky Park merupakan taman milih publik atau pribadi yang dinyatakan bebas dari polusi cahaya, sementara Dark Sky Reserve adalah kawasan baru yang patut dilindungi dari polusi cahaya.

Sedangkan Dark Sky Sanctuaries merupakan kawasan tergelap di dunia patut dilindungi dari polusi cahaya.

[Gambas:Instagram]

“Kawasan-kawasan tersebut merupakan tempat terbaik di bumi untuk menyaksikan fenomena alam di langit. Kami berharap ada semakin banyak tempat seperti ini yang tak jauh dari pemukiman sehingga mudah dijangkau,” kata Manajer Program IDA, Dr. John Barentine.

“Beberapa kawasan yang masuk daftar berupa taman publik atau taman nasional. Kami ingin semakin banyak orang yang bisa menikmati fenomena alam di langit dengan mudah, sebelum kegiatan tersebut terancam punah akibat polusi,” lanjutnya.

Ada puluhan tempat yang masuk dalam ketiga kategori. Sebagian besar tempat berada di Amerika Serikat, Kanada, dan Eropa, negara yang kawasan hijaunya mendapat mendapat fokus perlindungan dari pemerintahnya.

Namun, ada juga yang berada di kawasan Asia dan Australia, seperti Yeongyang Firefly Eco Park (Korea Selatan) serta Taman Nasional Warrumbungle (Australia) yang masuk dalam daftar Dark Sky Park.

[Gambas:Instagram]

Yeongyang Firefly Eco Park bisa ditempuh dari Seoul menggunakan kendaraan bermotor dengan waktu tempuh sekitar 5 jam.

Kawasan ini dikelilingi pegunungan yang curam, sehingga tak banyak pertanian atau perkebunan yang membuka lahan. Oleh karena itu, jarang ada pemukiman penduduk di kawasan ini.

Turis bisa datang ke kawasan ini untuk menikmati beragam fenomena di langit sekaligus melihat populasi kunang-kunang.

Pemerintah Korea Selatan memang menjadikan tempat ini sebagai kawasan pelestarian binatang malam tersebut sejak tahun 2005.

Sedangkan Taman Nasional Warrumbungle berada di New South Wales. Dikelilingi pegunungan, kawasan ini menjadi lokasi studi Juruan Astronomi dari Universitas Nasional Australia.

Untuk menikmati fenomena alam di langit, turis bisa mengunjungi observatorium-nya.

Indonesia memang belum ada yang masuk dalam daftar IDA. Namun, ada beberapa kawasan yang populer dikunjungi untuk menikmati fenomena Galaksi Bima Sakti, seperti Dataran Tinggi Dieng, Gunung Bromo, Gunung Gede, Segara Anakan, Desa Wae Rebo, Pulau Kepa, Gunung Semeru, dan Tanjung Papuma.

(ard)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER