Jakarta, CNN Indonesia -- Melihat lumba-lumba dari jarak dekat di habitatnya adalah salah satu keinginan sebagian orang. Sensasi menggembirakan itu akhirnya saya rasakan saat mengunjungi Pulau Pisang, salah satu daerah di Kabupaten Pesisir Barat, Provinsi Lampung.
Butuh pengorbanan yang cukup besar untuk mencapai Krui, tujuan utama ketika hendak mengunjungi Pulau Pisang. Untuk menuju Krui saya harus menempuh jarak sekitar 244 kilometer dari Bandara Radin Inten II, Bandar Lampung.
Krui merupakan salah satu destinasi wisata favorit bagi para peselancar atau surfer. Krui bisa dikatakan tak kalah dengan Hawaii, karena tempat ini memiliki ombak yang bisa mencapai ketinggian enam meter. Suasana yang tenang serta keramahan masyarakatnya, menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan untuk datang ke Krui.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menumpang minibus ke Krui, butuh sekitar tujuh sampai delapan jam. Mungkin bisa lebih cepat kalau saya menggunakan kendaraan roda empat yang lebih kecil dan tangguh.
Perjalanan panjang itu juga harus dilalui dengan melewati jalan rusak lantaran banyak melewati beberapa titik longsor. Belum lagi banyak truk pengangkut barang yang juga melewati rute yang sama dengan yang kami lewati.
Maklum, rute menuju Krui merupakan rute lintas Sumatera yang menghubungkan Lampung dengan Bengkulu. Namun, semua cobaan mulai dari jalan rusak, melewati hutan dan desa-desa di kawasan Lampung pun tak menyurutkan niat saya untuk bisa bertemu dengan lumba-lumba.
Sekitar pukul 21.00 saya akhirnya tiba di Krui. Saya dan rombongan memilih untuk menyewa sebuah guest house yang letaknya berada di pinggir pantai dengan harga sewa sekitar Rp300 ribu per kamar per malamnya.
Sebuah kamar dengan springbed, kamar mandi di dalam dan pendingin ruangan cukup untuk melepas lelah perjalanan delapan jam dari Bandar Lampung menuju Krui. Sebelum esok paginya saya bersiap bertemu dengan sang pujaan hati, lumba-lumba penghuni Samudera Hindia.
Saya menumpang kapal milik Dinas Perhubungan Krui untuk bisa mencapai Pulau Pisang yang bisa ditempuh selama sekitar 30 menit dari Pelabuhan Tebakak, Krui. Informasi yang saya dapatkan, lumba-lumba di kawasan Pulau Pisang sering ditemui di waktu pagi dengan rentang waktu pukul 7.00 sampai 10.00.
 Pantai di Pulau Pisang. (Foto: CNN Indonesia/Titi Fajriyah) |
Sayangnya keesokan harinya saya dan rombongan terlambat bangun, sehingga baru memulai perjalanan ke Pulau Pisang sekitar pukul 7.30 pagi. Nahkoda kapal yang kami tumpangi mengatakan butuh 'keberuntungan' untuk bisa bertemu dengan lumba-lumba di Pulau Pisang.
Pasalnya, tidak semua wisatawan yang datang bisa bertemu dengan lumba-lumba hidung botol yang banyak bermain di kawasan ini. Benar saja, sepajang perjalanan ke Pulau Pisang, hanya ombak tinggi yang menemani kami, tak ada satu pun lumba-lumba yang muncul ke permukaan.
Setibanya di Pulau Pisang, pasir putih nan halus sudah menanti kedatangan kami. Embusan angin sepoi-sepoi dan panas terik matahari membuat mata ini mebelalak untuk mensyukuri nikmat dan ciptaan tuhan yang sangat indah yang dimiliki Indonesia.
 SD Pulau Pisang, satu-satunya peninggalan Belanda. (Foto: CNN Indonesia/Titi Fajriyah) |
Di Pulau yang luasnya sekitar 34 hektare itu, ada beberapa lokasi wisata yang bisa dikunjungi. Kita bisa melihat proses pembuatan kue serabi khas Pulau Pisang, proses pembuatan Tapis Krui, hingga tenunan khas daerah Krui.
Salah satu yang menarik untuk dilihat adalah Sekolah Dasar (SD) Pasar Pulau Pisang yang merupakan peninggalan Belanda. Gedung sekolah itu menjadi satu-satunya gedung buatan Belanda yang sampai saat ini masih digunakan.
Menurut Marzuki Kepala Dinas Sosial Pesisir Barat, bangunan tersebut dibangun pada tahun 1890. Sejak dibangun, hanya lantai dan atap yang mengalami perubahan. Sedangkan gentengnya masih asli sejak pertama kali dibangun.
 Proses pembuatan kue Surabi di Pulau Pisang. (Foto: CNN Indonesia/Titi Fajriyah) |
"Dulu kabarnya pernah dirombak, tapi dikembalikan seperti semula. Dinding ini yang dari kayu, ini tidak pernah diubah (dari jaman Belanda), waktu jaman saya lantai ini masih peluran," kata Marzuki yang juga siswa SD Pasar Pulau Pisang pada 1967.
Meskipun cukup jauh dari 'peradaban', di Pulau ini kita masih bisa terkoneksi dengan internet yang sinyalnya cukup kencang. Tapi, jangan berharap ada listrik di siang hari karena saat ini pasokan listrik yang masuk ke Pulau Pisang hanya ada di malam hari.
Jadipastikan powerbank terisi penuh agar bisa menjaga eksistensi, khususnya bagi kaum pemuja like dan comment di laman sosial media.
 Suasana permukiman di Pulau Pisang.(Foto: CNN Indonesia/Titi Fajriyah) |
Kunjungan saya ke Pulau Pisang tak berlangsung lama, sekitar pukul 10.00 WIB saya sudah harus kembali ke Krui.
Saat pulang, saya sudah tidak berharap bisa bertemu dengan lumba-lumba yang menjadi tujuan utama saya datang ke Pulau Pisang dan memutuskan untuk memejamkan mata sejenak sebelum turun kapal.
Namun, di tengah perjalanan, nahkoda kapal kami tiba-tiba berteriak kalau ada gerombolan lumba-lumba yang berada di sekitar kapal kami. Sontak, saya pun langsung terbangun dan mengambil handphone untuk mengabadikan mahkluk menggemaskan yang sangat bersahabat dengan manusia itu.
Rasa kagum saya semakin besar ketika jumlah lumba-lumba hidung botol yang mengiringi perjalanan kami amat banyak.
Mereka seakan gembira melompat bergantian sambil membuyikan suara khas mereka. Beberapa bahkan mencoba mendekati kapal nelayan yang lokasinya tak jauh dari kapal kami.
[Gambas:Instagram]Hari itu saya menjadi salah satu orang beruntung, karena bisa bertemu dengan mamalia dari Samudera Hindia yang terkenal bersahabat itu.
"Wah, kalian beruntung. Biasanya mereka keluar pagi hari. Tapi, siang seperti ini justru mereka masih ada," kata nahkoda kapal kami.
Hati riang pun tak terelakkan. Rupanya keberuntungan masih menghampiri kami, pasukan yang bangun kesiangan. Lamanya perjalanan dan rusaknya jalan ke Krui pun terlupakan setelah melihat lumba-lumba.
Jika Anda berkesempatan datang berkunjung ke Krui, saya sarankan untuk tepat waktu karena keberuntungaan seperti yang saya dapatkan ini sangat jarang terjadi.
(agr)