Jakarta, CNN Indonesia -- Awal tahun ini Menteri Pariwisata Arief Yahya menuturkan bahwa
nomadic tourism atau wisata embara
memiliki potensi besar untuk berkembang di Indonesia. Salah satu bentuk wisata embara yang digadang-gadang adalah
glamour camping atau kemah mewah yang populer disebut glamping.
Pada dasarnya glamping sama dengan akivitas berkemah pada umumnya, namun yang membedakannya adalah fasilitas dan layanannya mirip hotel berbintang.
Dalam tulisan yang berjudul 'Nomadic Tourism', Airef mengatakan glamping kini menjadi tren wisata baru di seluruh dunia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bahkan, Kemenpar juga menyampaikan rekomendasi terkait deregulasi perizinan pemanfaatan Taman Nasional sebagai lokasi glamping kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Menyikapi tren tersebut pegiat alam liar sekaligus sesepuh Eiger Adventure Service Team (EAST), Galih Donikara, mengatakan tidak ada masalah selama etika konservasinya masih digunakan.
"Dalam kawasan Taman nasional itu kan jelas area-areanya, ada zona pemanfaatan, rekreasi, zona inti, dan lain-lain. Selama itu tidak dilanggar maka tidak ada masalah. Tapi tolong etika berkegiatannya juga diterapkan," ujar Galih saat ditemui
CNNIndonesia.com di Jakarta pada pekan lalu.
Menurut Galih glamping juga harus didasari dengan edukasi wisata. Karena segala lini kegiatan, termasuk wisata, harus ada unsur edukasinya.
"Dibuat ekslusif saja, namanya juga glamping kan? Dimahalkan saja sekalian," katanya bersemangat.
Kelemahan bangsa kita, Galih melanjutkan, adalah ketika membeli tiket maka sudah merasa membeli kawasan itu. Sehingga mereka anggap membuang sampah sembarangan sebagai hal yang wajar, alasannya karena sudah bayar.
"Masih banyak pengelola (kawasan) yang
ewuh pakewuh. Misalnya datang pejabat kemudian dia buang puntung rokok sembarangan tapi tidak ditegur. Jadi wibawa anggota patroli hutan masih kurang," kataya.
"Pengunjung mah mengikuti peraturan, asalkan pengelolanya ketat menjaga peraturan tanpa pandang bulu."
Ia memberi contoh Kilimanjaro dan Kinabalu, yang tetap menjadi lokasi favorit para pecinta alam meskipun biaya yang dibutuhkan tidak sedikit dan juga peraturannya ketat.
Tentunya hal itu juga disokong oleh faktor fasilitas untuk para pengunjung, yang memang memadai.
Terkait hal tersebut, Galih mengatakan bahwa EAST dan beberapa pihak lain sudah dilibatkan oleh Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi (PJLHK) Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup untuk membahas standar pengelolaan gunung di Indonesia.
(ard)