Frankfurt am Main, CNN Indonesia -- Sebagian besar teman merasa berat melaksanakan puasa Ramadan di Jerman, karena durasinya sekitar 18,5 jam ditambah tidak adanya makanan dan minuman serta suasana khas Ramadan seperti di Indonesia.
Namun bagi saya, Idul Fitri di Jerman terasa jauh lebih berat.
Tahun ini adalah perayaan lebaran ke-enam saya di Jerman. Tapi setiap tahun, satu per satu pengalaman baru saya dapatkan. Sehingga saya menganggap, perayaan Idul Fitri yang jauh dari saudara dan keluarga menjadi sebuah pengalaman pencarian makna dari sebuah momen Fitri yang sesungguhnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berkali-kali merayakan Idul Fitri di Jerman, semakin membuat saya tersadar bahwa setiap Muslim di dunia adalah saudara.
Tahun ini, saya kembali merayakannya dengan saudara-saudara Muslim yang bagi saya sudah seperti saudara kandung.
Jika Idul Fitri biasanya identik dengan kue nastar, ketupat, baju baru, dan semua yang lebih dari cukup, tahun ini saya merayakannya bersama saudara-saudara Muslim yang memiliki banyak keterbatasan.
Mereka adalah para pengungsi dari Afghanistan, Syria, dan Eritrea.
Saudara-saudara saya itu adalah orang-orang yang terpaksa meninggalkan negara mereka untuk menghindari perang dan situasi politik yang kacau, ditambah perekonomian yang tidak menentu.
Setelah perjalanan panjang menuju Eropa, proses integrasi dan bermukim di Jerman yang kompleks, serta sentimen negatif yang sering melingkupi mereka, perayaan hari raya di negeri orang menjadi sebuah kesempatan untuk sejenak melepas beban.
Meski banyak dari mereka yang pernah atau masih mengalami trauma, keceriaan anak-anak dan keakraban sangat terasa.
 Kado yang dikumpulkan oleh Frankfurter Muslime yang akan dibagikan kepada anak- anak pengungsi. (Foto: CNN Indonesia/Fandi Stuerz) |
Saya langsung merasa disambut seperti di rumah. Keramahtamahan dan rasa persaudaraan ternyata benar-benar semakin kuat ketika sama-sama berada di rantau.
Berlokasi di bekas bandara militer Amerika di Bonames, kota bagian di utara Frankfurt am Main, perayaan Idul Fitri ini diadakan di area tempat tinggal pengungsi, dan tergolong sederhana.
Makanan dan minuman serta hadiah untuk anak-anak yang dibagikan tidaklah berlebihan, mengingat logistik bersumber dari donasi serta bantuan organisasi amal seperti
Diakonie.Meski demikian, tradisi berkumpul, menari dengan diiringi musik khas Afghanistan, serta bercengkerama memberi makna Idul Fitri yang lebih hikmat. Bahkan bagi para perempuan disediakan sebuah ruangan khusus, agar bisa melepas hijabnya
Salah seorang sukarelawan dari Frankfurter Muslime, Mariam Merzak, mengatakan banyak dari mereka yang baru belajar Bahasa Jerman, menyesuaikan dengan kehidupan dan budaya Jerman dengan segala keterbatasannya, sekaligus tetap bersyukur, dan merayakan. Merayakan hidup, merayakan berkah.
Dengan absennya hingar bingar tradisi lebaran di Indonesia, Idul Fitri kali ini justru memberi saya pelajaran mengenai esensi dari Idul Fitri. Bahwa setiap manusia memiliki kesempatan untuk memulai dari 'nol' layaknya menulis di atas kertas putih. Hal itu tercermin dari para pengungsi yang memulai kehidupan di negara baru.
---Surat dari Rantau adalah rubrik terbaru di CNNIndonesia.com. Rubrik ini berupa "curahan hati" dari WNI yang sedang menetap di luar negeri. Bisa mengenai kisah keseharian, pengalaman wisata, sampai pandangan atas isu sosial yang sedang terjadi di negara yang ditinggali. Jika Anda ingin mengirimkan cerita, sila hubungi surel berikut: [email protected], [email protected], [email protected].Kami tunggu! (agr/ard)