Jakarta, CNN Indonesia -- Indonesia dikenal sebagai negara tropis dengan beragam potensi sumber daya alam sebagai bahan baku industri. Namun kekayaan sumber daya ini tak serta merta memenuhi kebutuhan dalam negeri, sehingga impor mau tak mau dilakukan.
Sebagai contoh, garam yang diolah dan dikonsumsi dalam negeri sebanyak 70 persen didatangkan dari luar negeri.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi S. Lukman, masalah ini berakar dari hulu dan tengah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia berkata ada dua persoalan penting yakni pembangunan industri yang tidak sinkron antara hulu dan hilir serta kurangnya insentif.
"Industri hilir itu cepat sedangkan hulu tidak bisa mengimbangi, belum mahal di investasi, periode lama, kurang dukungan sosial serta kebutuhan lahan. (Industri) hulu juga kurang insentif. Dia itu susah, enggak ada insentif," paparnya dalam media workshop di Hotel JW Marriott, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (4/7).
Padahal GAPMMI memproyeksikan industri makanan dan minuman dapat tumbuh lebih dari 10 persen pada 2018.
Permintaan ini perlu diimbangi dengan suplai bahan baku lokal untuk menjajaki pasar yang lebih luas.
Eksplorasi bahan baku pun perlu platform atau wadah yang memadai sehingga Food Ingredients Asia (Fi Asia) dihadirkan di Indonesia, khususnya Jakarta pada 3-5 Oktober mendatang.
GAPMMI yang turut mendukung gelaran ini berharap Fi Asia bakal jadi wadah bagi pengusaha atau pelaku industri untuk meningkatkan daya saing.
"Orang-orang Indonesia perlu informasi terkait produk baru, inovasi teknologi, gimana caranya meningkatkan daya saing," imbuhnya.
Sementara itu, Rungphech Chitanuwat dari UBM Asia, penyelenggara Fi Asia, mengatakan gelaran ini diharapkan jadi platform untuk para pengusaha baik pengusaha besar maupun kecil.
Mereka akan melihat inovasi terkini yang berkembang di industri makanan dan minuman dunia.
"Nanti akan ada 700 peserta (pameran) dari 46 negara," kata perempuan yang akrab disapa Rose ini.
Gelaran yang akan berlangsung di Jiexpo Kemayoran ini juga menawarkan konferensi dan seminar teknis dengan isu dan topik yang relevan.
Jadi tanpa perlu beranjak ke luar Indonesia, para pengusaha bisa mendapat info dan pengetahuan di negeri sendiri.
Rose memberikan contoh perkembangan industri makanan dan minuman di Thailand. Di sana, pengusaha menerapkan dua kunci usaha yakni inovasi dan digitalisasi.
Ia tak memungkiri bahwa Thailand pun masih mengandalkan impor bahan baku.
"Kami mengakui bahwa bahan baku kami kebanyakan impor yang mencapai 80 persen," ujarnya.
Menimpali Rose, Adhi berkata seharusnya paradigma soal impor diubah. Menurutnya impor seharusnya bukan hal yang tabu untuk dilakukan.
Impor, kata dia, bisa mendatangkan nilai tambah dan lapangan kerja.
"Bahan baku impor itu bisa untuk melengkapi produk. Kita enggak bisa mengandalkan lokal karena selera global tidak demikian. Impor itu butuh, misalnya makanan, dia untuk campuran sehingga rasa yang diinginkan pembeli terpenuhi," jelasnya.
(ard)