Jakarta, CNN Indonesia -- Kecintaan saya terhadap petualangan memang tak pernah bisa dibendung. Hanya bermodalkan tas dan sendal saya bisa nekat menghampiri tempat-tempat yang bisa memuaskan hasrat batin dan visual.
Bertahun-tahun saya bangga dengan titel 'turis backpacker'. Tapi sebagai maniak wisata yang tak punya penghasilan tetap, saya punya kekhawatiran tidak bisa menjelajahi seluruh sudut dunia. "Uang dari mana?" batin saya.
Memang pasti ada saja kesempatan untuk memenangkan kuis atau mendapat undangan dari sponsor. Tapi saya tak suka menunggu hal yang tak pasti.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya langsung memutar otak. Mencari pekerjaan di luar negeri yang gajinya bisa ditabung untuk biaya jalan-jalan menjadi rencana pertama.
Sempat berpikir untuk menjadi pemetik buah di Australia atau Kanada, namun pekerjaan sesederhana itu memiliki syarat yang rumit, terutama untuk imigran.
Pernah juga saya merencanakan untuk bekerja di Timur Tengah, tapi rencana itu kandas karena sekolah saya tidak 'tinggi'.
Rencana A dan B sudah tidak mungkin dilakukan, tapi masih ada rencana C dalam benak saya: kembali ke bangku sekolah, mengambil jurusan perhotelan, dan bekerja di kapal pesiar.
Pikir saya, selama saya bekerja di kapal pesiar saya tak perlu keluar uang untuk jalan-jalan. Gaji yang saya dapat nantinya malah bisa ditabung untuk jalan-jalan saat cuti.
Jika membuat rencana masuk dalam kategori hobi, saya terbilang mahir melakukannya, karena saya cuma berencana kerja di kapal pesiar dan tidak berpikir panjang membayangkan seperti apa kesibukan di sana, bagaimana rasanya jauh dari keluarga dan keselamatan selama di tengah lautan. Pokoknya yang penting pergi saja dulu.
Hampir dua tahun saya menggantungkan tas dan sendal yang biasa saya pakai backpacking karena saya harus kembali duduk di bangku sekolah perhotelan.
Dua tahun bukanlah waktu yang singkat, apalagi jika harus kembali membuka buku, menghapal materi dan menyelesaikan tugas bersama teman-teman sekelas yang rata-rata baru lulus SMA. Seragam sekolah tak membuat tampang saya jadi lebih muda seperti mereka hahaha...
Lulus sekolah saya sudah diterima bekerja di sebuah kapal pesiar. Tapi saya belum bisa naik, karena banyak dokumen yang harus diurus, terutama visa Amerika Serikat, negara yang rutenya paling sering disambangi.
Percayalah, bahwa tidak ada orang yang gemar mengurus visa, karena ketidakpastian bisa membuat pengajuan ditolak sewaktu-waktu.
Beberapa bulan saya menunggu resmi juga seluruh dokumen bekerja saya. Hari keberangkatan yang selama ini selalu menjadi doa sebelum tidur saya akhirnya terwujud juga. Hore!
 Penulis saat berada di Alaska. (Dok. Yosea Riyadi Permana) |
Pengalaman penulis Surat dari Rantau masih berlanjut ke halaman berikutnya...
Dari Jakarta saya terbang ke San Diego, California, Amerika Serikat. Dari sebelum naik sampai turun pesawat perasaan gugup seakan merasuk sampai ke dalam perut, entah mengapa.
Di pelabuhan San Diego, saya naik ke kapal pesiar setinggi 12 tingkat. Saat kaki melangkah masuk ke dalamnya, saya resmi menyandang gelar pelaut.
Pelaut yang melayani tamu di restoran, begitu tepatnya. Pekerjaan yang amat sangat melelahkan dan mengikis mental. Jumlah dan karakter masing-masing tamu menjadi tantangan utama dalam pekerjaan ini.
Namun saya tidak peduli karena merasa bahwa untuk menikmati keindahan dunia pastilah butuh sebuah pengorbanan. Kerap kali saya bandingkan, rasa lelah bekerja di kapal pesiar lebih baik dibandingkan rasa lelah seharian bermimpi untuk bisa keliling dunia di rumah.
Selama sembilan bulan saya berada di atas kapal, selama itu juga saya berpetualang. Saat kapal berlabuh menjadi waktu yang paling saya nanti-nanti, karena saya bisa menjejakkan kaki di destinasi wisata baru, yang sebelumnya tidak pernah terpikir bisa mengunjunginya.
Memang waktunya wisata saya sekarang tidak selonggar sewaktu menjadi turis backpacker, karena pekerja di kapal pesiar hanya diberi waktu enam jam untuk istirahat setiap harinya.
Butuh waktu beberapa minggu untuk bisa mencari celah menjadi pelaut sekaligus turis. Saya jadi rajin berselancar di dunia maya untuk mencari informasi terkait wisata yang bisa dikunjungi secara singkat.
Ternyata kita bisa juga melakukan wisata secara singkat, asalkan tahu cara menikmatinya.
Selama sembilan bulan bekerja di kapal pesiar, saya sudah pernah mengunjungi negara Nicaragua dan Antigua yang sebelumnya tidak saya ketahui keberadaannya.
Saya juga tak pernah lupa saat tersesat bersama supir tuk-tuk di Guatemala, negeri yang sebelumnya hanya saya kenal melalui biji-biji kopinya yang nikmat.
Tak disangka juga saya bisa menikmati keindahan pantai-pantai toska di Bahamas, mendaki gunung Diamond Head dan mengunjungi situs bersejarah Pearl Harbour di Hawaii.
Yang paling berkesan bagi saya ialah ketika bisa mengunjungi Alaska, benua putih yang ada di kelilingi es.
Selama lima bulan kapal pesiar berlayar di perairan Alaska. Setiap minggu tanpa absen kami berkunjung ke Taman Nasional Glacier Bay di Alaska.
Saya sangat menikmati kunjungan ini. Selain bisa melihat betapa mengagumkannya gletser, saya juga bisa menyaksikan transisi musim di negeri empat musim ini, dari pegunungan yang tadinya masih berlapis salju, kemudian menjadi padang rumput yang hijau hingga menjadi gunung yang penuh warna di kala musim gugur.
Di Alaska juga mimpi saya untuk melihat Cahaya Aurora di Alaska bisa terwujud.
Kala itu saya rela berlari ke dek kapal dipagi buta yang dingin untuk melihat tarian indah dari cahaya utara tersebut.
Ketika musim dingin datang, kapal pesiar saya beranjak ke Asia, untuk melayani turis yang mencari kehangatan benua tropis.
Itu artinya kami akan melakukan penyeberangan lintas benua melalui Laut Bering di Samudera Pasifik. Pelayaran selama delapan hari dihiasi oleh gelombang tinggi, cuaca buruk dan lompatan hari alias international date line.
Jadi jika sebelum melintasi Laut Bering itu hari Jumat, maka setelah melewatinya hari bakal lansung melompat ke Minggu, bukan Sabtu. Sungguh pengalaman yang unik, meski hati sempat ketar-ketir karena ombak di lautnya sangat ganas.
Sampai di Asia saya tetap semangat melakukan perjalanan wisata. China dan Korea Selatan saya akui menyuguhkan objek dan atraksi wisata khas Asia yang sangat menarik, mulai dari kuliner, alam, sejarah sampai belanja.
Sembilan bulan telah berlalu petualangan saya bersama kapal pesiar yang harus berakhir, bersamaan dengan kontrak kerja saya.
Bekerja di kapal pesiar sungguh bukan pekerjaan mudah namun juga bukan pekerjaan sulit.
Segala perbedaan kebiasaan dan budaya yang dibawa oleh masing-masing individu, baik tamu maupun rekan kerja yang berasal dari berbagai macam bangsa dan suku membuat saya berkawan baik dengan perbedaan.
Bagi saya kapal pesiar adalah dunia kecil yang berlarian di atas lautan dunia.
Sembilan bulan bekerja di kapal pesiar memberi pengalaman hidup baru bagi saya, yang siap saya kisahkan kelak untuk anak cucu saya.
---Surat dari Rantau adalah rubrik terbaru di CNNIndonesia.com. Rubrik ini berupa "curahan hati" dari WNI yang sedang menetap di luar negeri. Bisa mengenai kisah keseharian, pengalaman wisata, sampai pandangan atas isu sosial yang sedang terjadi di negara yang ditinggali. Jika Anda ingin mengirimkan cerita, sila hubungi surel berikut: [email protected], [email protected], [email protected]m