Jakarta, CNN Indonesia -- Bagi para perantau, modern dan lengkap adalah dua kata yang sering terlintas dibenak untuk menggambarkan Jakarta. Tapi bagi mereka yang membutuhkan fasilitas penunjang untuk melangkah, seperti kaum difabel, julukan tersebut tidak sepenuhnya disepakati.
Jangankan fasilitas penunjang kaum difabel seperti
guiding blocks (jalur berwarna kuning dengan huruf braille), secara garis besar trotoar-trotoar di Jakarta bisa dibilang tak layak untuk disebut jalur pejalan kaki; sempit, berlubang dan lebih sering dihadang oleh pot tanaman, pohon atau tiang listrik.
Trotoar nyaman sepertinya cuma ada di kawasan yang dilalui pejabat, seperti kawasan Senayan, Thamrin atau Kuningan. Di kawasan lain, contoh saja di Mampang, trotoar menjadi rebutan pedagang kaki lima, parkir kendaraan sampai pengendara sepeda motor.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam hal menyediakan fasilitas bagi pejalan kaki dan kaum difabel, Jakarta bisa dibilang jauh dari julukan modern.
Via telepon pada Jumat (22/2), saya sempat menghubungi Presiden Koalisi Pejalan Kaki, Alfred Sitorus, untuk bertanya mengenai perkembangan fasilitas umum yang layak di Jakarta.
Ia sependapat bahwa Jakarta belum 100 persen ramah bagi pejalan kaki, terutama untuk kaum difabel. Bukan cuma trotoar, begitu juga dengan fasilitas penunjang lainnya, seperti kursi roda.
Alfred juga mengatakan keberadaan fasilitas penunjang ini kurang diinformasikan, sehingga keberadaannya banyak dianggap mitos.
"Kaum difabel belum bisa mandiri untuk berjalan sendirian di Jakarta, karena kondisi jalan yang belum baik," kata Alfred.
"Sebenarnya sudah ada program dari Dinas Perhubungan bernama PPLL (Petugas Pengatur Lalu Lintas). Petugas ini bertugas untuk mengawasi fungsi fasilitas jalanan seperti trotoar dan membantu para difabel. Mereka biasa beroperasi menggunakan sepatu roda, Segway atau otopet di sekitar jalan Wahid Hasyim dan Suryopranoto, sayangnya hal ini belum diberlakukan di seluruh Jakarta," ujarnya.
Jangan jauh-jauh membandingkan Jakarta dengan kota-kota di Eropa atau Amerika yang ramah kaum difabel. Mari menengok Tokyo.
Kaum tunanetra di sana bisa berjalan sendirian tanpa pengawasan dengan bantuan tongkat mengikuti
guiding blocks di sepanjang jalan.
Sudah banyak produk di supermarket Jepang yang memakai huruf braille. Pengelolanya juga menyediakan kursi roda agar orang yang mengalami kesulitan berjalan tetap bisa beraktivitas dengan nyaman, aman dan mandiri.
Berbincang dengan Alfred mengenai kurangnya fasilitas bagi kaum difabel di Jakarta membuat saya ingin terjun langsung ke lapangan untuk mengetahui sejauh mana fasilitas penunjang seperti
guiding blocks dan kursi roda sudah disediakan di sejumlah tempat publik.
10.00 - Naik Bus TransJakartaMemulai perjalanan dari Halte Bus TransJakarta Tendean, saya mengambil rute menuju Blok M. Sampai di Halte Bus TransJakarta Blok M saya mengambil rute ke Kota Tua.
Beruntung, saya mendapat kesempatan untuk menaiki Bus TransJakarta berwarna merah muda yang dikhususkan untuk wanita.
Nampaknya masih banyak yang belum mengetahui soal aturan naik bus khusus ini. Pasalnya di setiap halte pasti selalu ada penumpang pria yang salah naik.
Meskipun di dalam bus disediakan tempat khusus pengguna kursi roda, bus TransJakarta belum sepenuhnya ramah pengguna kursi roda, karena untuk masih banyak halte dengan tangga susun bukan tangga landai.
 Jembatan penyebrangan Tosari sebelum dibongkar. (CNN Indonesia/Andry Novelino) |
11.30 - Kota TuaKota Tua dikembangkan menjadi destinasi wisata utama di Jakarta. Harapannya, kawasan wisata ini bisa mendatangkan lebih banyak wisatawan, terutama dari mancanegara.
Tapi mungkin yang membuat kebijakan lupa bahwa ada juga kaum difabel yang ingin berwisata. Pasalnya fasilitas penunjang bagi mereka di sini hampir tidak ada. Papan informasi atau petugas yang bisa ditanyai juga tak ada.
Sesampainya di Kota Tua, saya mengamati jalanan dan tidak menemukan
guiding blocks.
 Pemandangan Kota Tua, Jakarta. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Saya menghampiri pos berwarna oranye dengan tulisan 'Pesona Indonesia' di tengah-tengah Kota Tua. Saya bertanya kepada penjaga dengan seragam berwarna abu-abu mengenai keberadaan fasilitas kursi roda.
Ia membawa saya ke belakang pos dan menunjukkan satu kursi roda yang keadaannya lebih cocok sebagai properti film horror; reyot dan rusak.
Kursi roda sebagai fasilitas difabel di Kota Tua, Jakarta, pada Jumat (22/2). (CNNIndonesia/ Dwiarti R Fauziah) |
Usai terkaget-kaget dengan kursi roda horror itu saya melangkahkan kaki ke Museum Wayang dan Museum Fatahillah.
Ada beberapa area yang ramah dengan pengguna kursi roda, tapi hanya di lantai dasar. Jangan harap bisa nyaman berkeliling lantai dua, karena anak tangganya bersusun.
Puas berkeliling Kota Tua, saya menuju halte pemberhentian City Bus untuk menuju Monumen Nasional.
14.00 - Monumen Nasional (Monas)Sampai di Monas saya turun di gerbang Selatan dekat dengan area kulinernya, Lenggang Jakarta.
Guiding blocks sudah terlihat di tepian pejalan kakinya, tapi saat melihat petugas keamanan saya langsung bertanya mengenai keberadaan fasilitas kursi roda.
 Guiding blocks yang tersebar di penjuru Monas. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Ia mengarahkan saya ke tenda hijau yang jadi tempat para petugas keamanan berteduh. Di sana pemandangan dua kursi roda horror kembali saya temui. Tapi mungkin yang ini bentuknya masih lebih lengkap walau sama-sama tidak layak pakai.
Sang petugas menyarankan untuk bertanya ke pos penjaga pintu masuk utama (dekat Patung Arjuna Wijaya), karena katanya ada kursi roda yang lebih layak di sana.
Karena sudah melewatkan makan siang saat di Kota Tua saya menyempatkan menyantap Kerak Telor di Lenggang Jakarta.
Di sini saya harus membayar makanan saya dengan uang elektronik agar terhindar dari "harga getok" alias harga tipu-tipu, meski masih ada saja pedagang yang mengaku bahwa mesin uang elektronik mereka rusak sehingga tetap memungut uang tunai dari pembeli.
Usai makan, saya menaiki mobil odong-odong yang mengantarkan saya ke pintu masuk utama Monas.
Di sana saya bertanya lagi tentang ketersediaan kursi roda. Dan ternyata benar, dua kursi roda di sini lebih manusiawi, yang satu berbahan besi yang satu berbahan plastik.
Petugas mengatakan di dalam tugu Monas juga terdapat
lift khusus pengguna kursi roda lainnya untuk menjangkau lantai paling atas.
"Nanti bisa kami antarkan sampai masuk ke tugu Monas kalau ada yang pakai kursi roda," kata sang petugas.
Lanjut ke halaman berikutnya...
16.00 - Plaza IndonesiaUsai ke dua objek wisata, saya melanjutkan "investigasi" ke Plaza Indonesia. Sama seperti Kota Tua dan Monas, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga kerap mempromosikan pusat perbelanjaan ini sebagai destinasi wisata belanja. Tapi apa iya sudah ramah kaum difabel?
Dari Halte TransJakarta Monas saya turun di Halte TransJakarta Tosari. Saat hendak menyeberang jalan ke arah Plaza Indonesia, saya melihat beberapa petugas Satpol PP berseragam oranye yang membantu para pejalan kaki menyeberang.
Saya memperhatikan kondisi trotoar di jalan dan terlihat beberapa
paving block di trotoar yang berlubang serta
guiding blocks yang terputus dan bahkan ditindih oleh pot tanaman. "Wah, bisa-bisa orang tunanetra terluka saat jatuh menabrak pot ini," pikir saya sedih.
Sesampainya di lobi Plaza Indonesia, saya langsung mencari penjaga keamanan untuk bertanya mengenai fasilitas kursi roda.
"Oh, mbak baiknya kalau butuh kursi roda langsung ke Lobby Louis Vuitton aja di sana bilang sama doorman-nya butuh kursi roda, nanti langsung dibawakan. Atau mbak bisa ke front desk dan bilang sama resepsionisnya mau pinjam kursi roda, nanti tukar sama KTP," kata petugas keamanan dengan ramah.
Setelah bertemu penjaga yang dimaksud, saya minta ditunjukkan bentuk kursi rodanya.
Kursi roda yang disediakan kualitasnya bagus, bentuknya juga kokoh dan ramping sehingga mumpuni untuk dibawa naik eskalator.
Tidak heran jika mal sekelas Plaza Indonesia memiliki fasilitas kursi roda sebagus ini.
Sayangnya informasi mengenai adanya fasilitas kursi roda seperti kurang dipromosikan.
Fasilitas kursi roda di Mal Grand Indonesia, Jakarta. (CNN Indonesia/Dwiarti) |
Saya masuk lewat Lobby Arjuna (West Mall) dan bertanya tentang ketersediaan kursi roda pada resepsionis di sana.
Ia menjelaskan bahwa hanya ada satu unit di Lobby Arjuna dan dua unit di lantai dua East Mall.
Saat melihat bentukannya, kualitas kursi roda yang disediakan kurang lebih sama seperti Plaza Indonesia dan hanya membutuhkan KTP untuk meminjamnya.
Selain informasi, unit kursi roda di dalam mal yang besar ini juga masih sangat terbatas.
17.00 - Stasiun GambirEmpat tempat yang ramai dikunjungi saat jam kerja sudah saya datangi. Kini giliran tempat yang buka 24 jam: stasiun kereta dan bandara.
Dari Grand Indonesia saya naik ojek ke Stasiun Gambir. Sesampainya di sana saya mencari petugas keamanan untuk bertanya mengenai fasilitas kursi roda.
Yang membuat takjub ialah mereka bisa langsung mengontak rekannya untuk membawakan kursi roda ke hadapan pengunjung, sehingga pengunjung tidak perlu repot ke sana kemari untuk mencarinya.
Fasilitas kursi roda di Stasiun Gambir, Jakarta. (CNN Indonesia/Dwiarti) |
Walau tidak "sehakiki" kursi roda di Plaza Indonesia dan Grand Indonesia, kursi roda di Stasiun Gambir masih terlihat kokoh dan layak digunakan. Layanan ini gratis.
"Kalau ada anggota keluarga mbak yang perlu kursi roda nanti didorongkan dan diantar sampai naik kereta," kata petugas keamanan.
Berjalan keluar dari stasiun, saya pun melangkah menuju Halte Bus Damri menuju Bandara Internasional Soekarno Hatta untuk menyelesaikan misi pencarian fasilitas kaum lansia dan difabel yang layak.
Saya membeli tiket Bus Damri seharga Rp40 ribu dengan fasilitas stop kontak di tiap bangku dan kursi yang empuk.
19.00 - Bandara Soekarno HattaSaya memilih turun Bus Damri di Terminal Tiga, terminal baru yang dipuja-puji sebagai terminal bandara masa depan Indonesia.
Petugas keamanan yang saya temui menyarankan saya untuk menuju meja infromasi bertuliskan 'Help Center'. Pengunjung juga bisa menghubungi nomor 138 jika tersesat di Terminal 3 atau mencari keberadaan 'Help Center'.
Tak jauh dari meja 'Help Center' saya melihat banyak kursi roda yang dijajarkan.
Fasilitas kursi roda di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. (CNN Indonesia/Dwiarti) |
Petugas mengatakan untuk bisa meminjam kursi roda cukup menunjukkan
boarding pass (dan bersama paspor jika melakukan penerbangan internasional). Akan lebih baik lagi jika menghubungi petugas sehari sebelum kedatangan.
Petugas nantinya akan mengantar penumpang dengan kursi roda sampai ke kursi pesawat. Layanan ini gratis.
Menurut petugas fasilitas dan layanan yang sama juga berlaku di terminal lainnya.
Walau sudah ada fasilitas kursi roda, namun saya tidak menemukan
guiding blocks. Mungkin orang tunanetra juga bisa meminta bantuan petugas-petugas ini untuk diantarkan sampai ke kursi pesawat. Atau memang harus diantar dengan kerabat.