Gangguan pendengaran rawan terjadi pada
bayi dan
anak-anak. Bila tak ditangani segera, anak dapat mengalami tuli seumur hidup.
Data global menunjukkan, 466 juta orang di dunia hidup dengan gangguan pendengaran. Sebanyak 7 persen atau 34 juta di antaranya merupakan anak-anak.
Spesialis telinga, hidung, dan tenggorokan, dr Hably Warganegara menyebut, salah satu gangguan pendengaran yang paling sering dialami anak adalah tuli kongenital.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tuli kongenital pada anak merupakan tuli berat yang memengaruhi telinga bagian dalam," kata Hably dalam diskusi media yang digelar oleh Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta, Rabu (27/2).
Tuli kongenital membuat anak tak bisa mendengar suara normal yang berkisar 0-25 desibel (dB). Umumnya, anak baru dapat mendengar suara dengan kekuatan 70 dB setara dengan bunyi pesawat atau bunyi bom. Itu pun hanya terdengar kecil.
Hably menyebut, tuli kongenital disebabkan oleh bawaan dan riwayat sejak lahir, serta infeksi. Setiap tahunnya, diperkirakan ada 5 ribu bayi lahir dengan tuli kongenital di Indonesia.
Bawaan sejak lahir dipengaruhi oleh keturunan atau gen dalam keluarga yang memiliki gangguan pendengaran. Tuli kongenital juga bisa didapat saat bayi masih berada di dalam kandungan seorang ibu yang terinfeksi Toksoplasma, Rubella, Cytomegalovirus (CMV), dan Herpes Simplex Virus II (HSV-II) atau dikenal dengan TORCH.
"Waktu ibu hamil pada trimester pertama dan terserang virus, maka virus berjalan masuk ke janin sehingga perkembangan telinga yang dibentuk pada trimester awal terganggu," tutur Hably.
Penggunaan obat malaria dan TBC juga dapat berpengaruh pada perkembangan telinga si jabang bayi.
Sementara itu, tuli kongenital setelah lahir diakibatkan oleh riwayat kelahiran bayi dengan berat lahir rendah, kuning, sesak napas saat lahir atau tidak menangis, dirawat di NICU, kelainan kongenital pada wajah atau kepala, dan mengalami meningitis.
Hably menyebut, infeksi setelah lahir seperti terkena malaria, demam, dan kejang juga dapat berujung pada tuli kongenital.
Bayi yang mengalami tuli kongenital biasanya mengalami gejala berupa tidak mengalami refleks moro atau kaget jika ada suara dan tidak mengejapkan mata atau mengerutkan wajah saat ada suara. Selain itu, bayi juga mengalami delayed speech atau belum adanya kemampuan berbicara sesuai usia.
Orang tua, kata Hably, harus peka terhadap kemampuan mendengar dan bicara anak. "Kelemahan orang tua kadang suka menunggu sampai satu dua tahun," kata dia. Padahal, 25 persen anak yang belum mampu berbicara bisa jadi disebabkan oleh masalah THT.
Jika bayi memiliki gejala tuli kongenital, segera bawa ke dokter untuk mendapatkan diagnosis dan perawatan yang tepat. Perawatan biasanya meliputi pasang alat bantu dengar, implan koklea, dan terapi wicara. Dengan perawatan ini, anak dapat mendengar kembali.