Jakarta, CNN Indonesia -- Situs gambar cadas (rock art) di Desa Kaimear, Pulau Kaimear, Kecamatan Pulau-Pulau Kur, Kota Tual, Provinsi
Maluku dilaporkan terancam rusak akibat pengaruh alam dan aksi vandalisme yang dilakukan oleh masyarakat setempat.
Peninggalan purbakala yang ada di gua ceruk tebing tepi pantai Pulau Kaimear ini, baru didata oleh Balai Arkeologi Maluku pada September 2018.
Situs ini diketahui memiliki jumlah gambar, motif dan ragam terbanyak yang pernah ditemukan di wilayah Maluku, bahkan lebih banyak dari yang pernah ditemukan di Ohoidertawun, Pulau Kei Kecil pada 1988.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Berdasarkan pengamatan di situs tampak lebih banyak kerusakan pada gambar cadas," kata Arkeolog Wuri Handoko dari Balai Arkeologi Maluku, seperti yang dikutip dari Antara, Rabu (17/4).
Menurut Wuri berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Maluku, pada sisi kiri gua atau bagian Barat, tampak lebih banyak kerusakan gambar cadas yang ditandai banyaknya gambar cadas yang terlihat tidak jelas, seperti terjadi pengelupasan warna (pigmen) gambar cadas.
Hal ini kemungkinan disebabkan oleh terpaan sinar matahari langsung terutama pada saat siang dan sore hari.
Selain gambar yang mulai mengelupas, kerusakan lain di situs yang mengkhawatirkan adalah pada beberapa bagian panel dinding gua terdapat banyak coretan-coretan (vandalisme) yang dilakukan oleh masyakat lokal saat mengunjungi lokasi situs.
"Ketidakpahaman masyarakat mengenai makna penting gambar cadas, membuat mereka tak peduli. Pada umumnya, masyarakat tidak menganggap penting dan sebatas mengetahui keberadaannya tanpa memahami nilai pentingnya untuk menjaga atau melestarikannya," ujarnya.
Menurutnya gambar-gambar cadas purbakala di Pulau Kaimear menampilkan bentuk figuratif dan non figuratif.
Menurut Wuri pada awalnya penduduk setempat hanya memahami bahwa gambar cadas di dinding gua, adalah buatan orang-orang yang bersembunyi pada masa kedatangan orang-orang Portugis pada masa lalu.
"Bagi penduduk ceruk, gambar cadas hanyalah tempat yang menarik untuk berwisata," ucapnya.
Wuri menjelaskan kondisi Desa Kaimear di Pulau Kaimear tergolong terpencil. Karena berada jauh dari pusat administratif Kota Tual menyebabkan kondisi desa tersebut masih terisolir, terbatas dari akses komunikasi jarak jauh, energi listrik dan sumber air bersih.
Pada musim kemarau, penduduk harus mengambil air bersih di Pulau Kur yang berada di ibukota kecamatan Pulau-Pulau Kur, dengan jarak tempuh rata-rata satu jam perjalanan laut menggunakan perahu.
Untuk menyeberangi ke Pulau Kur yang berjarak 20 kilometer yang dipisahkan oleh selat yang terbuka, merupakan tantangan tersendiri, terutama pada musim-musim ombak sedang tinggi.
Dalam sebuah perbincangan dengan penduduk di Kota Tual, Wuri menambahkan, ada isu yang berkembang tentang upaya pemerintah Kota Tual merelokasi penduduk dari Pulau Kaimear, tapi isu tersebut kemudian tidak pernah terdengar lagi.
"Sejak kedatangan tim penelitian arkeologi Balai Arkeologi Maluku pada awal September 2018, penduduk menganggap situs gambar cadas Pulau Kaimear menjadi harapan baru bagi mereka," katanya
"Di tengah segala keterbatasan saat ini, diharapkan menjadi pintu masuk perhatian pembangunan di pulau itu."
[Gambas:Video CNN] (antara/agr)