Jakarta, CNN Indonesia -- Anak-anak
generasi alfa merupakan generasi milenial yang sesungguhnya. Terlahir pada abad ke-21 membuat
'karakter teknologi' lekat dengan kehidupan mereka.
Lebih dari 2,5 juta generasi alfa lahir setiap pekannya. Diperkirakan, jumlah mereka akan mencapai 2 juta pada tahun 2025. Generasi alfa merupakan mereka yang terlahir antara rentang tahun 2010 hingga 2024.
"Jadi, saat mereka terlahir, langsung terpapar teknologi dan tak aneh lagi dengan kecanggihan
smartphone,
augmented reality,
virtual reality, dan lain-lain," ujar psikolog Vera Itabiliana Hadiwijojo, dalam keterangan resmi
GueSehat yang diterima
CNNIndonesia.com dalam rangka Hari Anak Nasional 2019, Selasa (23/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengasuh anak-anak generasi alfa bukan perkara mudah. Karakter mereka yang selalu ingin tahu, tak sabaran, dan kreatif agaknya membuat orang tua kewalahan.
Teknologi, kata Vera, membuat anak-anak generasi alfa tak mengenal proses. Anak-anak selalu ingin dipuaskan dengan cepat. "Kepengin apa, harus dapat sekarang," katanya. Akibatnya, anak menjadi gampang bosan dan
ngambek.
Survei GueSehat menemukan, sebanyak 30,3 persen partisipan ibu mengaku bahwa tak sabaran adalah karakter yang paling muncul dari anak-anak generasi alfa. Minim empati, keterampilan sosial yang tak terasah, hingga kurang tangguh juga menjadi beberapa sifat yang menempel pada mereka.
Survei dilakukan dalam rangka mengamati pola asuh anak di zaman kiwari. Sebanyak 411 ibu dari anak berusia 0-9 tahun turut serta dalam survei.
 Generasi alfa adalah generasi yang terlahir saat teknologi sudah sangat berkembang. (Foto: Deddy Sinaga) |
Orang tua anak generasi alfa didominasi oleh kelompok milenial, yang telah lebih dulu familiar dengan perkembangan teknologi. Sikap anak yang geregetan bercampur dengan asupan informasi dari internet menimbulkan kekhawatiran sendiri. Masalah seputar tumbuh kembang dan pola asuh anak menduduki posisi kedua tantangan terberat bagi orang tua.
"Mereka sudah sangat berlimpah informasi, namun menjadi lebih cemas dengan masalah tumbuh kembang anak," kata Vera.
Namun, orang tua masa kini punya cara tersendiri dalam mengasuh buah hati yang selalu ingin tahu itu. Orang tua milenial, sebut Vera, sudah meninggalkan gaya pengasuhan otoriter. Mereka cenderung memberikan lebih banyak keleluasaan pada anak untuk mengekspresikan diri atau mencoba sesuatu yang baru.
"Mereka lebih banyak mengawasi [anak] dari jauh, sehingga anak bebas menjadi diri sendiri. Anak juga lebih banyak diberikan aktivitas tak terstruktur," ujar Vera.
Vera mengingatkan, tak ada salahnya mengenalkan anak dengan yang dinamakan proses. Hal ini perlu dilakukan sejak dini demi masa depan anak.
"Anak yang tidak terbiasa menjalani proses dan menghadapi kesulitan secara mandiri, selalu dilayani, cenderung mudah frustasi saat bertemu kegagalan di usia dewasa," jelas Vera.
Orang tua, lanjut Vera, harus tega membatasi penggunaan gawai pada anak. Namun, survei menunjukkan bahwa hal tersebut masih menjadi tantangan terbesar ibu masa kini.
Sebanyak 50,1 persen ibu menyebutkan bahwa si buah hati akan uring-uringan jika dipisahkan dengan gawai. Namun, untungnya orang tua masih berhasil mengalihkan perhatian anak.
Sementara sebanyak 46,1 persen anak tak memberikan respons apa-apa saat gawainya 'dirampas' sementara waktu. Namun, 3,7 persen di antaranya mengaku kesulitan menghadapi anak-anak yang tantrum dan mengamuk gara-gara gawai yang tak lagi di tangan.
Stimulasi antara anak dengan orang tua harus dilakukan dua arah. Memberikan gawai terlalu dini akan sangat berdampak bagi anak. Pemberian gawai hanya akan membuat komunikasi berjalan satu arah.
[Gambas:Video CNN] (asr/asr)