Jakarta, CNN Indonesia -- Bagi
Oscar Lawalata kain tradisional bukan sekadar selembar kain semata. Setiap kain
batik, tenun, baginya punya beragam cerita, sejarah, dan cerita kariernya.
"Saya punya koleksi kain tradisional, enggak hanya batik, tapi juga yang lain," kata Oscar Lawalata saat konferensi pers Aku dan Kain di Senayan City, beberapa waktu lalu.
"Kain-kain ini berpengaruh dengan 25 tahun karier saya."
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagi Oscar, kain tradisional yang kini dikoleksinya ini pun menjadi bagian dengan jalur pilihan kariernya. Sebelum menjadi desainer Indonesia dengan 'jalur' kain tradisional, Oscar adalah sosok desainer yang mengandalkan desain baju-baju modern.
Namun 'kemudinya' berubah ketika dia mulai mengenal kain nusantara dan juga kekayaannya. Hanya saja diakui dia, kecintaannya pada kain-kain batik, songket, dan tenun ini memang butuh pengorbanan besar dan berat.
"Situasi dulu itu belum seperti sekarang, misalnya akomodasinya saja. Untuk riset kain perlu modal besar dan informasi yang banyak. Tapi saat itu masih susah sekali, karena internet pun belum ada."
Oscar kembali mengingat masa-masa sulitnya berburu informasi dan kain ke berbagai penjuru tanah air. Namun baju bodo-lah yang pertama kali membuat dia jatuh cinta.
"Saya punya teman yang kebetulan masih keluarga darah biru di Sulawesi Selatan. Saya datang waktu ada pernikahan. Dari situ saya tanya dia soal baju adatnya dan kainnya. Dia pun menjelaskan dan mengajak saya untuk ke pengrajinnya," kisah Oscar.
"Saya butuh tujuh jam untuk naik mobil ke Sengkang, ke area tempat pengrajin untuk bisa kenal baju bodo."
 Oscar Lawalata (Yohannie Linggasari) |
Dari baju bodo ini, Oscar pun terinspirasi untuk membuat busana di ajang kompetisi internasional di Singapura pada 1999. Dia pun berhasil menjadi juara karena kreasi busana yang dibuatnya.
Dari situ, kecintaan Oscar pun semakin 'menggila.' Dia makin berniat untuk belajar soal kekayaan kain nusantara. Dari baju bodo, dia beranjak belajar soal tenun.
"Untuk belajar tenun di Nusa Tenggara Timur, saya harus berjuang dulu. Naik pesawat ke Kupang dulu."
"Tapi sampai di sana, saya bahkan ditanya sama orang luar, tertarik enggak untuk belajar soal tenun ikat. Dari situ saya tahu kalau tenun NTT itu enggak cuma satu, tapi ada juga tenun Sabu, Rote, dan lainnya."
Belajar soal budaya dan kondisi negara
 Ilustrasi batik. (ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra) |
Kain-kain tradisional ini, kata Oscar, juga bisa dijadikan sebagai 'buku pelajaran' soal budaya. Bukan soal berapa mahal atau berapa harga kain ini di pasaran, tapi bagaimana nilai sosial budaya yang ada di dalamnya.
Pasalnya di berbagai daerah, para pembuat kain tradisional ini awalnya uang bukanlah tujuan utama, melainkan nilai di dalamnya.
"Kain itu dulu enggak buat industri, tapi untuk sehari-hari. Jadi dibuatnya pakai hati dan cinta."
"Kalau dulu orang mau meminang itu enggak lihat dari wajah atau uangnya tapi dari kainnya. Karena semua nilai kesabaran dan ketekunan bakal tercermin dari kainnya."
 Ilustrasi kain tenun (ANTARA FOTO/Galih Pradipta) |
Tak cuma soal sejarah, dari kain batik, tenun, dan lainnya, putra Reggy Lawalata ini mengaku bahwa kain tradisional juga mengajarkannya soal kondisi negara.
"Dari berbagai perjalanan budaya ini saya jadi tahu bagaimana kondisi hutan di Kalimantan, bagaimana kondisi anak-anak di sana yang kalau pakai seragam sekolah kedodoran," ucapnya.
"Dari kain kita bisa belajar soal negeri."
(chs)