Seoul, CNN Indonesia -- Kurang lebih 7 bulan saya tinggal di di daerah Gwangjin-gu, Seoul, demi menimba ilmu di Sejong University jurusan Hospitality Tourism Management, Korea Selatan.
Selain kuliah, saya juga mengisi waktu dengan bekerja paruh waktu di sebuah restoran.
Dalam seminggu saya menghabiskan empat hari untuk kuliah (Senin - Kamis) dan tiga hari untuk bekerja (Jumat - Minggu).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Manajemen waktu menjadi ilmu berharga yang saya dapat selama hidup di Negara Ginseng ini. Mirip Jepang, penduduk di sini juga sangat disiplin kalau soal waktu.
Jika datang terlambat, mereka pasti menunjukkan air muka kecewa, karena mereka merasa telah mengorbankan waktunya untuk datang tepat waktu.
Selain soal kedisiplinan waktu, wawasan saya soal budaya pop Korea juga bertambah. Kelompok musik Kpop, drama seri Korea, menjadi budaya hallyu yang setiap hari saya dengar, baca, dan lihat di media.
Keromantisan penduduk Korea Selatan yang nampak dalam drakor juga sepertinya benar adanya. Beberapa kali saya melihat pria membawakan bunga untuk pasangannya yang ditemuinya di stasiun kereta atau bandara.
Banyak yang beranggapan kalau semua penduduk Korea berpenampilan rupawan. Tapi sebenarnya, standar ketampanan atau kecantikan rata-rata orang Korea tak sesempurna yang dibayangkan.
Tak sedikit penduduk asli yang berwajah bulat dan bermata sipit. Bagi saya itu sah-sah saja, karena malah menunjukkan keunikan dan keberagaman, sama seperti penduduk Indonesia yang berkulit sawo matang dan bermata bulat.
Tapi ada saja
oppa atau
nonna yang menganggap bahwa wajah bulat dan mata sipit yang dimilikinya merupakan sebuah kekurangan fisik yang perlu direvisi.
Dari kabar burung yang beredar, saya mendengar kalau wajah-wajah rupawan yang sering muncul di televisi dan layar lebar juga tak terhindarkan dari prosedur operasi plastik.
Operasi plastik untuk mendapatkan wajah yang sempurna, kulit yang bersih, sampai tubuh yang singset memang sudah menjadi rahasia umum di Korea Selatan.
Tak hanya penduduk lokal, banyak juga turis mancanegara yang sengaja datang untuk melakukannya. Gangnam menjadi kawasan populer di mana banyak sekali klinik kecantikan yang melayani prosedur tersebut.
Bukan cuma perempuan yang terlihat keluar masuk klinik di kawasan ini. Para pria pun terlihat hilir mudik.
Jadi kalau melihat ada orang dengan perban di muka namun masih bisa beraktivitas seperti biasa - tak terlihat sakit tertatih seperti terluka pada umumnya, bisa jadi ia baru saja melakukan operasi rahang atau lipatan mata, dua prosedur yang menjadi favorit di sini.
Selain soal operasi plastik, penduduk Korea juga sangat gaya dalam hal fesyen. Mereka terbilang sangat niat untuk berbusana setiap empat musim; gugur, salju, semi, dan panas.
Kemeja musim gugur akan berbeda dengan kemeja musim panas. Begitu juga untuk urusan tas dan sepatu.
Menguras dompet? Sudah pasti. Tapi beruntungnya, ada banyak cara untuk bergaya di Korea, karena di sini ada banyak area belanja yang murah meriah.
Salah satunya di kawasan Ewha Women University, Seoul, yang menjadi pusat perbelanjaan pernak-pernik fesyen trendi dengan harga harga di bawah Rp500 ribuan.
Harga barang-barang di sini bisa murah, karena pasarnya ialah anak-anak kuliah yang tinggal di sekitarnya. Tema pakaiannya juga sangat kekinian, meski jangan lupa mengecek kualitasnya.
Jika mencari barang-barang dengan merek berkelas dapat datang ke mal besar, seperti Lotte atau Shinsaege di daerah Gangnam.
Biaya hidup di destinasi wisata sepopuler Korea Selatan tidaklah murah, bahkan tanpa operasi plastik atau belanja baju setiap hari. Kerja sampingan sudah pasti membantu keuangan saya.
Sekali makan saya harus mengeluarkan uang minimal Rp60 ribu. Saya memilih makan di kawasan kampus, karena terbilang lebih murah. Jika makan di luar kawasan kampus, misalnya dekat objek wisata populer, harganya pasti lebih mahal karena sudah harga turis.
Ada satu kesamaan antara penduduk Korea Selatan dan Indonesia: sama-sama masih "takut" berbahasa Inggris.
Bukannya sombong atau enggan akrab saat disapa turis mancanegara. Penduduk Korea Selatan memang jarang yang bisa berbahasa Inggris karena malu ditertawakan.
Untungnya di kampus banyak mahasiswa dari luar negeri, sehingga bahasa Inggris menjadi bahasa yang umum digunakan.
Walau hidup di negara dengan segala perbedaan gaya hidup, fesyen, cuaca, dan bahasa, saya masih merasa betah tinggal di sini.
Keramahan penduduk Korea Selatan membuat saya seakan bisa menaklukkan rindu dengan kawan-kawan saya yang ada di Indonesia.
-----Surat dari Rantau adalah rubrik terbaru di CNNIndonesia.com. Rubrik ini berupa "curahan hati" dari WNI yang sedang menetap di luar negeri. Bisa mengenai kisah keseharian, pengalaman wisata, sampai pandangan atas isu sosial yang sedang terjadi di negara yang ditinggali. Tulisan yang dikirim minimal 1.000 kata dan dilengkapi minimal tiga foto berkualitas baik yang berhubungan dengan cerita. Jika Anda ingin mengirimkan cerita, sila hubungi surel berikut: [email protected] / [email protected] / [email protected] (vvn/ard)