Seoul, CNN Indonesia -- Akhir pekan kemarin saya mendapat undangan untuk meliput acara peluncuran sebuah ponsel pintar di Seoul, Korea Selatan.
Nama 'Seoul' atau 'Korea Selatan' terasa akrab di telinga saya. Mulai dari tren musik, kuliner, sampai kosmetik, rasanya serba Korea di Jakarta. Tentu saja saya merasa sangat senang saat diberikan kesempatan bekerja sambil berwisata di Negara Ginseng.
Gerakan Korean Wave yang melanda penjuru dunia sendiri langsung berpengaruh positif terhadap sektor pariwisata di Korea Selatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Indonesia sendiri menyumbang 121 ribu turis ke sana sepanjang tahun 2018, atau naik 12 persen dari tahun 2017. Padahal tahun lalu rupiah diberitakan sedang melemah.
Saya ke Korea dengan menggunakan group visa. Group visa bisa diajukan dengan jumlah peserta minimal lima orang.
Pelbagai pilihan maskapai penerbangan telah tersedia, saat ini saya menggunakan maskapai Cathay Pacific dengan estimasi harga tiket pulang-pergi sekitar Rp8 juta per orang.
Maskapai ini mengharuskan saya untuk transit di Bandar Udara Internasional Hong Kong sebelum menuju ke Bandar Udara Internasional Incheon. Kurang lebih perjalanan ke Hong Kong memakan waktu kurang lebih empat setengah jam.
Saat transit, saya harus menunggu sekitar satu jam sebelum masuk kembali ke pesawat. Pesawat ini akan mengantarkan saya ke Korea Selatan. Kurang lebih perjalanan ke Korea Selatan dari Hong Kong memakan waktu empat jam.
Begitu keluar dari Bandara Internasional Incheon, udara segar langsung terasa. Saat saya tiba, Korea Selatan sedang memasuki musim gugur dengan suhu rata-rata per hari berkisar antara 25 hingga 27 derajat Celsius.
Incheon berjarak cukup jauh dari pusat kota, setidaknya butuh 50 menit ke penginapan saya yang terletak di kawasan Myeong-dong.
Transportasi yang saya gunakan adalah bus yang sebelumnya sudah disewa oleh agen perjalanan. Berdasarkan pengakuan sang pemandu wisata, Peter, harga bus bandara menuju ke Seoul memiliki tarif sekitar 1200 sampai 2400 won (sekitar Rp15-30 ribu) per orang.
Setelah kegiatan peliputan selesai, saya masih memiliki waktu beberapa hari untuk menjelajahi Seoul sebelum pulang kembali ke Jakarta.
Selesai belanja oleh-oleh dan mencicipi jajanan kaki lima, berikut sejumlah objek wisata yang saya sambangi:
Istana GyeongbokgungTak elok rasanya apabila mengunjungi Seoul tanpa singgah di Istana Gyeongbokgung, istana yang memiliki arti 'sangat diberkati surga'.
Saya berangkat dengan menggunakan bus sewaan. Perjalanan dari hotel di Myeong-dong ke Gyeongbokgung memakan waktu kurang lebih 20 menit.
Selain itu, berdasarkan pengakuan Peter, wisatawan juga bisa menggunakan bus umum dan kereta bawah tanah. Apabila menggunakan kereta bawah tanah, bisa turun di Gyeongbokgung Station (Seoul Subway Line 3) dan exit 5, atau turun di Anguk Station (Seoul Subway Line 3) dan exit 1.
Harga tiket agar bisa masuk ke istana adalah 3.000 won (sekitar Rp36 ribu) per orang. Ada juga tiket terusan yang berlaku di lima istana seharga 10 ribu won (sekitar Rp119 ribu).
Gyeongbokgung adalah salah satu dari lima istana terbesar di Korea Selatan yang dibangun pada zaman Dinasti Joseon. Empat istana lainnya yaitu, Changdeokgung, Changgyeonggung, Deoksugung, dan Gyeonghuigung.
Istana di wilayah seluas 410 ribu meter persegi ini terdiri dari 330 buah komplek bangunan dengan 5.700 ribu kamar. Saya menghabiskan waktu kurang lebih dua jam berjalan kaki mengelilingi istana yang luas ini, namun rasanya masih ada area yang tak terjamah.
Gyeongbokgung hingga saat ini menjadi destinasi paling populer di Seoul. Letaknya juga sangat strategis, di Jalan Sejong yang merupakan jalur utama kota Seoul.
 Istana Gyeongbokgung. (CNN Indonesia/ Jonathan Patrick) |
Nama Sejong sendiri diambil dari nama raja keempat Dinasti Joseon. Sejong dikenal atas jasanya menciptakan abjad Korea, Hangeul. Istana Gyeongbokgung dibangun oleh kakek dari Sejong, Taejo, pada 1394.
Istana Gyeongbokgung tak jauh dari kata kehancuran dan renovasi. Penyebab kehancuran salah satunya disebabkan oleh kebakaran dan perang.
Terakhir Istana Gyeongbokgung dihancurkan oleh Jepang saat menjajah dan menguasai Korea. Pada 1989 pemerintah Korea Selatan memugar kembali bangunan-bangunan tersebut sebagai bentuk pelestarian sejarah.
Setidaknya ada tiga lapis pintu gerbang yang harus dilalui untuk sampai ke bangunan tempat raja bertakhta. Masing-masing gerbang dibatasi oleh lapangan yang sangat luas.
Takhta raja bisa difoto atau direkam oleh pengunjung, tapi pengunjung tidak diperbolehkan masuk ke bangunan yang dinamakan Geunjeongjeon. Takhta raja berada persis di tengah Geunjeongjeon.
 Turis yang berpakaian hanbok (baju tradisional Korea) di Istana Gyeongbokgung. (CNN Indonesia/ Jonathan Patrick) |
Selain bangunan antik, keindahan taman juga dapat dinikmati di tempat wisata ini. Di samping Geunjeongjeon terdapat sebuah paviliun Gyeonghoeru seluas 931 meter persegi yang berdiri di atas kolam.
Sebelumnya telah disebutkan bahwa Seoul dipenuhi dengan nuansa modern dan antik. Bukti nyata adalah kantor kepresidenan Republik Korea Selatan, Cheong Wa Dae berlokasi di belakang istana Gyeongbokgung.
Cheong Wa Dae atau Blue House sebelumnya merupakan rumah bagi gubernur jenderal Jepang di Korea sebelum akhirnya dihancurkan pemerintahan Korea dan kemudian dibangun kembali sebagai kantor presiden.
Cheong Wa Dae dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai 'Rumah dengan genting biru'. Bangunan ini memiliki ciri khas genting yang berwarna biru.
Catatan perjalanan wisata di Korea Selatan masih berlanjut ke halaman selanjutnya...[Gambas:Video CNN]
Starfield LibrarySelepas dari Istana Gyeongbokgung, saya menuju ke Starfield Library. Perjalanan memakan waktu sekitar 45 menit. Saat itu jam sudah menujukkan pukul 16.15.
Akses ke tempat ini bisa menggunakan bus umum atau kereta bawah tanah. Apabila menggunakan kereta, turun di stasiun Samseong (Seoul Subway Jalur 2) Exit 5 atau 6. Bisa juga turun di Stasiun Bongeunsa (Seoul Subway Line 9).
Starfield Library terletak di dalam pusat perbelanjaan COEX Mall. COEX Mall beralamat di Yeongdong-daero, distrik Gangnam.
Di dekat pusat perbelanjaan ini terdapat sebuah patung tangan dengan pose tarian menunggang kuda dari video musik 'Gangnam Style', lagu yang dipopulerkan oleh Psy pada tahun 2012.
Masuk ke Starfield Library, saya merasa seperti tidak masuk ke dalam perpustakaan. Saya merasa masuk ke sebuah pusat perbelanjaan dengan ribuan buku yang terpampang seolah sebagai dekorasi.
Mata saya langsung tertuju ke rak buku dengan tinggi mencapai 13 meter atau setinggi dua lantai pusat perbelanjaan.
Perpustakaan ini memiliki koleksi 50 ribu buku dan majalah yang bebas dibaca oleh pengunjung. Perpustakaan dibuka untuk umum. Masuk ke perpustakaan ini tidak dipungut biaya sama sekali.
Terdapat beberapa tempat nyaman untuk membaca buku. Di lantai dua terdapat mini market sehingga pengunjung bisa dengan mudah membeli makanan atau minuman.
 Rak buku tinggi di Starfield Library. (CNN Indonesia/Jonathan Patrick) |
HongdaeJam tangan sudah menunjukkan pukul 20.15 WIB saat rombongan tiba di area Hongdae. Hongdae dapat diakses dengna bus umum dan kereta bawah tanah dengan tujuan Stasiun Hongik University.
Memasuki area Hongdae serasa memasuki area Kemang. Muda-mudi berpakaian kekinian hilir mudik di kawasan ini. Kafe, tempat makan, tempat belanja, hingga konser mini musisi jalanan menghiasi area ini.
Hongdae sesungguhnya adalah sebuah jalan yang terletak di dekat Hongik University atau Hongik Daehakgyo yang terkenal dengan fakultas seninya. Tak heran suasana Hongdae terasa sangat 'nyeni'.
Alunan musik yang dinyanyikan musisi jalanan terdengar di seluruh sudut Hongdae. Penampilan mereka terlihat berkelas, tak ecek-ecek. Musisi jalanan ini menyediakan tempat gitar atau kotak bagi para pengunjung yang ingin memberikan uang sebagai bentuk apresiasi.
Di daerah Hongdae juga terdapat gerai yang menjual pakaian dan kosmetik khas Korea Selatan. Terdapat pula gerai makanan dan kafe-kafe unik yang menarik disinggahi.
Mengisi perut yang keroncongan, saya mencoba mencari makanan di Hongdae. Setelah melakukan pencarian lewat Google, akhirnya saya memutuskan untuk mengunjungi gerai Hongdae Dakgalbi.
Dakgalbi sendiri merupakan makanan yang saus gochujang, tteokbokki, ubi, kol dan sedikit ayam di kuali. Kuali datar tersebut berukuran lebar dan diletakkan di tengah meja makan.
Dakgalbi sendiri bisa disajikan dengan menggunakan keju mozarella. Ayam bisa dicocol ke keju tersebut, sehingga cukup menyenangkan ketika bisa mengaduk ayam agar bisa menyerap dengan bumbu dan keju.
 Dakgalbi. (CNN Indonesia/Jonathan Patrick) |
Catatan perjalanan wisata di Korea Selatan masih berlanjut ke halaman selanjutnya...[Gambas:Video CNN] HARI KEDUAGangchon Rail ParkHari kedua saya di Korea tak seperti hari pertama. Hari ini harus bangun lebih pagi karena harus berangkat dari hotel di Myeongdong pukul 08.30 untuk menuju Gangchon Rail Park. Perjalanan memakan waktu dua jam dengan menggunakan bus.
Selain dengan bus, akses menunju Gangchon bisa menggunakan kereta bawah dengan tujuan stasiiu Gimyujeong.
Gangchon Rail Park memang diakui sebagai salah satu tempat wisata populer di Korea Selatan. Di sini, pengunjung bisa menggowes semacam sepeda beroda empat yang diletakkan di atas rel kereta dari Stasiun Gimyujeong.
Rel Ganchong Rail Park pernah beroperasi selama 70 tahun.
Harga tiket di Gangchon Rail Park ditetukan lewat jumlah tempat duduk sepeda. Dua tempat duduk dibanderol 30 ribu won (sekitar Rp360 ribu), sedangkan empat tempat duduk 40 ribu won (sekitar Rp480 ribu).
Saat menggowes, pengunjung akan dijamu dengan perbukitan hijau dan Sungai Bukhangang. Udara terasa sangat sejuk saat saya menyusuri rel kereta.
 Pemandangan di sekitar Gangchon Rail Park. (CNN Indonesia/ Jonathan Patrick) |
Selama perjalanan pengunjung akan melewati empat terowongan. Di dalam terowongan yang gelap, terdapat lampu warna warni, musik, dan gelembung-gelembung udara. Uniknya di salah satu terowongan, pengunjung bakal merasakan nuansa masuk ke kelab malam.
Selain itu pengunjung juga harus melewati perlintasan kereta api. Oleh karena itu pengunjung harus melihat rambu-rambu dari petugas penjaga perlintasan kereta api. Pengunjung harus menghentikan sepeda apabila petugas hendak mengarahkan kendaraan melewati perlintasan kereta.
Bergowes usai dalam waktu 50 menit, kira-kira jarak yang ditempuh sekitar enam kilometer. Setelah bergowes, pengunjung akan tiba di stasiun transit untuk istirahat sejenak.
Selanjutnya, perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan kereta menuju ke Stasiun Gangchon. Perjalanan memakan waktu 50 menit.
Pulau NamiSeusai menggowes di Gangchon Rail Park, energi yang terkuras harus diisi dengan makanan. Mengingat jam sudah menunjukkan pukul 13.25, saya memutuskan untuk mengisi perut.
Pasalnya tujuan wisata berikutnya tak kalah jauh seru dari Gangchon Rail Park, yakni Pulau Nami. Akses menuju Pulau Nami bisa menggunakan kereta bawah tanah dengan tujuan Stasiun Sangbong di Line 7, selanjutnya dari Sangbong cari kereta yang mengarah ke stasiun Gapyeong.
Tiket masuk ke Pulau Nami seharga 13 ribu won (sekitar Rp155 ribu).
Pulau Nami mungkin familiar bagi penggemar serial 'Winter Sonata' yang populer pada tahun 2002-an. Pulau ini dijadikan tempat syuting serial yang dibintangi Bae Yong Joon dan Choi Ji Woo.
Sejak serial tersebut meledak, jumlah pengunjung yang datang ke Pulau Nami ikut meningkat.
 Patung karakter 'Winter Sonata' di Pulau Nami. (CNN Indonesia/Jonathan Patrick) |
Pengunjung perlu menggunakan kapal feri untuk menyeberangi Sungai Han agar bisa sampai ke sini. Perjalanan memakan waktu kurang lebih 10 menit dari Dermaga Gapyeong.
Kapal feri disesaki oleh pengunjung, padahal saya mengunjungi Pulau Nami pada hari biasa, bukan hari libur. Kapal Feri juga dihiasi oleh bendera dari berbagai negara di seluruh dunia.
Beberapa memoribila 'Winter Sonata' terdapat di pulau ini. Seperti patung legendaris sejoli Bae Yong Joon dan Choi Jin Woo hingga berbagai figura kayu foto-foto adegan di serial ini.
Di Pulau Nami juga terdapat lokasi bernama Metasequoia Lane. Lokasi ini merupakan jalur dengan kedua sisi jalan yang dipenuhi dengan pepohonan tinggi.
Cukup beruntung saya datang ke Pulau Nami saat musim gugur, Pasalnya warna daun tidak hanya hijau tapi menguning karena mengering dan akan berguguran. Hal itu membuat pemandangan sekitarnya semakin indah.
 Suasana teduh di Pulau Nami. (CNN Indonesia/Jonathan Patrick) |