Agar Para Ibu Siap Saat Anak Tak Masuk Sekolah Idaman

CNN Indonesia
Minggu, 22 Des 2019 18:51 WIB
Ada alasan mengapa anak tak bisa masuk sekolah idaman. Pakar berkata, orang tua tak perlu kecil hati karena rumah adalah 'sekolah' utama bagi anak.
Ilustrasi. Ada sejumlah alasan mengapa anak tak bisa masuk sekolah idaman. Pakar berkata, orang tua tak perlu kecil hati karena rumah adalah 'sekolah' yang utama bagi anak. (Foto: Istockphoto/ Damircudic)
Jakarta, CNN Indonesia -- Ada sejumlah alasan mengapa anak tak bisa diterima di sekolah yang diidamkan oleh orang tua. Bisa karena biaya, domisili yang tak sesuai dengan lokasi sekolah (sistem zonasi), hingga adanya kendala transportasi. Apapun alasannya, baiknya ibu tak perlu patah hati.

Pakar Sosial dan Budaya dari Universitas Indonesia Devie Rahmawati mengatakan, sekolah bukanlah 'bengkel' atau 'pabrik' yang bisa memproduksi anak-anak seperti yang diharapkan oleh orang tua. Orang tua lah yang menjadi sekolah utama bagi anak.

"Pendidikan tidak akan mampu menghasilkan anak-anak dengan kemampuan yang diharapkan di masa depan. Orang tua harus menciptakan ekosistem yang sama di rumah agar anak punya 'senjata' lengkap untuk bertempur di masa depan," ujar Devie melalui sambungan telepon kepada CNNIndonesia.com, Kamis (19/12).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Menurut Devie, sejumlah sekolah di Indonesia kini masih fokus pada pencapaian kuantitatif yang bisa diukur. Pencapaian kuantitatif yang dimaksud antara lain nilai-nilai tinggi, banyaknya hafalan, hingga dijejali rumus-rumus. Sayangnya, pencapaian kuantitatif ini sangat mudah digantikan oleh robot dan mesin.

"Saat ini, apalagi di masa depan, layanan-layan standar akan menggunakan robot. Robot bisa lebih cepat berhitung, rumus, teori-teori sehingga menggantikan lapangan kerja manusia di masa depan. Sehingga orang tua perlu mempersiapkan anak agar kemampuannya di atas robot, dengan cara membekali kemampuan bertahan hidup," ujar Devie.
Agar Para Ibu Siap Saat Anak Tak Masuk Sekolah IdamanFoto: Istockphoto/ SeventyFour
Devie melanjutkan, di Indonesia orang tua bisa dengan mudah mencari sekolah atau lembaga kursus yang mengajarkan kemampuan kuantitatif. Walau ada sekolah yang juga mengasah life skill alias kemampuan bertahan hidup, namun jumlahnya belum banyak.

Kemampuan bertahan hidup terbagi atas dua aspek, yaitu soft skill dan hard skill. Soft skill meliputi kemampuan pengambilan keputusan (decision making skill), kemampuan menyelesaikan masalah (problem solving skill), serta kemampuan beradaptasi (adaptability skills). Sedangkan untuk hard skill meliputi kemampuan memahami bahasa mesin (coding), menguasai minimal 1 bahasa asing, serta memahami bahasa kalbu yang berupa empati dan afeksi.

Kemampuan kuantitatif dinilai Devie bisa dengan mudah dicapai anak di banyak sekolah yang ditambah dengan lembaga kursus, namun kemampuan bertahan hidup memerlukan keterlibatan orang tua lebih dalam. Dengan kata lain, di mana pun anak bersekolah, perkembangannya bisa jadi kurang sempurna bila di rumah ia tak dibekali kemampuan bertahan hidup oleh orang tua.

Pemerhati anak, Seto Mulyadi menambahkan, pilihan sekolah tak selalu sekolah formal. Masih ada sekolah informal dan nonformal.

"Kita punya program wajib belajar bukan wajib sekolah, tidak semua anak yang sekolah itu belajar dan tidak semua anak musti belajar di sekolah," katanya pada CNNIndonesia.com saat dihubungi melalui telepon, Rabu (18/12).

Berikut sejumlah cara yang bisa dilakukan orang tua agar anak bisa berkembang secara optimal meski tak bisa bersekolah di sekolah favorit.

1. Berkomunikasi 'sadar' dengan anak

Satu aspek yang membuat manusia unggul dibandingkan mesin adalah sifat manusiawi yang berupa afeksi (kasih sayang), perhatian, hingga kemampuan bertukar pikiran dan berbagi beban. Inilah salah satu pendidikan penting yang bisa diberikan oleh orang tua melalui komunikasi.


Dalam sebuah riset yang dilakukan selama 1-2 tahun, Devie menemukan banyak industri yang mengeluhkan kurangnya kemampuan komunikasi pada pekerja muda. Padahal, soal kecerdasan, anak-anak tersebut dinilai tidak ada kekurangan.

Devie berpendapat, salah satu penyebab rendahnya kemampuan komunikasi anak adalah cara berkomunikasi orang tua yang kurang tepat. Kebanyakan orang tua menerapkan komunikasi yang bersifat teknis seperti 'Sudah makan?', 'Sudah bikin PR?', tanpa menciptakan sebuah dialog.

"Orang tua perlu berdialog dengan anak dengan cara meminta anak bercerita dan lebih banyak mendengar," katanya.

Bila anak tidak dibiasakan berdialog sejak kecil, lanjut Devie, maka anak bisa tumbuh seperti robot. Ia tidak mampu berkomunikasi dengan baik untuk menyelesaikan permasalahan sosial yang sejatinya tak hanya membutuhkan kemampuan teknis, namun juga butuh empati.

Kurangnya kemampuan komunikasi juga menjadi penyebab anak mudah gugup saat berbicara di depan umum, saat wawancara kerja, bahkan tak berani untuk menatap mata.

"Ke depannya salah satu penyakit terbanyak akibat menurunnya kemampuan berkomunikasi adalah stres," ujar Devie.

2. Simulasi kehidupan

Metode pendidikan paling sederhana untuk mengasah kemampuan hidup anak ialah lewat keteladanan. Misalnya, orang tua ingin menerapkan disiplin untuk bangun pagi, maka orang tua harus melakukannya lebih dahulu. Orang tua ingin anaknya memiliki tata krama, maka perlihatkan cara mengantre atau bersikap sopan terhadap orang yang lebih tua.

Lalu, bila orang tua ingin anak-anak memiliki kemampuan emosional yang baik, orang tua perlu memperlihatkan kepada anak bagaimana cara menghadapi masalah dengan cara yang tepat, misalnya bagaimana cara menghadapi jalanan macet, orang yang marah, menghadapi orang yang berbohong, menghadapi orang yang berkata kasar, sehingga mental anak bisa terasah.

"Banyak kasus anak-anak muda yang berhenti kerja hanya karena dimarahi oleh atasan atau anak-anak yang bunuh diri akibat di bully. Ini menunjukkan kalau anak kurang mendapat simulasi kehidupan," kata Devie.

Sadar atau tidak, bagaimana orang tua menanggapi situasi tertentu akan ditiru oleh anak. Ini akan melekat di alam bawah sadar anak hingga dewasa. Anak pun akan mudah beradaptasi dan siap mental dengan berbagai macam orang serta lingkungan.

3. Konsekuensi logis

Devie menilai, kini tak jarang orang tua yang rela mengerjakan tugas sekolah anak demi nilai yang bagus, lalu diunggah ke sosial media, demi mendapat predikat sebagai orang tua yang sukses. Padahal, selalu memudahkan anak dalam mengerjakan kewajibannya dapat membuat anak lemah secara mental dan karakter.
Agar Para Ibu Siap Saat Anak Tak Masuk Sekolah IdamanFoto: Istockphoto/ Lovleah
Cara terbaik ialah membiarkan anak tahu tentang konsekuensi logis atas pilihannya. Misalnya, anak tak mau mengerjakan PR, konsekuensi logis bukanlah anak tak boleh nonton televisi, melainkan mendapat hukuman di sekolah. Saat anak tidak mau belajar, maka konsekuensi logisnya adalah tidak mendapat nilai yang baik.


"Kita perlu belajar dari karakter orang tua di Eropa. Di sana orang tua biasa untuk menerima bila anaknya tidak naik kelas bila anaknya memang belum mampu. Saya juga menerapkan itu di sekolah anak, saya bilang ke guru jangan dibagus-bagusin nilai anak saya, biarkan apa adanya," kata Devie.

Cara ini akan membuat anak tumbuh menjadi pribadi yang penuh tanggung jawab dan mampu mengambil keputusan.

4. Ibu juga belajar

Ada banyak kelas parenting yang bisa ibu ikuti sebagai modal untuk memberikan 'paket' pendidikan yang lengkap untuk anak. Menurut Devie, ini bisa menjadi cara yang baik untuk memperkaya wawasan, namun ibu perlu konsisten dalam menerapkannya.

Intinya, bukan hanya anak saja yang belajar, orang tua juga perlu belajar untuk bisa menjadi contoh yang baik bagi anak. Orang tua yang baik bukanlah orang tua yang sempurna, namun orang tua yang mau mengakui kesalahan dan memperbaikinya.

" Ada banyak les soal parenting. Paling benar adalah implementasi dengan baik," ujar Devie.

[Gambas:Video CNN] (ayk/ayk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER