LANCONG SEMALAM

Rumah Kranggan dan Kisah Jaya Thio Sing Liong

Silvia Galikano | CNN Indonesia
Minggu, 12 Jan 2020 14:23 WIB
Properti milik Thio Sing Liong dari abad ke-19 masih tersebar di Semarang. Satu di antaranya gedung yang ditempati Toko Oen di Jalan Pemuda.
Foto anak-anak Thio Sing Liong di halaman depan Rumah Kranggan. (Dok. Keluarga Thio Sing Liong)
Rumah Kranggan dan warga sekitar

Kedekatan penghuni Rumah Kranggan dengan masyarakat sekitar bisa jadi sebab kerusuhan anti-Cina pada 25 November 1980 tidak menyentuh Rumah Kranggan, sementara toko-toko di sekelilingnya habis dilempari.

Para pedagang kaki lima bersama suami Meis (Djoeachir Djodjosoeseno) yang pribumi menjaga pintu masuk Rumah Kranggan agar massa tetap di jalan, tidak merangsek ke rumah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Satu lagi yang terbilang unik dari keluarga Thio Sing Liong dibanding keluarga Tionghoa lain dalam hal menempati rumah kong, ternyata sejak generasi kedua, perempuanlah yang menghuni rumah leluhur, walau itu tanpa sengaja.

Awalnya yang tinggal di sini adalah Thio Sing Liong dan istri pertama, Tan Tien Nio. Ketika Sing Liong menikah lagi, Tien Nio tidak suka dengan keputusan sang suami.

Maka istri kedua, Tjoa Kwat Nio tinggal di rumah sederhana di Jalan Mataram, dekat pasar Karangturi, Semarang.

Semua anak dari istri kedua ini kemudian diangkat anak oleh adik Thio Sing Liong dan dibesarkan di rumah Kranggan. Mereka terdiri dari satu laki-laki dan empat perempuan, salah satunya adalah nenek dari Meis dan Gayawati.

Setelah istri pertama wafat, Sing Liong menikah lagi, yakni dengan Goei Khwan Nio. Istri ketiga ini yang kemudian menempati Rumah Kranggan.

Dari tiga istrinya, anak laki-laki Thio Sing Liong hanya tiga orang. Ketiga anak lelaki itu sukses bisnisnya dan setelah menikah memiliki rumah sendiri sehingga "tidak perlu" menempati rumah orangtuanya.

Mereka adalah Thio Thiam Tjwan punya rumah di Jalan Gunung Gebyok, Semarang; Thio Thiam Tjong di Jalan Gajahmungkur, Semarang yang sekarang menjadi restoran Goodfellas; dan Thio Thiam Po yang berprofesi sebagai dokter gigi tinggal di Palembang.

Dari tiga putera tersebut hanya Thio Thiam Po yang punya anak laki-laki, tapi meninggal saat muda.

Alhasil dari keturunan perempuanlah yang dipanggil untuk menempati rumah kong. Karenanya Rumah Kranggan tidak bisa disebut rumah kong marga Thio, sebab yang menempati sudah beragam-ragam marga, walau masih satu keturunan; dari Thio, Oei, Tjie, hingga The.

Rumah Kranggan dan Kisah Jaya Thio Sing LiongRuang tengah. (Dok. Silvia Galikano)

Memelihara sejarah Rumah Kranggan

Jika dahulu istri kedua Thio Sing Liong, Tjoa Kwat Nio, dilarang tinggal di Rumah Kranggan, sekarang keturunannyalah yang menempati dan memelihara rumah ini.

Berawal dari Oei Tjing Swan (1921 - 2002), anak dari puteri pertama Thio Sing Liong dan Tjoa Kwat Nio, bersama istri pernah menempati rumah ini. Setelah Oei Tjing Swan bercerai pada 1960, dia pindah ke Jakarta.

Agar rumah tidak kosong (pada masa itu, rumah kosong rawan ditempati tentara), keluarga Hardjanegara yang tinggal di Lembang, yaitu Tjie Gik Hok (1923 -1989) serta suami, The Han Lim (Ahmad Hardjanegara), berikut lima anak mereka diminta Thio Thiam Tjong untuk menempati Rumah Kranggan. The Han Lim dan Tjie Gik Hok tak lain orangtua Meis dan Gayawati. Keluarga Hardjanegara mulai menempati Rumah Kranggan pada 1962.

Rumah Kranggan dan Kisah Jaya Thio Sing LiongRuang tidur. (Dok. Silvia Galikano)

Pada 1995 Gayawati dan suami pindah dari Bandung untuk tinggal bersama keluarga Meis di Rumah Kranggan. Hingga kemudian pada 2002 Meis dan keluarga pindah ke Banyumanik, Semarang, sejak itu Gayawati dan suaminya menjadi tuan rumah di Rumah Kranggan.

Di balik terpeliharanya narasi tentang Thio Sing Liong, ada kabar getir tentang Rumah Kranggan.

Keluarga berniat menjualnya karena beratnya biaya untuk mengurus rumah sebesar itu. Kondisi bangunan yang sudah tua membutuhkan biaya pemeliharaan yang tidak sedikit. Belum lagi pajak bumi dan bangunan (PBB) yang dalam tahun 2019 telah mencapai Rp97 juta.

Dapat dimaklumi, bukan perkara mudah bagi keturunan Thio Sing Liong memelihara seluruh aset kongco mengingat segala ongkos pemeliharaan dan PBB yang jumlahnya bukan di angka main-main. Dan tiap tahun bertambah terus jumlahnya.

Kalau begini, apa yang seharusnya dilakukan Pemkot Semarang? Apa pula yang dapat dilakukan masyarakat pemerhati sejarah Semarang dan pencinta bangunan tua? 



(ard)

HALAMAN:
1 2 3
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER