Aturan Wisata Ganja di Amsterdam Bakal Diperketat

CNN Indonesia
Rabu, 19 Feb 2020 17:13 WIB
Demi mengembangkan potensi wisata yang lain, Amsterdam berencana membatasi wisata ganja di kotanya.
Kedai kopi yang menjual ganja di Amsterdam, Belanda. (CNN Indonesia/Teguh Yuniswan)
Jakarta, CNN Indonesia -- Amsterdam sedang mempertimbangkan untuk melarang turis kongko di kedai kopi yang menjual ganja demi menyeimbangkan kualitas hidup penduduk lokal dengan jumlah kedatangan turis.

Langkah itu menjawab survei terbaru mengenai wisatawan muda.

Survei tersebut, yang berlangsung pada Agustus 2019, diikuti 1.100 turis mancanegara berusia antara 18 dan 35 yang mengunjungi Wallen dan Singel - pusat kota abad pertengahan yang merupakan Distrik Lampu Merah (Red Light District) Amsterdam, salah satu wilayah kota yang sedang menjadi fokus peraturan pariwisata terbaru.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sekitar 57 persen responden mengatakan kedai kopi ganja adalah alasan utama mereka datang ke Amsterdam.

Sementara itu, 34 persen mengindikasikan mereka berpikir dua kali datang ke Amsterdam jika mereka tidak dapat mengunjungi kedai kopi ganja, dan 11 persen mengatakan mereka tidak akan datang sama sekali.

Amsterdam memang sedang berusaha mengatasi overtourism (serbuan turis) dalam beberapa tahun terakhir, agar tidak semakin banyak turis berperilaku buruk yang datang.

Dalam sepucuk surat kepada anggota dewan sebelum survei berlangsung pada Juli 2019, Walikota Femke Halsema menyarankan bahwa kedai kopi ganja di Amsterdam dapat membuat "kualitas hidup di pusat kota berada di bawah tekanan."

Penertiban kedai

Mulai 1 April 2020, langkah-langkah baru akan diberlakukan untuk mengatur tur kelompok di Red Light District, mencegah kelompok-kelompok wisata melewati jendela-jendela toko seks, tur melewati pukul 22.00 malam, dan berlama-lama di "tempat-tempat yang peka terhadap tekanan" - seperti jembatan sempit atau jalan masuk baru.

Setiap pemandu wisata yang ditemukan melanggar aturan dapat dikenakan denda 190 euro (Rp2,8 juta).

Survei juga meminta pendapat turis tentang kemungkinan mereka membayar tiket masuk untuk mengunjungi Red Light District.

Dari survei tersebut, 32 persen mengatakan mereka akan berhenti datang dan 44 persen mengatakan mereka akan jarang berkunjung.

Tetapi survei menunjukkan bahwa kedai kopi ganja di kota itu memiliki daya tarik yang lebih kuat bagi wisatawan mancanegara daripada ke Red Light District.

Hanya 1 persen dari mereka yang menyebutkan prostitusi sebagai alasan utama kunjungan.

Sementara itu, 72 persen mengatakan mereka mengunjungi kedai kopi ganja selama masa kunjungan bisnis mereka di Amsterdam.

Dampak buruk

Jurnalis Isabelle Gerretsen yang tumbuh besar di Amsterdam melihat langsung dampak pariwisata massal di kotanya.

"Dapat dimengerti bahwa penduduk Amsterdam ingin melestarikan pusat bersejarah mereka yang indah, dan juga menjalani kehidupan sehari-hari mereka tanpa terus-menerus dihadang oleh turis yang ribut," katanya seperti yang dikutip dari CNN Travel pada Rabu (19/2).

Melihat pembatasan wisata ganja adalah "yang terbaru dari serangkaian tindakan yang bertujuan untuk mempertahankan status kota sebagai pusat budaya, daripada taman hiburan untuk 'turis gulma'," kata Gerretsen.

"Tapi dari semua tindakan, itu paling berisiko," katanya.

"Karena Amsterdam dikenal di seluruh dunia karena kebijakannya yang toleran terhadap obat-obatan terlarang. Ini dapat menyebabkan penurunan jumlah wisatawan."

Berbagai kota di Belanda memiliki aturan kedai kopi ganja yang berbeda, dan diskusi tentang turis berwisata ganja bukanlah hal baru.

Percakapan ini sempat panas pada tahun 2011 dan 2012, dengan Amsterdam menentang usulan soal kedai kopi ganja yang hanya bisa dinikmati penduduk lokal.

Saat ini, aturan itu berlaku di di Maastricht, selatan Belanda.

Untuk menambah "kebingungan" ini, membeli ganja dari kedai kopi adalah kegiatan sah di Belanda, tetapi memproduksi ganja tetap kegiatan ilegal.

Survei baru di Amsterdam menunjukkan bahwa pembatasan wisata ganja bagi turis tidak selalu berarti pengurangan overtourism atau pengurangan penggunaan ganja.

Dari pengunjung yang disurvei, 29 persen mengatakan mereka akan beralih ke rute lain untuk mencari ganja, seperti meminta penduduk untuk membeli ganja untuk mereka atau melalui perdagangan jalanan.

Dalam surat baru-baru ini kepada anggota dewan kota yang berisi hasil survei, Halsema mengatakan pemerintah kota harus fokus pada "mengurangi daya tarik ganja bagi wisatawan" dan membuat pasar ganja Amsterdam lebih transparan.

Namun, survei wisata Amsterdam menunjukkan bahwa alasan paling umum untuk mengunjungi Amsterdam bukanlah kedai kopi ganja, Red Light District atau bahkan beragam museum dan atraksi budaya.

Sebenarnya daya tarik Amsterdam bagi turis ialah berjalan kaki atau bersepeda di sekitar kota.

Turis asal Inggris, Allan Claydon (24), setuju dengan pengaturan kedai kopi ganja - dan mengatakan dia tidak berpikir pembatasan tersebut akan mengubah daya tarik Amsterdam bagi turis mancanegara.

"Saya tidak berpikir pelarangan ganja akan merusak pariwisata," katanya kepada CNN Travel.

"Kota ini juga terkenal dengan budayanya dan estetikanya yang cemerlang."

[Gambas:Video CNN]

(ard)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER