Jakarta, CNN Indonesia -- Organisasi Kesehatan Dunia (
WHO) menentang kebijakan kekebalan kelompok atau
herd immunity yang diterapkan sejumlah negara untuk mengatasi pandemi
Covid-19. Direktur Eksekutif WHO untuk Keadaan Darurat Kesehatan, Michael Ryan mengatakan lembaganya mengecam penerapan konsep tersebut untuk menangani wabah
virus corona lantaran mengorbankan nyawa manusia.
"Bagaimana jika kita akan kehilangan beberapa orang tua di sepanjang jalan? Ini benar-benar berbahaya, perhitungan berbahaya," ujar Ryan dalam konferensi pers di Jenewa dikutip dari laman resmi
WHO.
Hanya saja, Ryan tidak menyebut secara spesifik negara mana yang menerapkan kebijakan tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam konferensi pers di Jenewa itu Ryan menambahkan, penerapan konsep
herd immunity sangat berbahaya, terlebih ketika vaksin Covid-19 belum tersedia.
"Jadi saya pikir ide ini, bahwa mungkin beberapa negara yang memiliki kebijakan pelonggaran dan tidak melakukan apa-apa akan secara ajaib mencapai
herd immunity," tutur dia.
Apa yang disampaikan Ryan itu--tingkat kematian pada orang tua yang tinggi akibat Covid-19, dalam laporan
Bussines Insider disamakan dengan kondisi yang terjadi di Swedia.
Swedia merupakan negara yang terbilang santai dalam menghadapi pandemi Covid-19. Mereka tetap mengizinkan bar, sekolah, dan gimnasium tetap buka sambil mendorong orang untuk tinggal di rumah ketika sakit, jarak sosial, dan sering mencuci tangan untuk menghindari penyebaran virus.
Herd immunity atau kekebalan kelompok merupakan bentuk perlindungan tak langsung tubuh dari penyakit menular. Tapi kondisi ini baru bisa dicapai ketika sebagian besar populasi kebal terhadap infeksi, sehingga penyebaran penyakit bisa dihentikan.
Kekebalan bisa didapat dari vaksinasi atau seseorang sudah pernah terinfeksi. Dalam kasus wabah Covid-19 ini, karena belum ditemukan vaksin, maka herd immunity baru bisa dicapai ketika sebagian besar orang terpapar virus.
 Foto: CNNIndonesia/Basith Subastian |
Michael Ryan pun mengatakan, selama ini para ahli epidemiologi menggambarkan bahwa suatu populasi yang umumnya telah divaksinasi dapat melindungi individu rentan, misalnya bayi atau orang yang mengalami gangguan kekebalan tubuh. Ketika kekebalan kelompok seperti itu ada, sulit bagi virus untuk menyebar.
"Manusia bukan kawanan (seperti binatang). Saya pikir kita harus benar-benar berhati-hati ketika kita menggunakan cara itu," ujar dia.
Ryan juga mengaku tidak sepakat dengan asumsi bahwa tingginya kasus saat ini merupakan pertanda pandemi akan berakhir. Sebab dia mengatakan jumlah kasus yang kini ada masih jauh di bawah perkiraan.
"Hasil awal dari studi sero-epidemiologi menunjukkan yang sebaliknya ... Jumlah orang yang terinfeksi dalam total populasi mungkin jauh lebih rendah dari yang kami perkirakan," ungkap Ryan.
Ia memaparkan, hanya sekitar 1 persen dari 10 persen orang di dunia yang menunjukkan bukti infeksi, menurut hasil awal dari 90 survei serologi yang terjadi di seluruh dunia. Sehingga, dia berkata implikasi kesehatan dari virus itu jauh lebih parah daripada yang diyakini banyak orang.
[Gambas:Video CNN]Sementara pimpinan teknis WHO, Maria Van Kerkhove mengatakan tubuh belum dapat mengevaluasi metodologi seroprevalensi yang sedang berlangsung--yang mencari antibodi dalam darah untuk mengetahui riwayat infeksi Covid-19.
"Apa yang ditunjukkan oleh penelitian seroepidemiologis ini kepada kami adalah bahwa ada sebagian besar populasi yang tetap rentan. Jadi kita masih harus menempuh jalan panjang dengan virus ini," ujar Kerkhove.
WHO menyatakan, sebuah hasil penelitian menunjukan bahwa orang yang memiliki antibodi Covid-19 jauh lebih sedikit dari yang diharapkan. Selain mengarah pada kegagalan,
herd immunity juga berbahaya untuk diterapkan.
Soal
herd immunity ini juga pernah disinggung ahli molekuler Ahmad Rusdan Handoyo Utomo dalam diskusi daring "Meliput Covid-19" yang digelar pada Maret 2020. Terkait penanganan virus corona ini, ia mengatakan lebih memilih pendekatan aggressive testing dibaandingkan herd immunity.
Pernyataan itu ia utarakan ketika ditanya soal perbandingan strategi menekan sebaran virus Covid-19 di antara kedua cara tersebut.
"Pendekatan [
herd immunity] ini betul-betul radikal. Apa landasan berpikirnya, ini terkait sudah kelabakannya fasilitas kesehatan, seperti di Itali. Jadi, sekarang Eropa memikirkan, sudah biarkan saja yang tidak punya harapan hidup itu mati," tutur Ahmad dalam diskusi yang diikuti
CNNIndonesia.com.
"Artinya apa, orang itu memang tidak punya imunitas yang cukup, sehingga daripada membebani dia mending mati saja sehingga menyisakan orang-orang yang
survive--ini sudah terseleksi secara alami. Ini radikal sekali," kata dia lagi.
Sedangkan pendekatan
aggressive testing atau pengetesan massal secara agresif dianggap lebih manusiawi dan menghasilkan rencana penanganan yang lebih matang. Konsep ini akan melakukan pengetesan sebanyak mungkin dan mengelompokkan siapa saja yang positif terjangkit, lantas ditangani.
"Saya sih cenderung ke
aggressive testing, karena kita tahu, sains tidak berdiri sendiri. Karena sebagai bangsa, kita punya
value," kata Ahmad yang juga peneliti utama di Stemcell and Cancer Institute KalGen Laboratory Kalbe tersebut.
Kendati, memang ia mengakui masing-masing pendekatan menyimpan untung dan ruginya. Tes sebanyak-banyaknya misalnya, juga memerlukan biaya yang mahal.
"Kalau
herd immunity itu kan kesannya memang tidak ada planning di awal. Dan kesannya juga, ada ekonominya. Karena kan kalau di Eropa, setiap pasien masuk ICU itu kan harus dibayar oleh negara dan negara merasa kewalahan, sudah kemahalan. Yasudah biarkan saja mati," jelas Ahmad lagi.
[Gambas:Video CNN] (jps/nma)
[Gambas:Video CNN]