Kain-kain tradisional Indonesia sebenarnya tak kalah pamor dengan berbagai produk-produk lain di dunia. Kain tradisional seperti batik, tenun, dan ikat sudah membuktikan eksistensinya di dunia fashion sebagai busana versatile dan long lasting.
Meski demikian, desainer Didiet Maulana dan rekannya, Helen Wahyudi yang tergabung dalam Ikat Indonesia mengungkapkan masih banyak PR yang harus diselesaikan untuk menjadikan kain tradisional Indonesia benar-benar lestari.
Helen dan Didiet mengungkapkan bahwa salah satu hal tersulit saat ini adalah untuk menemukan penenun muda yang akan melanjutkan tongkat estafet tenun Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Yang menyedihkan adalah saat awal kami dapat banyak pesanan berulang, tapi kepala perajinnya bilang kalau penenun muda tidak ada yang mau menenun," kata Helen saat konferensi pers 9 tahun Ikat Indonesia beberapa waktu lalu.
"Mereka tidak mau menenun malah kerja di pabrik. Susah banget bilang ke pengrajin mereka bisa dapat apa dari menenun ini, dibandingkan dengan apa yang mereka dapat dari pabrik."
Untuk mengatasi hal tersebut, Didiet dan Helen pun melakukan pembinaan untuk memberdayakan perajin di daerah. Para perajin dibina di daerahnya masing-masing agar karyanya bisa sesuai dengan selera pasar namun tanpa menghilangkan ciri khas kainnya.
"Sudah 1.200 orang (perajin) yang kami bina. Dari Sumba, Maluku, Tanimbar, Donggala, Lasen, dan daerah lainnya," kata Didiet.
Selain langsung ke perajin, Didiet juga melakukan edukasi soal tenun kepada murid sekolah kejuruan. Dia juga membuat kurikulum tenun untuk ekstrakurikuler bersama dengan para perajin di SMK Kediri dan Denpasar. Dia juga membuat sebuah program Yang Muda Yang Menenun.
"Lewat pendidikan lah, maka perajin bisa menjadi profesi yang legit, profesi yang bisa memberi kepastian. Bukan sekadar pengisi waktu luang, tapi jadi profesi utama," kata Didiet.
"Ketertarikan generasi muda ini jadi PR bersama, jangan sampai tidak ada yang mau menenun lagi," kata Helen menambahkan.
Selain sedikitnya perajin muda, Didiet juga mengungkapkan salah satu kekurangan dari pemasaran kain tradisional.
"Biasakan untuk berita tentang apa yang dijual. Cerita macam-macan tentang motifnya, prosesnya, agar orang tahu apa sih yang dijual ini," ucap dia.
"Ada storytelling yang diberikan maka nilai produknya akan bertambah."
![]() Perajin melakukann proses "Nali" atau mengikat bagian tertentu pada benang untuk menghasilkan motif saat pewarnaan di Desa Troso, Pecangaan, Jepara, Jawa Tengah, Minggu (20/5). ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah/18. |
Tak dimungkiri Didiet Maulana bahwa pandemi virus corona saat ini berdampak besar pada para perajin tenun.
"KIta juga harus bisa mengelola perbedaan jadi keragaman. Pandemi bukan hanya mengglas opportunity tapi juga kepercayaan diri penenun."
Untuk mendukung perajin lokal di tengah pandemi, Ikat Indonesia membuat new normal essentials set dengan motif tenun. Satu setnya berisi pouch, masker, sabun tangan dan antiseptik dari rempah tradisional.
(chs)