Derita Sungai Gangga, Situs Suci yang Kini Tercemar & Beracun

CNN Indonesia
Selasa, 18 Agu 2020 16:06 WIB
Limbah rumah tangga dan industri yang dibuang ke Sungai Gangga menyebabkan aliran airnya kini tercemar dan beracun untuk dikonsumsi.
Pemandangan polusi dan limbah di Sungai Yamuna, salah satu aliran Sungai Gangga di India. (AP/Altaf Qadri)
Jakarta, CNN Indonesia --

Lebih dari 2.000 tahun yang lalu, seorang raja membangun benteng di tepi sungai paling suci di India, kawasan yang sekarang menjadi kota industri yang padat.

Saat ini, hanya sedikit dari reruntuhan kuno yang tersisa, kecuali gundukan puing yang diambil oleh para pekerja penyamakan kulit untuk dijadikan batu bata membangun lapak di atas tempat yang dulunya merupakan benteng Raja Yayati yang Agung.

Dan Kanpur, tempat Yayati membangun bentengnya, adalah kota yang terkenal dengan industri penyamakan kulit dan polusi yang tak henti-hentinya dipompakan ke Sungai Gangga.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selama lebih dari 2.700 kilometer, dari Gletser Gangotri di Himalaya hingga Teluk Benggala, Sungai Gangga mengalir melintasi dataran di India.

Sungai Gangga telah melihat kerajaan bangkit dan jatuh, peperangan, kedatangan kolonial Inggris, kemerdekaan, hingga kebangkitan nasionalisme Hindu sebagai gerakan politik.

Di India, Sungai Gangga lebih dari sekadar sungai.

Sungai ini adalah situs religi, pusat industri, pengairan pertanian, dan bahan politik.

Sungai ini juga sumber air bagi jutaan orang sekaligus tempat penampungan jutaan liter limbah.

Bagi umat Hindu, Gangga adalah 'Ganga Ma' - Ibu Gangga - dan pusat kehidupan spiritual bagi lebih dari satu miliar jiwa di India.

Setiap tahun, jutaan umat Hindu berziarah ke kuil dan tempat suci di sepanjang Sungai Gangga. Minum darinya adalah cara mengucap bersyukur dan berharap rezeki.

Bagi banyak orang Hindu, hidup tidak lengkap tanpa mandi setidaknya sekali seumur hidup di Sungai Gangga demi menghapus dosa.

Devotees take ritualistic dips alongside elephants at the confluence of river Ganges and river Gandak to mark the beginning of the centuries old Sonpur mela, the largest cattle fair in Asia, in the Indian state of Bihar, Tuesday, Nov. 12, 2019. Sonpur was once a place along the Ganges where powerful beasts like elephants were traded in large numbers. The number of elephants seen at the fair reduced drastically after a ban on their sale citing the Wildlife Protection Act. Only a handful are now brought by the administration to the festival in order to keep the Hindu tradition alive and also to add value to the fair as a tourist attraction. (AP Photo/Altaf Qadri)Umat Hindu yang sedang melaksanakan ritual di Sungai Gangga. (AP/Altaf Qadri)

Limbah beracun membuat air Sungai Gangga berbahaya untuk diminum. Geng-geng kriminal secara ilegal menambang pasir dari tepiannya untuk memenuhi nafsu tak kenal lelah India akan beton.

Begitu juga dengan bendungan hidroelektrik di sepanjang anak sungai, yang diperlukan untuk menggerakkan ekonomi India yang sedang tumbuh, namun telah membuat marah sejumlah kelompok Hindu yang mengatakan kesucian sungai telah tercoreng.

Dan selama 40-an tahun terakhir, Gletser Gangotri - sumber dari hampir setengah air Sungai Gangga - telah surut dengan kecepatan yang semakin menakutkan, sekarang turun sekitar 22 meter per tahun.

Selama ribuan tahun, pencairan gletser di Gangotri telah memastikan dataran gersang mendapatkan cukup air, bahkan selama bulan-bulan terkering. Sisanya berasal dari anak sungai Himalaya yang mengalir dari rangkaian pegunungan kolosal.

Saat Sungai Gangga mengalir melintasi dataran, airnya yang dulu bersih dan kaya mineral mulai mengumpulkan limbah beracun dari jutaan orang yang hidup di tepinya, menjadi salah satu sungai paling tercemar di dunia.

Jutaan liter limbah, bersama dengan logam berat, pestisida pertanian, tubuh manusia dan bangkai hewan, dibuang ke Sungai Gangga setiap hari.

Pemerintah India berusaha menekan angka polusi di Sungai Gangga, namun usaha itu belum maksimal sehingga air di sungai ini masih tetap beracun.

Mouni Baba, a Hindu holy man, fetches water from a stream at the feet of Mount Shivling in Tapovan, at an altitude of 4500 meters in the northern Indian state of Uttarakhand, Friday, May 10, 2019. Mouni Baba, on a silent vow, has been meditating in Tapovan for years, even during the long months when winter makes the place inaccessible. Tapovan is located just above Gangotri glacier, which is one of the primary sources of water for the Ganges. (AP Photo/Altaf Qadri)Es yang mencair dari Gunung Shivling menciptakan aliran air di Sungai Gangga. (AP/Altaf Qadri)

Tapi bagi umat Hindu, sungai itu tetap suci secara agama.

Setiap tahun, puluhan ribu umat Hindu membawa jenazah orang yang mereka cintai untuk dikremasi di Sungai Gangga, di kota Varanasi.

Setelah dari Varanasi, Sungai Gangga melanjutkan perjalanannya ke arah timur melalui lahan pertanian yang tak ada habisnya saat mendekati pantai, akhirnya membelah menjadi sungai yang lebih kecil di hutan belantaranya.

Sungai terbesar, Hooghly, mengarah ke selatan menuju laut, melewati Kolkata, kota terbesar di timur India. Ibu kota pemerintahan Inggris pada saat penjajahan ini adalah rumah bagi hampir 15 juta orang.

Lalu, air Sungai Gangga bermuara ke Teluk Benggala.

Di dekat gletser Gangotri, seorang pria suci Hindu bernama Mouni Baba menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam meditasi sembari melihat kehidupan umat manusia yang "terpantul" di Sungai Gangga.

"Keberadaan manusia seperti es," katanya.

"Saat es mencair kemudian menyatu menjadi aliran, aliran tersebut menuju ke anak sungai yang mengalir ke sungai dan berakhir di lautan. Beberapa (sungai) tetap murni sementara yang lain mengumpulkan kotoran di sepanjang jalannya. Beberapa (orang) membantu umat manusia dan beberapa menjadi penyebab kehancurannya."

(ap/ard)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER