Di tengah banyaknya tawaran pekerjaan yang memberikan kenyamanan dan gaji besar, Fikri Aswan memilih untuk menjadi petani di kampung halamannya, Sumatera Barat. Pemuda berusia 26 tahun itu yakin bertani merupakan pijakan karier yang menjanjikan.
Keputusan untuk menjadi petani tak datang begitu saja. Setelah menamatkan kuliah pada 2016 lalu, Fikri sempat menimba pengalaman di perusahaan manufaktur. Tak berlangsung lama, dia kemudian bergabung dengan beberapa lembaga swadaya masyarakat internasional (NGO) yang bergerak di sektor pertanian.
Sejak saat itu, Fikri kenal lebih dekat dengan dunia pertanian. Pekerjaan Fikri mengharuskan dia bertemu langsung dengan para petani.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Lebih kurang sekitar dua tahun mengembangkan usaha pertanian di desa dengan tujuan untuk mengurangi kemiskinan di Indonesia timur lewat inovasi di sektor pertanian," kata Fikri kepada CNNIndonesia.com.
Terjun langsung bertemu petani ke sawah dan ladang menumbuhkan rasa cinta Fikri pada dunia pertanian. Mimpi untuk menjadi petani pun mulai tumbuh. Pada saat menerima program fellowship dari The Young Southeast Asian Leaders Initiative (YSEALI) terkait sosial bisnis ke Amerika Serikat pada 2019 lalu, Fikri mantap untuk menjadi petani.
Di negeri Paman Sam itu, dia merancang rencana sosial bisnis di bidang pertanian untuk diterapkan di tanah air. Dia punya misi besar untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani.
![]() |
Rencana ini tak selalu mulus. Fikri mesti meyakinkan kedua orang tuanya bahwa menjadi petani merupakan pekerjaan yang layak, sama dengan menjadi 'orang-orang kantoran' di perusahaan besar.
Setelah mengantongi restu orang tua, pada November 2019, Fikri langsung bergegas memulai menjadi petani di kampung halamannya sebagai bentuk bakti dan pengabdian pada tanah kelahiran.
"Niatnya mulai dari kampung halaman dulu, karena setelah sekolah enggak pernah pulang, paling cuma pas Lebaran aja," ujar Fikri yang merupakan lulusan Teknik Industri, President University ini.
![]() |
Fikri memanfaatkan lahan yang dimiliki keluarganya di nagari Batang Kapas, Kabupaten Pesisir Selatan. Setiap pagi, Fikri bergegas ke sawah dan ladang hingga matahari mulai terik dan kembali lagi di sore hari.
Fikri memulai dengan menanam padi, komoditas paling umum di daerah itu. Namun, selama ini, produksi padi di sana tak maksimal.
"Petani di kampung itu memakai pola tradisional, bibitnya dari turun temurun. Pupuknya kurang, sehingga hasilnya juga kurang," kata Fikri.
Demi meningkatkan produksi, Fikri mengajak petani setempat untuk menggunakan bibit dan pupuk yang lebih baik. Tapi itu juga bukan perkara mudah. Beberapa petani yang sudah berusia tua dengan tingkat pendidikan yang rendah justru menolak.
Lihat juga:Revolusi Hijau Pertanian Vertikal Dubai |
Berdasarkan data BPS, rata-rata usia petani saat ini berada pada usia 45 tahun dengan tren beberapa tahun terakhir menunjukkan usia petani semakin tua. Mayoritas atau lebih dari setengah petani memiliki tingkat pendidikan SD dan SMP.
Fikri tak patah arang. Dia kemudian mencoba memberi contoh langsung dengan menanam padi menggunakan bibit dan pupuk berkualitas. Hasilnya, padi yang dihasilkan lebih baik dan lebih banyak. Perlahan, para petani setempat pun mulai mengikuti saran Fikri.
"Orang kampung di sini harus lihat dulu hasilnya bagaimana, baru mau coba," ujar Jasrol (50), salah satu petani di Batang Kapas, kepada CNNIndonesia.com.
Sebelum ada Fikri, kata Jasrol, hasil panen dua hektar padi biasanya selalu kurang dari 100 karung. Tapi, setelah ditambah modal dan pupuk yang lebih berkualitas sesuai arahan Fikri, hasil panen selalu lebih dari 100 karung.
Selain padi, Fikri juga menanam cabai dan mengajak petani lain untuk melakukan hal yang sama karena permintaan yang tinggi di pasar. Namun, selama ini cabai dianggap sebagai komoditas yang mahal dan hanya ditanam oleh petani bermodal tinggi. Biaya menanam cabai dapat mencapai 10 kali lipat lebih tinggi dibanding padi. Belum lagi masa panen cabai yang tergolong lama.
"Iya, betul sekali [mahal]. Biaya produksi cabai dapat mencapai Rp100 juta/ha, atau memerlukan modal Rp10 ribu-12 ribu/kg. Umur panen sekitar 4 bulan setelah semai, atau 3 bulan setelah tanam," kata Profesor pemuliaan tanaman Institut Pertanian Bogor, Muhammad Syukur kepada CNNIndonesia.com. Syukur fokus meneliti tanaman hortikultura cabai.
Untuk mengatasi hal ini, Fikri mencoba untuk menawarkan pinjaman dana kepada para petani. Dana dapat dikembalikan setelah panen. Fikri juga langsung mencontohkan menanam cabai dengan bibit terbaik.
![]() |
Sayang, niatan itu tak sepenuhnya berhasil. Sekitar 50 persen produksi cabai gagal karena diserang hama. Hama dan penyakit merupakan masalah yang kerap dijumpai petani dalam budidaya cabai.
"Masalah utama pada budidaya cabai adalah hama dan penyakit," kata Syukur. Cara mengatasi hama dan penyakit tersebut adalah dengan pengendalian terpadu mulai dari kesesuaian musim, kesesuaian lahan, pengelolaan air, penggunaan varietas unggul, pemantauan yang intensif serta penggunaan pestisida sesuai anjuran. Pengendalian ini perlu dilakukan mulai dari pembibitan, fase vegetatif, hingga fase generatif.
Kegagalan tak membuat Fikri menyerah. Dengan cepat, Fikri langsung memperbaiki proses penanaman dan berhasil menghasilkan 1,2 ton cabai.
Selain cabai, Fikri juga mengajak petani untuk menanam bawang merah. Komoditas satu ini dianggap punya nilai jual dan permintaan yang tinggi. Namun, lagi-lagi stigma menghalangi usahanya.
Di ranah Minang, bawang merah identik dengan tanaman yang tumbuh di daerah ketinggian. Petani di pesisir pantai, seperti di Batang Kapas, menganggap bawang merah tak bisa ditanam di dataran rendah.
"Petani di sana bilang, 'ngapain tanam bawang merah di situ'. Mereka enggak tahu bawang merah yang bagus justru di dataran rendah," kata Fikri.
Profesor pemuliaan tanaman Institut Pertanian Bogor yang fokus meneliti bawang merah, Sobir menjelaskan bahwa bawang merah dapat ditanam baik di dataran tinggi dan dataran rendah. "Itu [bawang merah tak bisa ditanam di dataran rendah] adalah stigma yang salah," kata dia kepada CNNIndonesia.com.
Budidaya bawang merah di dataran rendah, lanjut Sobir, justru lebih cepat sampai pada masa panen ketimbang di dataran tinggi karena suhu udara yang relatif tinggi.
Menurut Sobir, perbedaan hasil bawang merah terletak pada aroma. Bawang merah di dataran rendah cenderung lebih aromatik dan punya rasa yang lebih kuat.
Lihat juga:Mengenal Macam-macam Tanaman Hortikultura |
Fikri kembali mencontohkan pada petani dengan membeli bibit bawang merah langsung dari pusat produksi bawang merah di Indonesia, Brebes. Secara topografi, Brebes dan Pesisir Selatan sama-sama berada di pesisir pantai dengan ketinggian 0-100 meter di atas permukaan laut.
"Beli bibit bawang dari Brebes. Ingin coba, sebenarnya bisa enggak, sih, tanam bawang merah di sini. Hasilnya ternyata 1 kg benih bisa menghasilkan 8 kg benih, artinya 800 persen," ungkap Fikri.
Beberapa komoditas lain seperti terong dan tomat juga ditanam untuk memanfaatkan setiap lahan yang kosong.
Beruntung, pandemi Covid-19 tak memberikan Fikri kendala berarti dalam mengembangkan pertaniannya. Pandemi tak banyak memengaruhi proses budi daya. Jika pun ada, dampak pandemi hanya terasa dari fluktuatifnya harga jual di pasar.
![]() |
Selain mengajak petani untuk meningkatkan produktivitas dengan menambah jumlah komoditas, Fikri juga mengajak petani untuk memanfaatkan teknologi. Dia mengajarkan para petani mengenai cara menggunakan internet untuk mencari tahu banyak hal dan menjawab persoalan pertanian.
"Setelah insiden hama di cabai dan berhasil mengatasinya, banyak yang datang menanyakan soal macam-macam penyakit itu. Jawabannya ada di smartphone, lebih gampang mencari tahu penyakit dan obatnya," tutur Fikri.
Selain menyasar petani, Fikri juga berusaha untuk mengajak pemuda di kampung untuk menjadi petani dan mengembangkan usaha pertanian. Namun, Fikri kembali menjumpai kesulitan. Kebanyakan pemuda justru menolak dan minta diajak kerja ke Jakarta.
"Ternyata mereka ini enggak mau, 'ngapain kerja di sini. Mending ajak kerja di Jakarta aja. Jangan ajak jadi petani'," ucap Fikri.
Kendati demikian, Fikri mengaku akan terus berusaha mengajak pemuda lainnya untuk bertani. Bertani merupakan pekerjaan yang akan terus menjanjikan.
Fikri juga membagikan kegiatannya melalui media sosial dengan akun Instagram yang dinamai @gelaktertawa farm dengan harapan bisa memberikan gelak tawa pada banyak orang.
Peringatan Hari Tani Nasional yang ke-60 pada 24 September mendatang jadi momentum yang tepat untuk memulai usaha pada sektor pertanian. Pasalnya, permintaan pangan diprediksi akan terus meningkat seiring bertambahnya populasi penduduk. Oleh karena itu, sektor pertanian bakal mendatangkan banyak lapangan kerja.
Bagi Fikri, petani adalah profesi penting yang secara tidak langsung berperan dalam kelangsungan hidup masyarakat banyak. "Jika tak ada petani, orang-orang bakal kelaparan," pungkas dia.
(ptj/asr)