Ngompol ternyata tak cuma 'mengancam' anak-anak, tapi juga wanita. Namun yang harus disadari, ngompol di anak-anak dengan wanita dewasa ini adalah dua hal yang berbeda.
Dalam kasus wanita dewasa, mengompol dikenal sebagai inkotinensia urine. Inkontinensia urine adalah keluarnya urine yang tidak disengaja dan tidak terkendali, sehingga memicu gangguan higienitas dan lingkungan di sekitar kulit area kelamin.
Pasien inkontinensia urine, tidak bisa menahan kencing karena ada masalah pada otot dasar panggul dan sfingter uretra (lubang keluarnya urine).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Penyakit yang satu ini, umumnya lebih banyak dialami oleh wanita lanjut usia. Namun, tidak menutup kemungkinan bisa juga dialami wanita muda yang sudah pernah melewati kehamilan dan persalinan," ungkap Suskhan Djusad, dokter Spesialis Obstetri Ginekologi, dan Konsultan Uroginekologi dan Rekonstruksi Vagina, Departemen Medik Kebidanan dan Penyakit Kandungan di RSUPN Cipto Mangunkusumo dan RS Pantai Indah Kapuk, Jakarta. dikutip dari Hai Bunda.
Hanya saja dalam beberapa kasus, ngompol pada wanita dewasa ini juga bisa terjadi di usia 25 tahun.
Sebanyak 20-30 persen dari angka keseluruhan wanita secara global mengalami inkontinensia urine. Sedangkan dari data terakhir yang dirilis Sumardi R et al, pada tahun 2014, prevalensi wanita pengidap inkontinensia urine di Indonesia mencapai 13,5 persen. Angka yang tentunya tidak boleh kita pandang miring ya.
Angka pasien inkontinensia urine di Indonesia sendiri, terus bertambah. Meningkatnya kesadaran untuk memeriksakan diri membuat keluhan pasien inkontinensia urine tercatat semakin banyak setiap tahunnya.
"Frekuensi ke toilet yang terlalu sering bisa menjadi tanda wanita mengalami inkontinensia urine. Tak hanya itu, jika frekuensi kencing malam lebih dari satu kali maka ada kemungkinan Anda mengalami kondisi ini," ucapnya.
Ketiga hal tersebut bisa menjadi penanda seorang wanita mengalami inkontinensia urine jenis stress, yang berasal dari tekanan.
Penyebab utama inkontinensia urine sebenarnya karena terjadi perubahan anatomi uretra akibat beberapa aktivitas.
Wanita yang sudah pernah melahirkan atau melewati proses persalinan lama, masuk dalam golongan yang berisiko tinggi mengalami inkontinensia urine. Proses pengeluaran kepala bayi yang berlangsung lama, menyebabkan ligamen pada panggul dan otot levator ani rusak. Sehingga melemahkan kemampuannya untuk menopang rektum dan uretra, yang berujung pada kebiasaan buang air kencing tanpa bisa dicegah.
Selain itu, bayi berukuran besar yang keluar melalui persalinan normal, lalu persalinan dengan alat seperti vakum juga berisiko tinggi menyebabkan penyakit tersebut.
Saat mengangkat beban terlalu berat, Anda akan mengejan. kebiasaan seperti ini akan membuat ligamen pada panggul juga lemah seperti wanita melahirkan.
Wanita yang mengalami obesitas juga berisiko mengalami inkontinensia stress. Hal ini diakibatkan oleh tekanan abdomen dari beban tubuhnya yang lebih tinggi.
Diabetes melitus juga menyebabkan gangguan pada organ berkemih, sehingga sebagian besar pengidapnya mengalami inkontinensia urine.
Ketika hormonal sudah terganggu, hilangnya estrogen sehingga tanda-tanda inkontinensia urine biasanya bermunculan.
"Untuk mencegah inkontinensia urine bisa dengan rutin latihan kegel usai melahirkan, menjalani gaya hidup yang sehat, dan mengontrol berat badan. Jangan tunggu keluhan dahulu, segera lakukan pencegahan," katanya.
(chs)