Viral foto truk versus komodo (Varanus komodoensis) di salah satu area Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur, memunculkan kritik dari warganet soal pembangunan komersial atas nama wisata di Situs Warisan Budaya Dunia UNESCO itu. Tagar #savekomodo pun menyeruak di media sosial.
Selain oleh komunitas pelestarian alam, Himpunan Pramuwisata Indonesia Nusa Tenggara Timur (HPI NTT) ikut menyoroti kasus tersebut.
Ketua HPI NTT Agustinus Bataona mengatakan pembangunan komersial di taman nasional sudah pasti memberi dampak buruk, salah satunya terganggunya habitat alami kawanan komodo.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, ia tidak bisa memberi angka pasti mengenai luas wilayah habitat komodo yang bakal 'digusur' pembangunan komersial tersebut.
"Kami tidak mengetahui persis seperti apa tekanan terhadap ekosistem selama pembangunan tersebut. Juga terkait pelanggaran terhadap konservasi setelah ada investasi besar di sana," katanya saat dihubungi CNNIndonesia.com melalui pesan pendek pada Senin (26/10).
"Namun sejatinya, pemanfaatan wilayah taman nasional untuk komersil itu hanya dibolehkan "nol koma sekian persen". Jika lebih dari itu, bukan lagi bisa disebut pengembangan dalam koridor ekowisata," lanjutnya.
HPI menyatakan dukungannya untuk usaha pemerintah dalam mengembangkan pariwisata di Taman Nasional Komodo demi menyejahterakan masyarakat di sekitarnya.
Tapi perlu digarisbawahi ialah masyarakat menginginkan pengembangan yang berbasis lokal dan tetap menjaga alam.
Konsep ekowisata seperti pembangunan yang tak mengganggu aktivitas fauna dan flora berkembangbiak serta pembatasan jumlah turis, dinilai bisa diterapkan.
Ditambah lagi dengan penetapan area kapal wisata berlabuh - sehingga tak merusak terumbu karang tempat habitat ikan tangkapan nelayan, peningkatan kesejahteraan jagawana yang berpatroli, hingga edukasi kepariwisataan bagi warga.
"Pendampingan secara intensif terhadap masyarakat, terutama dalam hal teknologi, bisa membantu menyempurnakan konsep ekowisata. Sehingga masyarakat bisa menjadikan wisata sebagai mata pencaharian alternatif," ujarnya.
Agus mengungkapkan bahwa pandemi virus Corona yang tengah melanda membuat kunjungan ke Taman Nasional Komodo turun drastis.
Meski demikian, pihaknya melihat ada pemulihan alam di tengah kekosongan turis di sana - yang pada tahun 2018 hampir mencapai jumlah 170 ribu orang.
"Alam di sini seakan diberi kesempatan untuk beristirahat dan memulihkan dirinya," katanya.
Sepinya turis juga diramalnya bakal terjadi setelah aturan keanggotaan (membership) diberlakukan.
Wacana turis yang ingin masuk Pulau Komodo dan Pulau Padar wajib memiliki membership telah terdengar sejak Juli 2020.
Saat ini sistem membership masih terus digodok oleh Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo Flores (BOPLF), sementara itu pendaftaran masuk secara online telah diterapkan. Sempat beredar kabar burung bahwa harga membership sekitar Rp14 juta per orang.
Pendaftaran online untuk masuk Taman Nasional Komodo berlaku mulai 6 Juli 2020, bersamaan dengan uji coba di beberapa destinasi wisata Labuan Bajo.
Wisatawan yang akan berkunjung ke Labuan Bajo bisa mengakses ke situs pendaftaran https://booking.labuanbajoflores.id
"HPI setuju dengan pembatasan turis demi kenyamanan dan kelestarian alam. Hanya saja penerapannya harus tegas dan terkontrol. Soal tarif membership sebaiknya diberi dengan harga yang wajar, sehingga semua kalangan bisa menikmati Taman Nasional Komodo," pungkasnya.
Ini bukan kali pertama pengelolaan Taman Nasional Komodo tersandung masalah. Sebelumnya, taman nasional ini pernah mengalami kebakaran, tepatnya di Pulau Gili Lawa. Masalah tumpukan sampah juga sempat membuat Indonesia dikritik netizen dunia.