
1.178 Kasus Kekerasan Perempuan Terjadi Selama 2020

Bukan rahasia lagi kalau selama pandemi, ada banyak kasus kekerasan berbasis gender banyak terjadi.
Selama tiga tahun terakhir, LBH Apik mencatat peningkatan kasus kekerasan berbasis gender. Pada catahu 2020, kondisi pandemi rupanya mendorong peningkatan jumlah kasus kekerasan berbasis gender secara online (KBGO). Uli Pangaribuan, pengacara publik LBH Apik, menyebut dalam hampir setiap hari LBH Apik menerima enam laporan KBGO.
"Hampir tiap hari masuk 6 laporan. Ada ancaman penyebaran visual (bagian tubuh) intim, ini pun dilakukan pacar, suami, juga teman yang baru dikenal," kata Uli dalam konferensi pers virtual, Kamis (7/1).
Dia menjabarkan di 2020 ada sebanyak 1.178 kasus masuk dan ditangani LBH Apik. Jumlah ini jauh lebih besar daripada 2018 (837 kasus) dan 2019 (794 kasus). KBGO menempati urutan kedua kasus terbanyak yang masuk yakni 307 kasus setelah KDRT sebanyak 418 kasus.
KBGO termasuk ancaman distribusi (112 kasus), konten ilegal (66 kasus), upaya memperdaya korban (33 kasus), pelecehan online (47 kasus), pencemaran nama baik (15 kasus), pelanggaran privasi (2 kasus), penguntitan online (17 kasus) juga pengelabuan (1 kasus).
Uli mengatakan kasus KBGO bahkan terjadi lintas negara. Pelaku tidak hanya berasal dari Indonesia sehingga timbul kesulitan untuk menangani kasus. Dari pengalaman LBH Apik, untuk kasus lintas negara kasus ditangani Mabes Polri.
Apa saja kendala penanganan kasus KBGO?
Dia memaparkan ada 6 kendala yang dihadapi LBH Apik, yakni:
1. Korban sulit melapor karena minim alat bukti dengan pola kasus yang rumit.
2. Korban ketakutan karena pelaku yang tidak dikenal mengancam menyebarluaskan foto dan video.
3. Keterbatasan saksi ahli yang dapat mengaitkan KBGO dengan UU ITE.
4. Dalam UU ITE, proses pembuktian harus menggunakan forensik digital. Padahal dalam kenyataannya, sampai saat ini, alat untuk pemeriksaan lengkap hanya terdapat di Polda Metro Jaya sehingga prosesnya lama.
5. Penentuan yurisdiksi tempat terjadinya tindak pidana.
6. Sidang kasus KBGO dilakukan secara terbuka untuk umum padahal pasal yang dikenakan menggunakan pasal kesusilaan.
![]() ilustrasi |
Menanggapi catahu LBH Apik terkait KBGO, Mike Verawati dari Koalisi Perempuan Indonesia melihat KBGO atau kekerasan daring jadi 'lokasi baru' kekerasan luring (luar jaringan). Dalam situasi pandemi, akses internet makin massif sehingga kekerasan makin rentan terjadi.
"Dari luring ke daring karena orang merasa jauh lebih nyaman, kalau luring kan kita tahu orangnya, bisa kita kejar. Kalau daring agak sulit. Anggapannya orang bisa anonim, misal namanya siapa tapi nama akunnya beda. Orang cenderung leluasa melakukan kejahatan secara daring," jelas Mike dalam kesempatan serupa.
Senada dengan Mike, Uli berkata KBGO seperti perpindahan kekerasan di 'dunia nyata' lalu pindah ke internet. Sebelumnya, kasus-kasus KBGO di 2019 tidak terlalu tinggi karena kekerasan langsung terjadi misal pemerkosaan.
Penanganan, lanjutnya, sangat terhambat. Rata-rata kasus tidak diketahui pelakunya siapa. Upaya proaktif untuk mencari tahu sangat rendah. Bahkan ketika terjadi kasus KBGO, tidak ada upaya pencarian oleh polisi dan berujung pada SP3.
"Ahli untuk UU ITE minim. Ada yang bantu LBH Apik tapi kan waktu terbatas dan ada kesibukan lain. Kemudian digital forensik adanya di Polda Metro. Kasus biasanya terjadi dan dilaporkan di tingkat Polres atau Polsek, lapor bisa tapi terus menunggu. Prosesnya juga lama karena mengantre dengan kasus lain," jelasnya.
Di sisi lain, peningkatan kasus juga dilihat dari kemudahan korban untuk melapor. Kini pengada layanan makin membuka 'pintu' pengaduan tidak hanya lewat telepon (hotline) tetapi juga media sosial.
(els/chs)[Gambas:Video CNN]