Boston, CNN Indonesia --
Saya masih ingat betul momen saat menonton acara televisi ketika masih kecil bersama ibu yang kini sudah almarhumah.
Kala itu layar televisi menampilkan pemandangan gedung pencakar langit dan kelap-kelip lampu Kota New York di Amerika Serikat.
"Bu, suatu hari, saya akan pergi ke sana," ujar saya. Ibu hanya mengamini sambil tersenyum.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ibu sudah lama tiada, tapi saya yakin beliau pasti tahu kalau anaknya kini berhasil menjejak Negeri Paman Sam.
Kedatangan saya di Amerika Serikat bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 2018.
Saya mendapat kesempatan bermukim untuk belajar di sini sebagai mahasiswa Master of Medical Sciences in Medical Education di Harvard University.
Sebelumnya saya menyelesaikan pendidikan kedokteran di Universitas Udayana, Bali. Dan saat ini saya merupakan Postdoctoral Research Fellow di Harvard Medical School.
Keraguan pernah membayangi benak saya ketika hendak mendaftar ke universitas top dunia. Belum lagi biaya kuliah yang bisa dibilang sangat mahal. Tapi usaha dan doa akhirnya mengalahkan ketakutan saya untuk mendaftar di Harvard.
Beasiswa dari program Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan amat membantu saja mewujudkan cita-cita kuliah di Harvard. Selebihnya saya tinggal mengurus visa, mencari tempat tinggal, dan menjalani perkuliahan itu sendiri.
Intinya, meyakinkan diri bahwa kita bisa dan layak mewujudkan mimpi adalah kunci menjadikannya nyata.
[Gambas:Instagram]
Tepo seliro
Amerika Serikat di televisi atau film amat berbeda dengan kehidupan nyatanya. Kehidupan di sini tak melulu glamor atau sebaliknya mengecewakan.
Tidak ada hitam atau putih soal ekspektasi kebanyakan orang tersebut, namun setiap kawasan pasti memiliki karakternya tersendiri.
Saya menetap di Boston, yang bisa dibilang "Yogyakarta-nya Amerika Serikat" alias kota pelajar. Beragam budaya dan karakter orang bisa ditemui di sini, mulai dari pelajar hingga ekspatriat.
Beruntung saya berasal dari Indonesia, sehingga saya mudah beradaptasi karena tak lagi canggung dengan keberagaman adat dan budaya.
Di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung, ialah peribahasa lama yang selalu saya ingat selama merantau. Tepo seliro, orang Jawa mengatakannya. Mencoba beradaptasi dan menjaga tenggang rasa serta toleransi rasanya menjadi kunci meminimalisir kemungkinan mendapatkan diskriminasi ataupun menjadi pelaku rasisme.
Dua tahun studi di Amerika Serikat membuat saya memahami pentingnya berani mengemukakan pendapat di hadapan umum. Sesi belajar dan mengajar di sini amatlah aktif dan interaktif.
Semua orang boleh bertanya, menyampaikan gagasan, bahkan mengutarakan pandangan yang dirasa berbeda dengan dosennya sejak awal menit perkuliahan.
Berbeda dengan pengalaman saya ketika masih duduk di bangku sekolah di Indonesia, Thailand, China, dan Jepang, yang biasanya sesi tanya jawab hanya digelar di akhir kelas.
Kebebasan berpendapat di Amerika Serikat, bahkan sejak dari ruang kelas, benar-benar melatih saya untuk menjadi pribadi yang lebih kritis dan vokal dalam melafalkan ide-ide yang saya miliki.
[Gambas:Instagram]
Suasana terkini Capitol Hill
Secara geografis, memang Boston dan Washington DC tidaklah dekat, namun tidak sejauh itu juga.
Meskipun kota saya terbilang cukup tenang, namun saya pribadi dapat merasakan keresahan yang dialami oleh sebagian besar warga yang bermukim di Amerika Serikat setelah peristiwa penyerbuan gedung kongres Capitol Hill oleh massa pendukung Donald Trump pada beberapa hari yang lalu.
Berasal dari Indonesia, saya paham demokrasi adalah sebuah kata yang sarat berbagai makna mulia untuk sebuah negara yang berkedaulatan.
Tentunya keberadaan demokrasi diharapkan memberikan kebaikan sebesar-besarnya bagi keberadaan masyarakat luas.
Menjadi warga yang bijak, cerdas dalam menanggapi isu, serta bertanggung jawab atas segala tindakan yang kita perbuat merupakan hal yang saya pelajari dari demokrasi di Indonesia dan saya yakin hal ini sangat relevan dengan keadaan sosial di Amerika saat ini.
Artikel Surat dari Rantau masih berlanjut ke halaman berikutnya...
Pandemi dan vaksin
Amerika Serikat memiliki angka kejadian COVID-19 tertinggi. Ada beberapa hal yang saya rasa berkontribusi pada tingginya angka kejadian tersebut, mulai dari jumlah penduduk yang besar, testing yang bersifat masif, dan tentunya transmisi virus yang tinggi.
Berbicara tentang angka kematian, tentu masih sangat sulit melihat hal apa saja yang berkorelasi secara langsung pada angka mortalitas COVID-19 di Amerika Serikat.
Saya rasa pemerintah lokal, seperti di Boston misalnya, telah mengambil berbagai langkah untuk menekan transmisi virus ini. Di Boston sendiri, tahap pembukaan kembali menuju ke kehidupan normal dibagi dalam 4 fase, di mana fase akhir hanya akan terwujud apabila vaksin maupun pengobatan sudah tersedia dan terdistribusi ke mayoritas penduduk.
Saat ini, Boston kembali memasuki fase kedua (termodifikasi) setelah sebelumnya sudah mencapai fase 3. Kemunduran ini terjadi karena meningkatnya angka kejadian COVID-19 di Massachusetts.
Hal ini berdampak pada limitasi jumlah kapasitas untuk restoran, tutupnya berbagai fasilitas dalam ruangan seperti gym, bioskop, dan lainnya.
Semenjak bulan Desember, pemerintah setempat sudah mengeluarkan perencanaan distribusi vaksin COVID-19 yang dijadwalkan dengan lini masa yang terdiri dari 3 tahapan.
Saat ini sedang berlangsung distribusi vaksin tahap 1 untuk tenaga kesehatan. Harapannya, di musim panas sebagian besar warga masyarakat umum sudah mendapatkan vaksin, merujuk pada perencanaan distribusi lokal di Boston (Massachusetts).
[Gambas:Instagram]
Merindukan kampus
Kampus ialah tempat nongkrong favorit saya di sini. Selain kuliah, ada banyak kegiatan yang bisa dilakukan, mulai dari kegiatan ekstrakurikuler sampai acara networking session.
Di acara networking session saya bisa bertemu dengan banyak mahasiswa lain plus ada sajian makanan gratis hehe...
Selama menjadi mahasiswa di sini, saya menghabiskan liburan musim panas dan musim dingin sebagian besar di luar negeri.
Musim dingin dan panas di tahun pertama sebagai mahasiswa S2, saya bertolak ke China sebagai salah satu dari 12 delegasi Harvard untuk Social Technology Project for Eldercare in China yang merupakan program penelitian dan edukasi Kerjasama pemerintah China dan Harvard University.
Musim dingin selanjutnya saya mendapatkan kesempatan untuk pergi ke Mesir, mewakili Indonesia dalam World Youth Forum 2019 yang dibiayai oleh The Government of Egypt, lalu melanjutkan perjalanan ke Kenya guna melakukan penelitian dan proyek kesehatan masyarakat yang mengangkat tema kesehatan reproduksi serta isu menstruasi yang dibiayai oleh Massachusetts Institute of Technology (MIT).
Saat ini jujur saja saya jadi rindu kegiatan-kegiatan di kampus yang banyak dibatalkan selama pandemi virus Corona.
[Gambas:Instagram]
Berbakti pada Tanah Air
Saya pribadi tidak pernah membiarkan jarak fisik membatasi kontribusi pada Tanah Air.
Sejak hari pertama kuliah, berbagai proyek yang saya kerjakan sebagian besar senantiasa berkorelasi dengan Indonesia.
Hingga sekarang pun, meski saya masih di Amerika untuk meneruskan postdoctoral research fellow training saya tetap berusaha berkreasi untuk bangsa karena pada akhirnya apapun yang saya miliki sekarang adalah berkat ibu pertiwi.
Oh iya, selain sebagai postdoctoral fellow di Harvard Medical School, saat ini saya juga mengajar Bahasa Indonesia di Harvard University!
Ada dua mimpi besar saya, yakni memperkokoh dan mewujudkan reformasi pendidikan kedokteran serta memasyarakatkan isu kesehatan mental guna mewujudkan visi untuk meningkatkan status kesehatan bangsa.
Untuk itu, saya berharap ke depannya saya dapat berkarya di tatanan publik dan pemangku jabatan sehingga semakin bisa mewujudkan hal tersebut. Kalau cita-cita tersebut masih belum kesampaian, saya akan tetap bersenang hati untuk memberikan dampak positif di ranah terkecil sekali pun.
Hukum ketiga Newton menyatakan bahwa for every action there is an equal and opposite reaction. Ya, ada aksi, ada reaksi.
Apapun angan yang kita miliki, sebesar apapun cita yang ada di hati, hasil akan sebanding dengan usaha. Jadi, apabila kita ingin mewujudkan impian hidup, misalnya kuliah di Harvard, sudah sepatutnya kita siap untuk berusaha ekstra.
Siapkan kemampuan, cari peluang, tak lupa percaya diri, berdoa, berusaha, dan jangan pernah takut untuk mencoba!
---
Surat dari Rantau adalah rubrik terbaru di CNNIndonesia.com. Rubrik ini berupa "curahan hati" dari WNI yang sedang menetap di luar negeri. Bisa mengenai kisah keseharian, pengalaman wisata, sampai pandangan atas isu sosial yang sedang terjadi di negara yang ditinggali. Tulisan yang dikirim minimal 1.000 kata dan dilengkapi minimal tiga foto berkualitas baik yang berhubungan dengan cerita. Jika Anda ingin mengirimkan cerita, sila hubungi [email protected]