Jakarta, CNN Indonesia --
Teroris generasi milenial. Tiga kata itu menjadi populer dalam beberapa waktu ke belakang, pasca-terjadi serangan bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar dan penyerangan ke Mabes Polri - dua insiden yang terjadi hanya dalam selang beberapa hari.
Ketiga terduga teroris yang tewas saat menjalankan aksinya itu berusia 25-26 tahun. Mereka masuk dalam interval usia kelahiran 1980-an hingga 2000-an, atau yang akrab diberi label milenial.
Deputi VII Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan Hari Purwanto mengatakan generasi ini memang tengah jadi target rekrutmen kelompok teror. Alasannya, menurutnya, karena kelompok milenial seringkali tidak berpikir kritis, kerap menelan mentah-mentah ajaran yang dibuat dan disasar oleh kelompok teror.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kedua, Wawan mengatakan, kalangan milenial masih memiliki keberanian yang lebih ketimbang kalangan lainnya. "Juga tidak banyak tanggungan. Masih lebih emosional dan lebih berpikir pragmatis, apalagi ada iming-iming masuk surga dan lain-lain," kata Wawan.
Para kelompok teror pun kerap menggunakan media sosial untuk perekrutan, memanfaatkan celah-celah di dunia maya untuk mengidentifikasi dan menggaet mereka yang gamang.
Mendeteksi persoalan radikalisme ini pada akhirnya jadi tantangan orangtua atau keluarga, sebagai lingkaran pertama dan terdekat anak milenial. CNN Indonesia berbincang dengan pakar terorisme dan Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian yang sekarang sedang fellowship di RSIS, NTU, Singapura, Noor Huda Ismail, tentang hal-hal yang harus jadi perhatian orangtua tentang milenial dan aksi terorisme ini.
Bagaimana orangtua bisa mengetahui atau mendeteksi bibit radikalisme pada anak?
Radikalisme itu pintu masuk pertamanya bukan di ideologi. Tidak ada milenial yang mendengarkan ceramah agama radikal seperti Aman Abdurrahman atau Al Baghdadi lalu tiba-tiba tertarik bergabung ISIS.
Mereka bergabung itu secara perlahan-lahan dan selalu diawali dengan permasalahan-permasalahan individu dahulu seperti perasaan galau. "Kok hidup gini-gini aja ya" Pertanyaan ini adalah pertanyaan tentang identitas diri yang tidak bisa milenial selesaikan sendiri.
Ini artinya ada permasalahan 'mental health' yang harus diperhatikan di sini.
Mental health yang saya maksud ini seperti anxiety, bingung, karena milenial sekarang ini pada masa formative years atau masa pembentukan jati diri. Mereka mudah dipengaruhi, suka mencoba hal-hal baru sebagai bentuk pencarian jati dirinya. Jati diri mereka masih sangat fluid - cair-
Untuk itu, yang paling pertama dan penting itu anak dan orangtua memiliki bonding- ikatan emosional - yang kuat dulu. Bonding-nya harus oke. Anak memiliki kepercayaan dan tidak berjarak dengan sama orangtuanya.
Argumentasi ini terlihat di film saya yang berjudul "Jihad Selfie". Karakter utama film ini, Akbar itu tidak jadi berangkat ke Suriah karena kuatnya bonding dia dengan orang tua, terutama dengan ibunya.
Adanya bonding yang kuat ini, membuat Akbar berani sharing kegalauan dirinya dan lalu ia memutuskan pulang dari Turki dan tidak jadi ikut dengan dua teman sekelasnya dari Indonesia bergabung ISIS.
Ini sedikit berbeda dengan Dhania di film saya, "Seeking The Imam". Dia itu usia 16 tahun dari Batam, bapaknya sibuk banget kerja di kantor sehingga ikatan atau bonding mereka tidak kuat. Maka larilah Dania ke sosial media untuk mencari informasi dan juga significance - pengakuan diri.
Kita tahu bahwa design dari media social itu adalah untuk memanipulasi emosi penggunanya. Di sana ada notifikasi yang berwarna merah, ada like, share, emoji dll. Semua itu berfungsi untuk mengubah emosi pengguna.
Sebagai manusia, kebutuhan dasar kita itu untuk merasa diakui. Akan sukar kalau posisi orangtuanya otoritatif dan tidak mau dengar keluhan anak, tidak ada bonding saat libur atau hal-hal sederhana lainnya.
Makanya setiap hari saya membiasakan mendengarkan cerita-cerita mereka sebelum tidur dan pagi harinya menyiapkan makanan pagi untuk mereka. Sebelum berangkat ke sekolah pun pasti mereka saya cium atau peluk satu persatu dan bisikan ke telinga mereka: "Have fun and do your best!".
Hal ini sangat sederhana ini saya percaya bisa menjadikan anak itu tumbuh menjadi anak yang bahagia, percaya diri dan imaginatif. Meskipun sederhana, hal ini sangatlah mewah buat para orang tua yang sangat sibuk dengan pekerjaan mereka.
Tapi itulah tugas utama orang tua. Memberi energi positif kepada anak-anak kita tiap hari. Jika tidak, mereka akan hilang dalam dunia mereka sendiri termasuk dunia maya yang tidak semuanya positif.
Jadi yang utama itu bonding dan membangun kepercayaan (trust) antara anak dan orang tua. Barulah kita bisa mendeteksi, atau melihat ciri-ciri anak yang bermasalah ke arah radikal.
Bagaimana anak yang sudah terpapar bibit radikalisme? Bagaimana cara mendeteksinya?
Radikalisasi itu ada offline dan online. Bisa offline lebih dahulu, lalu diamplifikasi online. Atau online dulu lalu mencari jalur offline, atau kopi darat.
Kalau offline, mereka yang teradikalisasi dalam kelompok Islam biasanya mulai menceramahi orangtuanya dengan menggunakan jargon-jargon agama yang hitam putih; melakukan ini tidak boleh, itu tidak boleh. Anak enggak mengerti bahwa banyak hal abu-abu atau kompleks dalam hidup ini.
Contoh, kalau mamanya belum berkerudung mulai menyalahkan bahwa itu haram. Dia menunjukkan rigid lifestyle, yang konservatif banget. Dia juga tidak bisa embrace diversity (menerima keberagaman). Tidak bisa melihat bahwa orang beda pendapat dan cara hidup.
Rigid itu ciri awal.
Kalau sudah rigid dia sudah mulai membedakan kelompok mana yang dicintai dan enggak dicintai atau harus dimusuhi. Dalam doktrin ISIS biasanya disebut dengan istilah "Al Wala Wal Barra". Berpikirnya sudah hitam putih dan tidak ada konsep abu-abu dalam cara berpikir dan juga bertindak. Mereka mengklaim, "kelompok kami yang benar."
Yang kedua, bisa dari dilihat dari perubahan sikap hingga pakaian.
Tapi harus dibedakan antara kegairahan orang beragama seperti memelihara jenggot, berkudung, rajin berpuasa Senin-Kamis dan menolak bersalaman dengan lain jenis itu bukanlah ciri orang menjadi radikal.
Jadi radikalisme itu harus difahami secara "spectrum" dan tidak ada ciri tunggal.
Simak di halaman selanjutnya mengenai pola perubahan anak/remaja yang terpapar radikalisme
Pola perubahannya seperti apa?
Kalau di offline, anak mulai ikut kajian-kajian eksklusif, mulai mengkafirkan, pakai pola hidup rigid.
Kalau perubahan dalam radikalisasi online, mulai diam di kamar terus, main dengan gadget terus.
Tim saya sedang dalam mendampingi dua mantan narapidana teroris perempuan ---pelaku teror di Mako Brimob--- yang berasal dari Temanggung dan Ciamis. Mereka berasal dari keluarga NU kultural. Artinya tradisi keberagaaman mereka ikut tata cara NU.
Namun, ketika mereka meninggalkan rumah, cara beragama mereka mulai berubah. Misalnya yang dari Ciamis itu sempat kuliah di UPI (Universitas Pendidikan Indonesia). Lalu ia ikut kajian-kajian agama yang masih biasa. Namun ketika ia mulai masuk kelompok di Telegram pendukung ISIS, cara pandang dan sikap dia mulai berubah.
Jadi melalui Telegram ini kemudian, identitas diri dampingan kita ini semakin mengental sebagai bagian dari "imagine community" nya ISIS, terutama dalam dunia online.
Dalam Telegram ini lah terjadi "echo chamber effect" atau "efek ruang gema" di mana semua anggota Telegram cenderung berpikir sama dan saling berlomba-lomba menunjukkan komitmennya pada ISIS. Ada proses intesifikasi pro kekerasaan di sini.
Kemudian, antara anggota Telegram ini ketemuan offline.
Inilah yang terjadi dalam kasus dampingan kami dari Temanggung. Ia nginap di tempat kos salah satu pendukung ISIS dari Ciamis itu. Lalu mereka sering ngobrol seperti layaknya dua sahabat.
Tiba-tiba, dalam group Telegram mereka itu mucul seruan: "Mari kita melakukan aksi balasan atas peristiwa di Mako Brimob." Kedua sahabat ini tidak pernah bertemu langsung dengan pemberi fatwa ini. Namun karena identitas diri mereka telah lebur dalam identitas kelompok, yaitu pendukung ISIS, mereka merasa tergerak.
Ditambah lagi ada fatwa dari ISIS pusat, kalau mau menghancurkan musuh ISIS itu boleh pakai apa saja. Saat itu di kosannya ada gunting, dia ambil itu gunting.
Ketika kita nanya ke orangtuanya, mereka juga enggak mengerti karena bukan orang yang paham dunia internet.
Sekarang yang super mengkhawatirkan itu radikalisasi online, karena ada demokratisasi untuk bergabung dengan kelompok teroris. Dulu kita bisa lihat (secara fisik) orang-orang yang ikut kajian, kalau sekarang kajiannya online, di genggaman kita masing-masing.
Maka dari itu, literasi digital itu penting. Bahwa apa yang dilihat di media sosial itu tidak semuanya benar. Kemampuan ini penting dimiliki oleh semua orang tua.
Paham literasi digital dan juga literasi beragama. Ini bukan hal mudah tentunya.
Adakah perbedaan mereka yang teradikalisasi lewat jalur offline dan online?
Dari kesamaannya dahulu, yaitu terjadi perubahan cara pandang melihat dunia. Dunia yang sebelumnya ini warna-warni, tiba-tiba hanya hitam dan putih. Itu ciri pertama.
Dengan cara pandang yang seperti itu, maka dia akan memilih yang putih menurut mereka. Putih itu sudah mulai ke aspek behavior - perilaku-, misalnya hanya mau makan daging sembelihan sendiri atau menolak kegiatan keagamaan yang dianggap bid'ah atau menolak terlibat upacara bendera dll.
Dia tidak segan-segan main cap atau menghakimi orang lain dengan dalil-dalil agama karena mereka sudah berfaham Tauhid Hakimiyah -- atau kepercayaan untuk menghakimi orang lain. Jadi kalau ada orang enggak pake kerudung, kemudian mereka anggap enggak Islami atau bukan muslimah yang baik.
Kalau offline, dia ikut kajian-kajian keagamaan ekslusif. Kalau yang online ini yang enggak ketahuan. Dia biasanya lebih murung, enggak bisa lepas dari gadget. Itu salah satunya.
Apa yang bisa dilakukan orangtua jika melihat anak-anaknya berubah menjadi murung dan terpaku pada gadget?
Pada kasus binaan kami ini, orangtua mereka sekarang terlibat mengawasi anak-anak mereka, bahkan mereka memeriksa (gawai/HP).
Tapi itu bukan cara terbaik kalau orang tua harus terus cek HP anak. Yang penting dialog terus. Kalau harus memeriksa HP terus itu juga tidak mungkin dan bisa jadi anak mereka merasa 'privacy' mereka tidak dihormati oleh orang tua.
Makanya, yang menurut saya penting itu adalah orang tua bisa bicara yang mendalam dan itu bisa muncul kalau ada bonding. Bonding is the key. Ideologi itu hanya bisa bekerja kalau kesehatan mental anak itu bermasalah.
Pada dua kasus terakhir, pelaku di usia 25-26 tahun yang notabene dianggap sudah dewasa dan bisa bertanggungjawab pada diri sendiri. Orang tua bisa berperan apa?
Kalau yang kasus pertama, orangtua sudah tidak bertanggungjawab karena mereka sudah menikah. Tetapi untuk kasus kedua yang masih tinggal dengan orangtua, ZA (pelaku Mabes Polri), saya belum mengerti karena belum tahu details kondisi keluarga ZA ini.
Berasal dari laporan media, ZA ini dropout atau putus sekolah. Mungkin ada tekanan dari tetangganya. Hilanglah perasaan "significance" - penting- dari ZA. Lalu, ia menemukan significance itu justru di dunia online.
Dari contoh kasus ZA ini, orangtua bisa melakukan apa?
Kalau orang yang mengalami mental health issue, biasanya dia tidak aktif secara fisik. Makanya saya pribadi sering mendorong anak saya setiap hari untuk bergerak, olahraga. Ketika menggerakkan tubuh, seluruhnya akan berubah, termasuk emosi kita.
Aktivitas fisik itu penting, maka perlu kita dorong olahraga, olahraganya yang ketemu banyak orang
Konon, ZA enggak mingle dengan orang lain. Kalau benar olahraganya menembak itu kan olahraga yang rata-rata menekankan konsentrasi individu. Harus fokus. Bukan yang menekankan interaksi antara penembak lain.
Tapi coba kalau olahraganya badminton atau voli, permainan yang berinteraksi dengan orang lain bisa jadi ZA akan menjadi sosok yang bisa bekerja sama lebih baik dengan orang lain.
ZA bisa dikatakan trigger-nya dengan mengisolasi diri. Lalu sebenarnya trigger lain apa yang membuat seseorang akhirnya terpapar?
Kalau dilihat dari literatur tentang terorisme, alasan orang menjadi teroris tidak tunggal. Ada karena keluarga yang broken home, atau karena kemiskinan, atau karena faktor lingkungan, misalnya bapaknya dari keluarga radikal, jadi seperti tidak ada pilihan lain selain menjadi radikal juga.
Bisa jadi karena alasan agama. Bisa jadi karena lahir di kamp pengungsi seperti di Palestina, jadi tidak mengerti dunia selain melawan rezim Israel, atau karena di penjara, pernah menjadi korban bullying, atau dia ingin menjadi hero.
Kalau seperti di film Seeking The Imam, biasanya perempuan itu karena alasan yang personal dan private. Misal karena jomlo kelamaan, jadi karena alasan pribadi banget.
Perempuan juga, kalau berdasarkan literatur, sangat emosional. Relasi dengan media sosial juga lebih banyak bermasalah di perempuan ketimbang laki-laki. Misal karena cyberbullying jadi perempuan ituy sangatlah perasa, emosional.
Di kasus ZA ini alasannya bisa jadi private, dan kita enggak bisa dapatkan itu karena dia sudah tertembak mati. Kita hanya bisa menduganya saja.
Simak di halaman selanjutnya mengenai cara mendekati anak yang sudah terlanjut menutup diri
Ketika anak sudah menutup diri, bagaimana cara orangtua untuk masuk saat bonding belum terbentuk?
Saran saya, kita (masyarakat) ini punya media ruang ngobrol - www.ruangobrol.id - menghadapi fenomena ini. Jadi kita bisa diskusikan untuk anak yang pendiam, atau anak yang dari brokenhome, pendekatannya seperti apa.
Menurut saya juga perlu mentor atau pendamping yang dipercaya oleh anak. Orangtua tidak perlu memaksakan untuk masuk. Bisa lewat temannya yang dianggap oke, yang bisa klik. Maka dari itu, orangtua juga penting untuk memahami teman-teman anaknya. Bicara dengan temannya.
Masalahnya, sekarang teman-teman anak millenial ini virtual. Anak-anak zaman dahulu akan ngomong mau main sama siapa. Tapi sekarang kenal temannya nya di HP dan kita enggak pernah tahu siapa mereka itu.
Dan yang penting untuk disadari, kita enggak bisa melawan gelombang online. Itu realita yang harus kita terima, bahwa dunia berubah. Teroris juga mengubah caranya. Teroris itu cara bergeraknya seperti manusia modern juga.
Butuh waktu berapa lama untuk "mengkader" seseorang dari mulai awal terpapar radikalisme sampai akhirnya nekat melakukan aksi?
Kalau hanya untuk tertarik dengan narasi kelompok itu dalam beberapa jam saja bisa. Karena narasi mereka itu selalu mempesona anak muda misalnya "membela umat yang tertindas", atau "dunia ini banyak ketidakadilan" dan narasi-narasi utopis lainnya.
Oleh karena itu, Ali Imran di banyak media bilang bahwa dia bisa merekrut orang dalam hitungan jam. Itu secara offline.
Di dunia online, rekrutimen bisa menarik diperhatian dengan gambar-gambar, atau visual saja.
Seperti Dhania di Seeking The Imam itu, dia lihat gambar-gambar di Suriah bagus sekali. Apalagi dulu ISIS punya fasilitas ASKFM. Kamu ada masalah apa, mereka punya 'post service' nya. Ada Tanya-Jawabanya. Itu bisa lebih cepat lagi. Lebih cepat online.
Lalu kalau yang sampai nekat melakukan aksi?
Kalau dari tertarik secara emosi dan kognitif, lalu berubah prilaku itu biasanya ada pemantik. Setiap orang beda-beda.
Contoh si Ivan, remaja pelaku bom di Medan lalu. Dalam wawancara dia ceritakalau pemantiknya bukan ideologi ISIS. Tapi lebih karena dia di-bullyoleh gurunya. Dia merasa tersingkirkan lalu ingin merasa signifikan - atau dihargai dan diperhatikan.
Ini terbukti dengan pemahaman ilmu agama yang kurang mendalam. Menulis kalimat syahadat sebagai simbol ISIS saja masih salah waktu itu. Ivan justru belajar ngaji Al Quran itu di dalam penjara. Jadi ketika ada pemantiknya, akan lebih cepat proses radikalisasi remaja itu.
Lalu Siska yang teror di Mako Brimob. Kalau di grup Telegram itu lebih mengkhawatirkan.
Mereka suka glorifikasi, 'si ini udah mati sahid, si ini yang mau mengikuti langkahnya, lo kapan?' Jadi seakan pelaku menjadi selebriti instan di kelompok dia sendiri.
Untuk sampai tahap itu berapa lama?
Beda-beda. Dampingan kami itu kurang satu tahun, kalau Ivan yang jelas lebih cepat.
Yang jadi incaran itu sebenarnya mulai usia berapa?
Ini kayak jualan produk online. Siapa yang lebih cepat dia ambil.
Tapi kalau kita omongin anak muda, kecenderungan yang diambil itu anak muda karena mereka suka trial dan error, dan pengalaman hidup belum banyak. Belum atau jarang mengklarifikasi dari berbagai sumber. Jadi secara spesifik anak muda millenial jadi target mereka. Target dalam artian lebih gampang direkrut.
Kalau kayak saya yang sudah anak punya anak tiga, saya akan mikir kalau saya jalan (beraksi teror), anak saya bagaimana? Dan ada kesibukan lain. Kalau anak muda yang menganggur atau melamun kan lebih gampang [direkrut].
Orangtua bisa melakukan apa saja untuk mewaspadai bibit radikalisme pada anak? Dan apa yang bisa mereka mulai lakukan?
Ini harus berdasarkan klasifikasi ya. Buat anak yang belum menunjukkan tanda-tanda (radikalisme) sama sekali, orang tua harus ada physical bonding yang kuat. Lalu upayakan bisa dikurangi 'screentime' anak. Jangan biarkan anak terlalu banyak menatap layar. Kemudian dijelaskan ke anak, apapun yang mereka temukan di online harus diverifikasi ke banyak pihak.
Kemudian, kalau (anak) dibuai dan (diberi janji yang) tidak masuk akal. Misalnya, bergabung dengan kelompok ini dijanjikan masuk surga, kemudian memberi syafaat keluarga.
Apalagi kalau dibalut dengan narasi-narasi agama dari Al Quran dan Hadis, maka akan seolah-olah benar. Harus dijelaskan bahwa itu scam (tipuan) saja.
Jadi scam itu tidak hanya bermotif ekonomi kayak scam yang banyak muncul di dunia maya yang janjikan hal-hal yang tidak masuk akal. Tapi bisa juga scam berbalut agama. Jadi orangtua harus menunjukkan bahwa di internet bisa terjadi penipuan.
"If it is too good, it's too good to be true" - itu intinya.
Untuk anak yang sudah terpapar, harus diberi 'exposure' yang banyak di dunia nyata. Bahasa psikologinya itu diberi "cognitive opening". Dibuka cara pikirnya dengan dibenturkan dengan kompleksitas realita hidup.
Misalnya, dia (anak) bilang harus menggunakan produknya orang-orang Islam saja. Padahal anak selalu aktif di media sosial yang itu rata-rata dibuat bukan oleh orang Islam.
Islam memang memberikan banyak kontribusi yang positif di dunia ini. Namun, kita tidak bisa menutup mata bahwa tidak hanya Islam saja yang ingin membuat dunia ini lebih baik. Kita hidup itu harus bisa berbagi ruang secara damai atau 'peaceful co-existence'
Dan jika dia merasa harus selalu eksklusif, bisa ditunjukkan kalau eksklusif itu against the nature (tidak alamiah).
Terus yang kedua juga bisa dikenalkan dengan kajian-kajian Islam yang lebih moderat. Karena dari itu literasi digital harus, literasi beragama juga.
Intinya, bonding and trust are the key. Ini akan menjadi protective factors bagi anak kita.