Ikatan Cinta Orangtua dan Benteng Bibit Radikalisme Milenial

CNN Indonesia
Jumat, 09 Apr 2021 12:40 WIB
Berikut hal-hal yang harus jadi perhatian orangtua untuk membentengi anak, terutama generasi milenial, dari radikalisme.
Ilustrasi (Diolah oleh: Laudy Gracivia)

Pola perubahannya seperti apa?

Kalau di offline, anak mulai ikut kajian-kajian eksklusif, mulai mengkafirkan, pakai pola hidup rigid.

Kalau perubahan dalam radikalisasi online, mulai diam di kamar terus, main dengan gadget terus.

Tim saya sedang dalam mendampingi dua mantan narapidana teroris perempuan ---pelaku teror di Mako Brimob--- yang berasal dari Temanggung dan Ciamis. Mereka berasal dari keluarga NU kultural. Artinya tradisi keberagaaman mereka ikut tata cara NU.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, ketika mereka meninggalkan rumah, cara beragama mereka mulai berubah. Misalnya yang dari Ciamis itu sempat kuliah di UPI (Universitas Pendidikan Indonesia). Lalu ia ikut kajian-kajian agama yang masih biasa. Namun ketika ia mulai masuk kelompok di Telegram pendukung ISIS, cara pandang dan sikap dia mulai berubah.

Jadi melalui Telegram ini kemudian, identitas diri dampingan kita ini semakin mengental sebagai bagian dari "imagine community" nya ISIS, terutama dalam dunia online.

Dalam Telegram ini lah terjadi "echo chamber effect" atau "efek ruang gema" di mana semua anggota Telegram cenderung berpikir sama dan saling berlomba-lomba menunjukkan komitmennya pada ISIS. Ada proses intesifikasi pro kekerasaan di sini.

Kemudian, antara anggota Telegram ini ketemuan offline.

Inilah yang terjadi dalam kasus dampingan kami dari Temanggung. Ia nginap di tempat kos salah satu pendukung ISIS dari Ciamis itu. Lalu mereka sering ngobrol seperti layaknya dua sahabat.

Tiba-tiba, dalam group Telegram mereka itu mucul seruan: "Mari kita melakukan aksi balasan atas peristiwa di Mako Brimob." Kedua sahabat ini tidak pernah bertemu langsung dengan pemberi fatwa ini. Namun karena identitas diri mereka telah lebur dalam identitas kelompok, yaitu pendukung ISIS, mereka merasa tergerak.

Ditambah lagi ada fatwa dari ISIS pusat, kalau mau menghancurkan musuh ISIS itu boleh pakai apa saja. Saat itu di kosannya ada gunting, dia ambil itu gunting.

Ketika kita nanya ke orangtuanya, mereka juga enggak mengerti karena bukan orang yang paham dunia internet.

Sekarang yang super mengkhawatirkan itu radikalisasi online, karena ada demokratisasi untuk bergabung dengan kelompok teroris. Dulu kita bisa lihat (secara fisik) orang-orang yang ikut kajian, kalau sekarang kajiannya online, di genggaman kita masing-masing.

Maka dari itu, literasi digital itu penting. Bahwa apa yang dilihat di media sosial itu tidak semuanya benar. Kemampuan ini penting dimiliki oleh semua orang tua.

Paham literasi digital dan juga literasi beragama. Ini bukan hal mudah tentunya.

Adakah perbedaan mereka yang teradikalisasi lewat jalur offline dan online?

Dari kesamaannya dahulu, yaitu terjadi perubahan cara pandang melihat dunia. Dunia yang sebelumnya ini warna-warni, tiba-tiba hanya hitam dan putih. Itu ciri pertama.

Dengan cara pandang yang seperti itu, maka dia akan memilih yang putih menurut mereka. Putih itu sudah mulai ke aspek behavior - perilaku-, misalnya hanya mau makan daging sembelihan sendiri atau menolak kegiatan keagamaan yang dianggap bid'ah atau menolak terlibat upacara bendera dll.

Dia tidak segan-segan main cap atau menghakimi orang lain dengan dalil-dalil agama karena mereka sudah berfaham Tauhid Hakimiyah -- atau kepercayaan untuk menghakimi orang lain. Jadi kalau ada orang enggak pake kerudung, kemudian mereka anggap enggak Islami atau bukan muslimah yang baik.

Kalau offline, dia ikut kajian-kajian keagamaan ekslusif. Kalau yang online ini yang enggak ketahuan. Dia biasanya lebih murung, enggak bisa lepas dari gadget. Itu salah satunya.

Apa yang bisa dilakukan orangtua jika melihat anak-anaknya berubah menjadi murung dan terpaku pada gadget?

Pada kasus binaan kami ini, orangtua mereka sekarang terlibat mengawasi anak-anak mereka, bahkan mereka memeriksa (gawai/HP).

Tapi itu bukan cara terbaik kalau orang tua harus terus cek HP anak. Yang penting dialog terus. Kalau harus memeriksa HP terus itu juga tidak mungkin dan bisa jadi anak mereka merasa 'privacy' mereka tidak dihormati oleh orang tua.

Makanya, yang menurut saya penting itu adalah orang tua bisa bicara yang mendalam dan itu bisa muncul kalau ada bonding. Bonding is the key. Ideologi itu hanya bisa bekerja kalau kesehatan mental anak itu bermasalah.

Pada dua kasus terakhir, pelaku di usia 25-26 tahun yang notabene dianggap sudah dewasa dan bisa bertanggungjawab pada diri sendiri. Orang tua bisa berperan apa?

Kalau yang kasus pertama, orangtua sudah tidak bertanggungjawab karena mereka sudah menikah. Tetapi untuk kasus kedua yang masih tinggal dengan orangtua, ZA (pelaku Mabes Polri), saya belum mengerti karena belum tahu details kondisi keluarga ZA ini.

Berasal dari laporan media, ZA ini dropout atau putus sekolah. Mungkin ada tekanan dari tetangganya. Hilanglah perasaan "significance" - penting- dari ZA. Lalu, ia menemukan significance itu justru di dunia online.

Dari contoh kasus ZA ini, orangtua bisa melakukan apa?

Kalau orang yang mengalami mental health issue, biasanya dia tidak aktif secara fisik. Makanya saya pribadi sering mendorong anak saya setiap hari untuk bergerak, olahraga. Ketika menggerakkan tubuh, seluruhnya akan berubah, termasuk emosi kita.

Aktivitas fisik itu penting, maka perlu kita dorong olahraga, olahraganya yang ketemu banyak orang

Konon, ZA enggak mingle dengan orang lain. Kalau benar olahraganya menembak itu kan olahraga yang rata-rata menekankan konsentrasi individu. Harus fokus. Bukan yang menekankan interaksi antara penembak lain.

Tapi coba kalau olahraganya badminton atau voli, permainan yang berinteraksi dengan orang lain bisa jadi ZA akan menjadi sosok yang bisa bekerja sama lebih baik dengan orang lain.

ZA bisa dikatakan trigger-nya dengan mengisolasi diri. Lalu sebenarnya trigger lain apa yang membuat seseorang akhirnya terpapar?

Kalau dilihat dari literatur tentang terorisme, alasan orang menjadi teroris tidak tunggal. Ada karena keluarga yang broken home, atau karena kemiskinan, atau karena faktor lingkungan, misalnya bapaknya dari keluarga radikal, jadi seperti tidak ada pilihan lain selain menjadi radikal juga.

Bisa jadi karena alasan agama. Bisa jadi karena lahir di kamp pengungsi seperti di Palestina, jadi tidak mengerti dunia selain melawan rezim Israel, atau karena di penjara, pernah menjadi korban bullying, atau dia ingin menjadi hero.

Kalau seperti di film Seeking The Imam, biasanya perempuan itu karena alasan yang personal dan private. Misal karena jomlo kelamaan, jadi karena alasan pribadi banget.

Perempuan juga, kalau berdasarkan literatur, sangat emosional. Relasi dengan media sosial juga lebih banyak bermasalah di perempuan ketimbang laki-laki. Misal karena cyberbullying jadi perempuan ituy sangatlah perasa, emosional.

Di kasus ZA ini alasannya bisa jadi private, dan kita enggak bisa dapatkan itu karena dia sudah tertembak mati. Kita hanya bisa menduganya saja.

Simak di halaman selanjutnya mengenai cara mendekati anak yang sudah terlanjut menutup diri

Ikatan Cinta Orangtua dan Benteng Bibit Radikalisme Milenial

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2 3
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER