Ikatan Cinta Orangtua dan Benteng Bibit Radikalisme Milenial

CNN Indonesia
Jumat, 09 Apr 2021 12:40 WIB
Berikut hal-hal yang harus jadi perhatian orangtua untuk membentengi anak, terutama generasi milenial, dari radikalisme.
Ilustrasi (Diolah oleh: Laudy Gracivia)

Ketika anak sudah menutup diri, bagaimana cara orangtua untuk masuk saat bonding belum terbentuk?

Saran saya, kita (masyarakat) ini punya media ruang ngobrol - www.ruangobrol.id - menghadapi fenomena ini. Jadi kita bisa diskusikan untuk anak yang pendiam, atau anak yang dari brokenhome, pendekatannya seperti apa.

Menurut saya juga perlu mentor atau pendamping yang dipercaya oleh anak. Orangtua tidak perlu memaksakan untuk masuk. Bisa lewat temannya yang dianggap oke, yang bisa klik. Maka dari itu, orangtua juga penting untuk memahami teman-teman anaknya. Bicara dengan temannya.

Masalahnya, sekarang teman-teman anak millenial ini virtual. Anak-anak zaman dahulu akan ngomong mau main sama siapa. Tapi sekarang kenal temannya nya di HP dan kita enggak pernah tahu siapa mereka itu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dan yang penting untuk disadari, kita enggak bisa melawan gelombang online. Itu realita yang harus kita terima, bahwa dunia berubah. Teroris juga mengubah caranya. Teroris itu cara bergeraknya seperti manusia modern juga.

Butuh waktu berapa lama untuk "mengkader" seseorang dari mulai awal terpapar radikalisme sampai akhirnya nekat melakukan aksi?

Kalau hanya untuk tertarik dengan narasi kelompok itu dalam beberapa jam saja bisa. Karena narasi mereka itu selalu mempesona anak muda misalnya "membela umat yang tertindas", atau "dunia ini banyak ketidakadilan" dan narasi-narasi utopis lainnya.

Oleh karena itu, Ali Imran di banyak media bilang bahwa dia bisa merekrut orang dalam hitungan jam. Itu secara offline.

Di dunia online, rekrutimen bisa menarik diperhatian dengan gambar-gambar, atau visual saja.

Seperti Dhania di Seeking The Imam itu, dia lihat gambar-gambar di Suriah bagus sekali. Apalagi dulu ISIS punya fasilitas ASKFM. Kamu ada masalah apa, mereka punya 'post service' nya. Ada Tanya-Jawabanya. Itu bisa lebih cepat lagi. Lebih cepat online.

Lalu kalau yang sampai nekat melakukan aksi?

Kalau dari tertarik secara emosi dan kognitif, lalu berubah prilaku itu biasanya ada pemantik. Setiap orang beda-beda.

Contoh si Ivan, remaja pelaku bom di Medan lalu. Dalam wawancara dia ceritakalau pemantiknya bukan ideologi ISIS. Tapi lebih karena dia di-bullyoleh gurunya. Dia merasa tersingkirkan lalu ingin merasa signifikan - atau dihargai dan diperhatikan.

Ini terbukti dengan pemahaman ilmu agama yang kurang mendalam. Menulis kalimat syahadat sebagai simbol ISIS saja masih salah waktu itu. Ivan justru belajar ngaji Al Quran itu di dalam penjara. Jadi ketika ada pemantiknya, akan lebih cepat proses radikalisasi remaja itu.

Lalu Siska yang teror di Mako Brimob. Kalau di grup Telegram itu lebih mengkhawatirkan.

Mereka suka glorifikasi, 'si ini udah mati sahid, si ini yang mau mengikuti langkahnya, lo kapan?' Jadi seakan pelaku menjadi selebriti instan di kelompok dia sendiri.

Untuk sampai tahap itu berapa lama?

Beda-beda. Dampingan kami itu kurang satu tahun, kalau Ivan yang jelas lebih cepat.

Yang jadi incaran itu sebenarnya mulai usia berapa?

Ini kayak jualan produk online. Siapa yang lebih cepat dia ambil.

Tapi kalau kita omongin anak muda, kecenderungan yang diambil itu anak muda karena mereka suka trial dan error, dan pengalaman hidup belum banyak. Belum atau jarang mengklarifikasi dari berbagai sumber. Jadi secara spesifik anak muda millenial jadi target mereka. Target dalam artian lebih gampang direkrut.

Kalau kayak saya yang sudah anak punya anak tiga, saya akan mikir kalau saya jalan (beraksi teror), anak saya bagaimana? Dan ada kesibukan lain. Kalau anak muda yang menganggur atau melamun kan lebih gampang [direkrut].

Orangtua bisa melakukan apa saja untuk mewaspadai bibit radikalisme pada anak? Dan apa yang bisa mereka mulai lakukan?

Ini harus berdasarkan klasifikasi ya. Buat anak yang belum menunjukkan tanda-tanda (radikalisme) sama sekali, orang tua harus ada physical bonding yang kuat. Lalu upayakan bisa dikurangi 'screentime' anak. Jangan biarkan anak terlalu banyak menatap layar. Kemudian dijelaskan ke anak, apapun yang mereka temukan di online harus diverifikasi ke banyak pihak.

Kemudian, kalau (anak) dibuai dan (diberi janji yang) tidak masuk akal. Misalnya, bergabung dengan kelompok ini dijanjikan masuk surga, kemudian memberi syafaat keluarga.

Apalagi kalau dibalut dengan narasi-narasi agama dari Al Quran dan Hadis, maka akan seolah-olah benar. Harus dijelaskan bahwa itu scam (tipuan) saja.

Jadi scam itu tidak hanya bermotif ekonomi kayak scam yang banyak muncul di dunia maya yang janjikan hal-hal yang tidak masuk akal. Tapi bisa juga scam berbalut agama. Jadi orangtua harus menunjukkan bahwa di internet bisa terjadi penipuan.

"If it is too good, it's too good to be true" - itu intinya.

Untuk anak yang sudah terpapar, harus diberi 'exposure' yang banyak di dunia nyata. Bahasa psikologinya itu diberi "cognitive opening". Dibuka cara pikirnya dengan dibenturkan dengan kompleksitas realita hidup.

Misalnya, dia (anak) bilang harus menggunakan produknya orang-orang Islam saja. Padahal anak selalu aktif di media sosial yang itu rata-rata dibuat bukan oleh orang Islam.

Islam memang memberikan banyak kontribusi yang positif di dunia ini. Namun, kita tidak bisa menutup mata bahwa tidak hanya Islam saja yang ingin membuat dunia ini lebih baik. Kita hidup itu harus bisa berbagi ruang secara damai atau 'peaceful co-existence'

Dan jika dia merasa harus selalu eksklusif, bisa ditunjukkan kalau eksklusif itu against the nature (tidak alamiah).

Terus yang kedua juga bisa dikenalkan dengan kajian-kajian Islam yang lebih moderat. Karena dari itu literasi digital harus, literasi beragama juga.

Intinya, bonding and trust are the key. Ini akan menjadi protective factors bagi anak kita.

(agn/vws)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2 3
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER