Jakarta, CNN Indonesia --
Sebuah konten video TikTok berisi tanya jawab dengan anak sekolah dasar (SD) viral beredar di media sosial Twitter. Dalam video tersebut, beberapa anak kelas 1-3 SD kebingungan ketika ditanya apa itu akronim 'SD'.
Jawabannya pun beragam. Ada yang menjawab dengan nama sekolahnya, bahkan ada yang menjawab SD adalah akronim dari 'sekolah dihapus'.
Sepintas, video itu memang menghibur, ditambah dengan gambaran anak yang lugu dan latar musik yang juga terkesan santai. Namun, di balik keluguan anak dan jawaban nyelenehnya, ada satu hal yang mungkin luput disadari, yakni rendahnya budaya literasi di Indonesia, yang terlihat dari ketidaktahuan anak mengenai akronim dari SD itu sendiri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pusat Peneliti Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan Litbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2019 sempat meneliti Indeks Aktivitas Literasi Membaca atau Alibaca di Indonesia. Meski tak menjurus pada anak tingkat SD, penelitian tersebut bisa menjadi gambaran bagaimana rendahnya tingkat baca masyarakat Indonesia secara umum.
Menurut penelitian tersebut, sebagian besar provinsi di Indonesia berada pada level aktivitas literasi rendah dan tidak satu pun provinsi termasuk ke dalam level aktivitas literasi tinggi atau sangat tinggi.
Nilai indeks membaca dihitung berdasarkan poin, 0-20 dinilai sangat rendah, 20-40 rendah, 40-60 sedang, 60-80 tinggi, dan 80-100 sangat tinggi. Hanya 9 provinsi yang masuk dalam kategori sedang, 24 provinsi masuk dalam kategori rendah, dan 1 provinsi masuk dalam kategori sangat rendah.
Psikolog anak dan remaja, Ratih Zulhaqqi mengatakan, tingkat literasi membaca yang rendah membuat anak hanya mencari tahu apa yang dituntut pada mereka, atau hanya mencari tahu apa yang mereka kehendaki. Anak terbiasa hanya menjawab PR (pekerjaan rumah) atau pertanyaan berdasarkan isi teks buku, membuat rasa penasaran anak semakin rendah.
"Mereka hanya akan mempelajari, membaca, dan mencari tahu apa yang disuruh. Jadi, kehausan akan ilmu pengetahuan yang sifatnya ilmiah itu rendah sekali," kata Ratih kepada CNNIndonesia.com, Rabu (21/4).
Dengan demikian, mereka hanya akan membaca plang atau sekedar tahu bahwa mereka duduk di SD tanpa tahu apa kepanjangan dari SD itu sendiri. Anak-anak dengan literasi yang rendah juga akan cenderung tidak tertarik mengetahui asal usul atau penyebab dari suatu hal karena 'kehausan' akan ilmunya rendah.
Selain rendahnya literasi anak Indonesia, Ratih juga menyinggung soal peran orang tua mendidik anak. Orang tua yang enggan menjawab pertanyaan anak atau bahkan mematahkan pertanyaan yang dilontarkan sang anak akan membuat rasa penasaran anak menurun.
"Ada juga peran orang tua yang berpengaruh dalam pendidikan anak, kadang orang tua enggak menjawab pertanyaan anak, atau bahkan menjawab 'belum saatnya kamu tahu'. Nah, ini orang tua enggak menginformasikan pada anak, ditambah anak literasinya rendah," ujar Ratih.
Rasa penasaran yang rendah ditambah dengan minimnya peran orang tua dalam memberikan informasi pada akhirnya membuat tingkat literasi anak semakin rendah, sebagaimana yang terlihat pada video viral.
Sementara itu, Ketua Yayasan Guru Belajar Bukik Setiawan justru menyoroti budaya pendidikan di Indonesia yang cenderung fokus pada konsep 'belajar demi ujian'. Proses pembelajaran dilakukan hanya untuk menyelesaikan lembar-lembar soal ujian.
Akronim SD tentu tak akan menjadi salah satu soal dalam ujian. Hal itu lantas membuat anak merasa tak perlu mencari tahu akronim dari SD.
"Apa menariknya SD sehingga harus dihafalkan? Apa SD itu nama kesebelasan favorit? Nama grup di games online? Enggak juga, jadi buat apa dihafalkan," kata Bukik.
Itu juga yang bisa jadi sebab mengapa minat membaca menjadi rendah. Bukik mengatakan, di sekolah, membaca hanya menjadi fungsi yang berguna di ruang kelas ketika mengerjakan tugas atau mengerjakan ujian. Anak-anak hanya akan mencari tahu jawaban atau persoalan apa yang kemungkinan akan keluar pada lembar ujian mereka dan tidak mencari tahu asal usul, sebab, atau pengetahuan lain di luar lembar soal yang disajikan.
"Pendidikan kita menekankan belajar hanya demi ujian, anak-anak tidak didorong untuk peka dan memikirkan lingkungan sekitar. Pendidikan yang mengabaikan konteks kehidupan," ucap Bukik.
Tips untuk Orang Tua
Rendahnya budaya membaca bisa menyulitkan anak menghadapi dunia dewasa. Selain pengetahuan yang rendah, anak juga akan kesulitan ketika berada di dunia kerja yang mengharuskannya menjadi pribadi yang inovatif dan kreatif. Itu sebabnya, orang tua perlu menjadi salah satu support system anak agar lebih tertarik membaca.
Berikut beberapa tips yang bisa dilakukan.
1. Biasakan membaca di depan anak
Ratih mengatakan, anak yang terbiasa melihat orang tuanya membaca akan cenderung mengikuti kebiasaan tersebut. Anak juga tidak merasa tertekan saat membaca karena orang tuanya juga ikut membaca bersamanya.
 Ilustrasi. Orang tua harus berupaya untuk meningkatkan tingkat literasi anak. (Istockphoto/ Fizkes) |
"Jadi enggak ada tuh, pikiran 'kok aku disuruh baca buku tapi papa dan mama enggak baca buku'. Anak jadi akan lebih tertarik membaca karena melihat orang tuanya juga membaca buku," kata Ratih.
2. Membaca setiap hari
Biasakan anak membaca buku yang berbeda atau buku yang ia inginkan setiap hari. Anak juga dipersilahkan membaca apa pun selain buku, seperti koran, lembar iklan, atau spanduk iklan yang berada di jalanan.
Orang tua bisa membantu anak menjelaskan kata-kata yang sulit dimengerti atau mendorong anak supaya mencari tahu lebih banyak dari sebuah spanduk iklan atau potongan iklan koran. Tujuannya, agar anak semakin penasaran dan mencari tahu lebih banyak dengan membaca.
3. Jangan menghindari pertanyaan
Tak sedikit orang tua yang menghindari pertanyaan anak dan cenderung menjawabnya sesuka hati. Jika dalam keadaan tidak tahu jawaban dari pertanyaan anak, orang tua sebaiknya jujur dan mengajak anak mencari tahu bersama.
Anak-anak bisa mengajukan pertanyaan filosofis yang sulit dijawab bahkan oleh orang dewasa sekali pun. Namun, ini menjadi bagian dari tahap tumbuh kembang anak yang baik. Pada tahap ini, orang tua sebaiknya membantu memberikan jawaban yang tepat pada anak.
"Kalau enggak tahu, jangan dijawab 'nanti juga kamu tahu', atau 'nanti aja jawabnya'. Sebaiknya orang tua mengajak anaknya sama-sama mencari tahu jawaban, bisa dengan membuka buku bersama, atau mencari jawabannya dari artikel internet kemudian dibaca bersama," tutur Ratih.