Kabar duka terdengar dari Indonesia di awal tahun ini. Setelah kecelakaan Sriwijaya Air SJ182, lalu bencana gempa bumi mengguncang Sulawesi Barat.
Bagi saya yang kini bermukim di Tokyo, Jepang, gempa bumi tidak terasa asing. Mengutip tulisan di LiveScience, sebanyak 1.500 gempa bumi mengguncang Jepang setiap tahunnya, dengan sebagian besar berkekuatan kecil.
Alhamdulillah, saya hanya merasakan gempa berkekuatan kecil sehingga tidak sampai membuat perasaan takut. Bila gempa bumi yang terjadi cukup besar dan dirasa berbahaya, maka ada notifikasi alarm dari masing-masing provider telekomunikasi ke telepon genggam seluruh penduduk di area yang terkena dampak gempa tersebut.
Beberapa kali kejadian gempa bumi cukup besar terjadi saat saya sedang berada di kereta. Seluruh telepon genggam penumpang berbunyi bersamaan, dengan muka cukup tegang kami semua mematikan alarm tersebut dan saling berpandangan.
Meski demikian, penduduk Jepang telah diberi pelatihan untuk menghadapi gempa bumi, bahkan sejak kecil. Tetap tenang adalah kuncinya. Kalau gempa dirasa cukup besar, biasanya langsung menunduk sembari menutupi kepala dan bersembunyi di bawah meja, lalu akan diinstruksikan untuk keluar bangunan.
Saya dan keluarga meninggalkan Surabaya untuk tinggal di Tokyo sejak 2011, tepatnya setelah dua tahun menyelesaikan S1 di jurusan teknik elektro Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Sesampainya di Jepang saya menjalani sekolah bahasa Jepang terlebih dahulu selama 9 bulan. Setelah itu research student (kuliah tanpa SKS) dari 2012 - 2013, kemudian 2013 - 2015 menjalani master, dan 2016 - sekarang sedang menempuh program S3.Saya bersyukur karena mendapatkan beasiswa LPDP untuk program studi master dan doktoral saya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya kuliah di Tokyo University of Technology dengan bidang riset computer graphics, lebih tepatnya di non photorealistic rendering.
Kehidupan Jepang cukup akrab dalam benak saya yang merupakan penggemar komik. Jadi sewaktu pertama kali tiba di Jepang, saya serasa melihat apa yang saya lihat di komik, mulai dari suasana kota hingga kebiasaan penduduknya.
Bukan cuma lingkungan yang serba bersih, penduduk Jepang juga patuh aturan, mulai dari menyeberang jalan sampai masuk kantor. Jika ada rapat jam 8 pagi, maka jam 8 kurang mereka sudah tiba di lokasi rapat dan tepat pukul 8 pagi rapat dimulai.
Sayangnya, tinggal di negara senyaman ini harus diganjar oleh biaya hidup yang mahal. Di Tokyo, harga tanahnya selangit, oleh karena itu banyak pemukiman di sini yang berukuran minimalis.
Menempati rumah minimalis menjadi tantangan sendiri selama pandemi virus Corona. Saya, istri, dan anak laki-laki saya yang berusia dua tahun harus berbagi ruang lebih sering setiap harinya, karena kegiatan tatap muka di sekolah dan kampus ditiadakan dan diganti sistem online.
Untuk mengakali kenyamanan rumah, saya dan istri sepakat untuk membersihkan rumah secara berkala dari barang-barang yang sudah tak terpakai. Setelah dibersihkan rumah terasa cukup lega.
Kalau sudah bosan di rumah, kami biasanya main ke taman. Senangnya tinggal di Jepang, ada banyak taman di setiap sudut kotanya. Wahana permainan untuk anak-anak juga terbilang cukup lengkap. Taman sudah pasti menjadi pelipur lara orang-orang yang rumahnya kecil.
Status pelajar dianggap tidak memiliki penghasilan (meskipun mendapatkan beasiswa), sehingga termasuk dalam golongan bebas pajak.
Selain itu pelajar juga mendapatkan keringanan dalam membayar asuransi kesehatan bulanan, dan beberapa tiket museum atau tempat bermain. Maka kaum pelajar, terutama yang merantau, harus banyak mencari informasi mengenai hal itu.
Cara berhemat saya yang pertama adalah dengan sering memasak sendiri di rumah, sehingga jarang makan di restoran. Selain bisa lebih hemat, makan di restoran di masa pandemi adalah hal yang cukup beresiko.
Biasanya saya dan istri ke supermarket di atas jam 9 malam untuk membeli bahan makanan segar yang sudah didiskon, seperti sushi dan ikan segar.
Kami juga sudah membandingkan harga di beberapa tempat, dan seringnya berbelanja di supermarket yang menawarkan harga cukup murah. Hampir setiap supermarket dan toko di Jepang menggunakan sistem member dan point card, dan hal ini cukup bermanfaat bagi pembeli yang rutin berbelanja.
Mencari makanan dan minuman halal di Jepang cukup mudah. Kami tinggal mencari yang berlogo halal atau membaca soal bahan bakunya. Jika tidak ada kandungan butaniku (babi) dan gelatin.
Cara berhemat yang kedua ialah dengan mengendarai sepeda. Tokyo memiliki kondisi udara yang sangat baik meskipun termasuk kota metropolitan. Akses jalur sepeda juga banyak tersedia di jalanan kota Tokyo.
Artikel Surat dari Rantau masih berlanjut ke halaman berikutnya...