Bukan kubah bulat melainkan atap rumah gadang yang menjadi ciri khas arsitektur Masjid Raya Sumatera Barat.
Sesuai lokasi pembangunannya, tim arsitek masjid dengan bangga menempatkan atap rumah gadang - yang merupakan rumah tradisional Sumatera Barat - yang serba lancip di ujungnya untuk tempat ibadah ini.
Ide pembangunan Masjid Raya Sumatera Barat sudah tercetus sejak tahun 2005. Ketiadaan masjid berkapasitas besar menjadi alasannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setahun berikutnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Malaysia Abdullah Ahmad Badawi melakukan pertemuan di Bukittinggi. Karena pertemuan dilakukan pada hari Jumat, sesi Salat Jumat juga menjadi salah satu agenda acara kenegaraan tersebut.
Sayangnya belum ada "masjid level provinsi" yang tepat untuk menjadi lokasi ibadah kedua pemimpin negara, sehingga Salat Jumat dilakukan di Masjid Agung Tangah Sawah, Bukittinggi.
Usai momen tersebut, pembangunan Masjid Raya Sumatera Barat kembali tercetus. Arsiteknya dipilih dari sayembara yang diikuti 323 peserta dari berbagai negara.
Hasil sayembara berhadiah Rp300 juta itu dimenangkan oleh tim yang diketuai arsitek Rizal Muslimin beranggotakan Muh. Yuliansyah, Ropik Adnan, Irvan P. Darwis, dari konsultan desain Urbane di Bandung, Jawa Barat.
Rizal dan kawan-kawan lalu sepakat menyematkan gonjong alias atap rumah gadang sebagai tema arsitektur masjid.
Pemilihan gonjong sebagai atap masjid tentu saja menuai kritik karena dianggap tidak lazim. Pembangunan juga ikut terhenti karena Sumatera Barat digempur gempa bumi dahsyat pada 13 September 2007.
Usai penanganan bencana alam terkendali, Gubernur Gamawan Fauzi melakukan peletakan batu pertama sebagai tanda dimulainya pembangunan Masjid Raya Sumatra Barat pada 21 Desember 2007.