Tradisi Sasi, Cara Unik Papua Menjaga Laut Panjang Umur

Yulia Adiningsih | CNN Indonesia
Minggu, 13 Jun 2021 10:00 WIB
Tradisi sasi sudah dilakukan sejak zaman dahulu kala oleh masyarakat adat di Papua. Mereka sepakat tidak mengeksploitasi laut demi kelestarian alamnya.
Nelayan yang menjaring udang dan ikan di Pantai Lampu Satu, Merauke, Papua. (CNN Indonesia/Andry Novelino)

Dari ritual ke sustainability

Koordinator Kelompok Studi Maritim Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Dedi Supriadi Adhuri, menjelaskan sasi adalah tradisi yang berhubungan dengan pelarangan untuk mengakses wilayah tertentu atau sumber daya tertentu.

Berdasarkan dokumen-dokumen sejarah, tradisi ini ditengarai sudah dipraktekkan sejak abad ke-17.

Ia melihat awalnya tradisi ini lebih banyak digunakan untuk keperluan ritual. Namun, seiring berjalannya waktu, tradisi ini juga disadari sebagai upaya sustainability (pelestarian berkelanjutan) untuk ekosistem laut.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dedi memberi contoh pada masyarakat adat Papua. Masa sasi di Papua awalnya berpatokan pada jadwal ritual, hari perayaan dan hari-hari besar lainnya. Mereka membuat sasi dan hasil panennya dikumpulkan untuk kebutuhan ritual.

"Misalnya kematian, adatnya dan lain-lain mereka menjadwalkan misalnya delapan bulan atau setahun ke depan. Mereka membuat sasi penutupan itu, penutupan akses terhadap kegiatan penangkapan ikan, supaya nanti pada saat ritual dilakukan ada cukup ikan yang bisa dimanfaatkan," jelas Dedi kepada CNNIndonesia.com.

Namun, semakin lama jangka waktu "buka tutup sasi" seringkali dipercepat karena terdesak keperluan lain. Hal itu dipengaruhi oleh keterlibatan mereka dengan ekonomi pasar.

Contohnya seperti mereka butuh panen untuk ditukar dengan uang tunai. Dedi mengatakan, secara ekosistem sebenarnya percepatan panen itu merugikan dan mengancam sustainability dari sumber daya mereka.

Ia menjelaskan praktik tradisi sasi mengalami pergeseran sejak masyarakat adat banyak berinteraksi dengan orang di luar adat, seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pergeseran itu meliputi orientasi dan sistem sasi.

Masyarakat adat dan LSM berdiskusi untuk menjadikan sasi sebagai keperluan sustainability juga. Keilmuan modern dipadukan dengan keilmuan yang dimiliki masyarakat adat. Sehingga, orientasi sasi mengalami pergeseran ke arah sustainability yang lebih terarah.

Sedangkan perubahan pada sistem sasinya yaitu dengan adanya pembagian wilayah sasi. Pertama ada wilayah yang diperuntukkan sebagai 'bank ikan' dan ada juga sebagai 'wilayah sasi permanen'. Wilayah yang digunakan sebagai 'bank ikan' diperuntukkan memenuhi kebutuhan hidup masyarakat adat.

Sementara, 'wilayah sasi permanen' menjadi suatu wilayah yang tidak boleh seorang pun di luar masyarakat adat yang boleh menyentuhnya.

Wilayah itu disebut 'hak ulayat laut'. Wilayah itu merupakan wilayah komunal adat untuk melindungi sumber daya di dalamnya. Dalam terminology konservasi modern disebut sebagai Marine Protected Areas (MPA).

Dedi mengatakan sistem sasi ini juga dibuat untuk menyeimbangi sistem "buka tutup sasi" yang semakin lama, semakin singkat.

"Komunitasnya didorong untuk mengaktifkan sasi-nya secara permanen. Itu yang bisa dikoreksi oleh modern science. Misalnya, waktu panennya diatur sedemikian rupa sehingga cukup dengan siklus dan carrying capacity dari sumber dayanya. Wilayah tertentu itu harus diperlukan sebagai bank ikan supaya sustainability-nya terjamin," ucap dia

Dedi menuturkan tradisi sasi ini efektif untuk menjaga ekosistem sampai saat ini.

Sebab tradisi ini dapat mengatur akses terhadap eksploitasi sumber daya tertentu yang menjadi objek sasinya itu. Sehingga laut dan seisinya, berikut makhluk hidup yang menggantungkan hidup dengannya, bisa panjang umur.

(ard)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER