Sementara itu, Rahman menyebut keberadaan Orang Bajo di bagian timur Nusantara selalu dikaitkan dengan Johor. Hal itu sebagaimana tertulis dalam buku 'Orang Laut, Raja Laut, Bajak Laut' karya Adrian Lapian.
Orang Bajo dalam cerita rakyat Kalimantan Utara disebut-sebut sebagai keturunan dari pelaut Johor yang ditugaskan oleh sultan untuk mengantar putrinya, Dayang Ayesha, ke Sulu.
Dalam pelayaran itu, mereka diserang oleh kapal Brunei dan berhasil menculik sang putri. Karena tidak dapat melindungi sang putri, mereka tidak mau kembali ke Johor atau meneruskan pelayaran ke Sulu. Sejak itulah mereka hidup mengembara ke penjuru lautan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam buku itu juga dijelaskan cerita lain mengenai asal-muasal pengembaraan Orang Bajo. Beberapa abad silam, Orang Bajo hidup di atas perahu di Semenanjung Melayu. Mereka bekerja sebagai nelayan dan hidup dengan damai.
Mereka diceritakan sebagai orang-orang yang takut dengan orang darat. Namun, suatu hari kepala orang darat naksir kepada puteri dari kepala Suku Bajo.
Akhirnya, kepala orang darat itu menculik anak dari kepala Suku Bajo dan membawanya ke darat. Tapi puteri itu berhasil melarikan diri ke laut dan bertemu dengan Orang Bajo yang lain.
"Sejak saat itu Orang Bajau berlayar jauh-jauh karena mereka takut dikejar oleh orang darat yang mencari puteri tersebut," tulis Adrian dalam bukunya (halaman 109).
Orang Bajo berlayar dari satu titik ke titik lain. Mereka tak berhenti menyusuri lautan dengan alam sebagai pemandunya.
"Pengembaraan mereka tidak mengenal batas teritorial. Arah dan tujuan pengembaraannya dikondisikan oleh alam dan potensi perikanan yang mereka butuhkan," ujar Rahman.
Dedi menyayangkan pada beberapa tahun silam, pemerintah Indonesia tidak mengakui Orang Bajau sebagai warga negaranya. Pemerintah ingin Suku Bajo mendiami daratan dan memiliki kartu identitas resmi. Tetapi sejak dahulu kala, Suku Bajo hidup nomaden alias berpindah tepat. Jadi, penyeragaman syarat menjadi warga negara itu amat memberatkan mereka.
Hingga saat ini, banyak Orang Bajo yang masih kesulitan mendapatkan akses ke fasilitas kesehatan dan pendidikan.
Menurut Dedi, Orang Bajo sebenarnya punya peran yang besar dalam maritim Indonesia. Orang Bajo punya pengetahuan yang luas mengenai laut karena sehari-hari berjibaku di sana. Jika ada perubahan dalam laut, mereka adalah orang pertama yang akan mengetahui itu.
Dedi berpandangan, pemerintah Indonesia seharusnya bertanya dan melibatkan Orang Bajo jika sungguh-sungguh ingin merevitalisasi kemaritiman.
"Jadi kalau kita merevitalisasi budaya bahari kita harus belajar ke mereka," ucap Dedi.
"Apa yang direvitalisasi? ya itu, pengetahuan-pengetahuan yang dalam mereka tentang laut, karakteristik laut, kemudian sumber daya yang di dalamnya dan berbagai macam sistem adat yang mereka lakukan," imbuhnya.
Kisahnya salah satu warga Suku Bajo yang bermukim di Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah, bisa dilihat dalam dokumenter di Netflix berjudul 'Jago: A Life Underwater' karya James Reed dan James Morgan atau 'The Bajau' karya Dandhy Dwi Laksono.
(ard)