Kemayoran, Berawal dari Hunian Mayor Belanda di Indonesia

Transformasi dari pemukiman kompeni ke multikultural

Setelah Indonesia meraih kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, kawasan itu masih disebut Kemayoran. Namun, para mayor sudah tidak lagi tinggal di sana.

Yahya menjelaskan Kemayoran bertransformasi menjadi kawasan multikultural. Orang dari berbagai latar belakang profesi dan suku beraktivitas di dalamnya.

"Secara sosial ekonomi mereka beragam, yakni ada tukang-tukang, kemudian ada petani, buruh, di situ komplit," ucapnya.

Selain itu, Kemayoran juga dikenal kental dengan kebudayaannya, terutama Betawi. Yahya mengatakan di kawasan ini banyak musik, pagelaran seni dan cerita rakyat yang dikembangkan.

Kebudayaan Betawi itu lantas semakin beragam. Ditambah lagi dengan akulturasi dari budaya-budaya di luar Jakarta.

"Masyarakat di situ sudah membaur demikian rupa. Jadi warna Melayu cukup kuat. Kemudian warna tradisional Jawa, Sunda, cukup kuat. Kemudian warna China, Eropa cukup kuat," ucap Yahya.

"Maka sekarang ada ondel-ondel, ada tanjidor, ada samrah, ada sahibul hikayat, ada lenong, ada gambang kromong begitu, kesenian modern juga muncul di situ. Keroncong, Orkes Melayu Samrah," katanya.

Yahya melihat Kemayoran setelah Indonesia merdeka banyak mengukir sejarah baru.

Tidak hanya dikenal sebagai kawasan para mayor, melainkan juga area di Jakarta yang berkembang cukup pesat, terlebih setelah pembangunan Bandara Kemayoran, lapangan terbang internasional dan komersil pertama yang dimiliki Indonesia.

"Kemayoran boleh dibilang kampung yang multikultur sebenarnya ya. Karena ke-multikultur-an itu lah semuanya hidup berdampingan, dan itu sampai sekarang," pungkasnya.