Jakarta, CNN Indonesia --
Kalau Anda mendambakan punya pekerjaan yang bisa makan enak setiap saat lalu dibayar, mungkin Anda bisa menjadi seorang pemakan cokelat profesional bersertifikat.
Pekerjaan impian ini digeluti oleh seorang chef dari Bali, Ida Ayu Pratiwisari Pidada. Namun soal predikat sebagai pencicip cokelat profesional pertama di Indonesia, dia masih belum bisa memastikannya.
"Saya sendiri enggak bisa memastikan, tapi belum pernah ketemu yang lain," ucap perempuan yang disapa Tiwie saat berbincang dengan CNNIndonesia.com.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selama beberapa bulan terakhir, Tiwie ini menyandang gelar Professional Chocolate Sensory Analyst, atau dapat diartikan sebagai pemakan atau pencicip cokelat profesional.
Namun, benarkah tugasnya hanya sekadar makan cokelat tapi dapat bayaran?
Secara definisi, Tiwie tentu saja mengamini kalau pekerjaan seorang pemakan cokelat profesional dapat disebut demikian.
Namun menelisik dari apa yang dikerjakannya, ini tidak hanya sekadar makan cokelat, lalu menentukan enak atau tidak.
"Makan cokelat sih ya, tapi sebenarnya kami mencicipi cokelat lalu mencari cacatnya, mencari apa yang tidak boleh ada di dalam cokelat artisan. Kemudian, menentukan kualitas dan melakukan penilaian," katanya.
Perempuan berdarah Bali ini kemudian menjelaskan bahwa meski terdengar asing, profesi yang ditekuninya sebenarnya mirip dengan apa yang dilakukan Q Grader soal kopi dan Sommelier dalam hal wine. Yang berbeda, objeknya adalah cokelat.
Penilaiannya pun bukan mencari enak atau tidak, tapi kualitas terbaik untuk bisa disebut sebagai cokelat artisan.
Cokelat artisan merupakan istilah yang mengacu pada cokelat yang dibuat oleh perajin, umumnya memiliki jumlah kakao yang lebih tinggi dan punya cita rasa yang lebih kaya.
Sementara, cokelat yang banyak beredar di pasaran dikategorikan sebagai permen cokelat karena rasa yang dimiliki cenderung hanya manis saja.
Menurut Tiwie, untuk mendapatkan kualitas cokelat artisan, ada 10 atribut yang perlu dianalisa oleh seorang Professional Chocolate Sensory Analyst, seperti dirinya.
Beberapa di antaranya termasuk intensitas (terbagi dalam tiga bagian: high, middle, dan low intensity), kemudian ada pula penilaian dari segi flavour, aroma, fragrance, mouthfeel, acidity, astringent, dan sebagainya.
"Bukan cari enak enggak enak, jadi mencari apakah dalam cokelat yang kami cicip ada hal-hal yang seharusnya tidak ada dalam cokelat artisan. Ada banyak cokelat yang banyak cacatnya, entah kegagalan dari bahan baku, prosesnya, atau bisa dari pengemasan yang terkontaminasi," tutur Tiwie.
Jika mendapat hasil yang terbaik, cokelat artisan ini memiliki cita rasa yang memuaskan.
"Kalau makan chocolate artisan banyak sekali rasa yang bisa muncul. Mirip seperti specialty coffee atau wine, terutama kalau makannya yang dark chocolate," katanya.
"Itu enggak cuma ada rasa manis tapi pahitnya cokelat itu pleasant bitterness, dia pahit tapi menyenangkan. Dan manisnya itu enggak tok gula."
Beberapa rasa yang dapat muncul antara lain jeruk, beri, madu, bahkan rempah seperti jahe, serta kopi.
Kekayaan rasa ini, dikatakan Tiwie, muncul berkat sejumlah proses dari cara penanaman, memanen, fermentasi, pengolahan, hingga pengemasan.
Simak kelanjutan kisah Tiwie menggeluti dunia percokelatan di halaman berikut.
Untuk menentukan kualitas cokelat, harus ada proses panjang yang dilewatinya.
Sebelum menjadi pemakan cokelat profesional, Tiwie sudah bekerja sebagai professional chef selama 20 tahun. Selama itu, ia hanya mengenal bahan baku cokelat yang sudah jadi tanpa paham bagaimana prosesnya.
Sampai akhirnya, lima tahun terakhir perusahaan tempatnya bekerja, Mason Adventure, mengembangkan usaha ke bidang pembuatan cokelat dari bean ke bar.
Tiwie pun diberi tanggung jawab sebagai kepala produksi untuk Mason Chocolate, mulai dari mencari biji kakao terbaik hingga menentukan resep.
"Begitu terjun bikin cokelat langsung dari biji, itu kayak spesialis di kedokteran. Masalah cokelat dari hulu ke hilir itu banyak sekali parameter yang harus diperhatikan. Jadi untuk menjadi seorang pencicip cokelat profesional, dari hulu ke hilir, - tidak harus mendalam - tapi setidaknya mengerti dasar-dasarnya. Jadi ketika melakukan penilaian, cukup adil," tuturnya.
Dengan tanggung jawab yang dimiliki, dia pun berupaya mempertajam kemampuannya mengenai cokelat dengan mengambil sertifikasi Professional Chocolate Sensory Analyst pada Juni lalu lewat Chocolate Alliance di Amerika Serikat secara online.
Menurutnya, siapa pun bisa mengambil sertifikasi seperti dirinya, tapi tentu perlu paham mengenai cokelat, bukan sekadar suka dan doyan cokelat.
Sebelum memperoleh gelar ini, Tiwie sendiri sempat mengikuti pelatihan di Italia dan mengambil sertifikasi sebagai seorang Chocolate Maker.
 Foto: Pixabay/Security Ilustrasi cokelat |
Mimpi bangun Belgia-nya Asia
Saat mendalami tentang cokelat di Italia, Tiwie merasakan kepahitan pertama tentang cokelat Indonesia. Indonesia hanya dikenal sebagai pemasok biji kakao terbesar ketiga, tapi hanya dari segi kuantitas belum kualitas.
"Kakao indonesia tidak difermentasi secara baik, jadi habis dipanen, dikeringkan langsung dijual untuk kebutuhan industri," katanya.
"Sementara kalau artisan cokelat hanya menggunakan biji kakao yang difermentasi secara baik dan utuh, karena dari sana lah, flavour note-nya muncul. Jadi kalau tidak difermentasi hanya sebagai biji pahit getir sepet enggak karuan, enggak ada rasa apa-apa," tambah Tiwie.
Fakta pahit itu lantas membuka mata Tiwie. Ia bergegas pulang membawa PR serta tekad mengembangkan industri cokelat di Indonesia.
Pasalnya, jika mau konsisten dan berkomitmen, Indonesia punya potensi untuk menjadi penghasil biji kakao serta cokelat berkualitas.
Tiwie bahkan yakin Indonesia bisa menjadi Belgia-nya Asia.
"Mimpinya ingin ramai-ramai bareng chocolate maker, supaya bisa unjuk gigi cokelat artisan buatan Indonesia. Kalau bisa jualnya jangan langsung biji, tapi cokelat saja jadi bahan bakunya diolah di sini. Kita menjadi Belgia-nya Asia," ungkapnya.
Untuk itu, dia mengajak para chocolate maker di Indonesia untuk bersatu mendukung petani dengan menghargai biji kakaonya dengan baik sehingga mereka termotivasi menghasilkan fermentasi yang baik juga.
Persoalan persaingan, menurutnya perlu dikesampingkan, karena masalah resep pasti punya gayanya sendiri-sendiri.
"Saya sampaikan ke kementerian, kenapa enggak jadi Belgia-nya Asia, biji kita punya dari Sabang sampai Merauke, kalau produksi dengan baik dan benar flavour-nya beda-beda, jadi seru," ujar Tiwie.
Dia menambahkan, "Kalau bisa dikembangkan kayak di Belgia, satu rumah tangga punya resep sendiri, kan seru jadi berapa sektor tuh yang diuntungkan, sektor pertanian, pariwisata, UMKM, devisa, itu cita-cita. Perlu saling support dari pemerintah, chocolate maker, dan perusahaannya."
Terlepas dari impian unjuk gigi cokelat Indonesia di mata dunia, jauh Tiwie juga mengutarakan kelak ingin memiliki merek cokelat sendiri, bak Willy Wonka.
"Amin kalau kayak Willy Wonka, 'Tiwie Wonka,'" jawabnya sambil tertawa.