Jakarta, CNN Indonesia --
Orang-orang sekitar bilang kalau saya, Luisa, seorang karyawan perkantoran di Jakarta, gila! Gila karena nekat resign di masa pandemi seperti ini.
Tapi biar saja orang lain bilang saya gila, tapi saya tahu saya tidak gila. Malah saya waras sewarasnya, wong saya sudah berpikir masak-masak untuk resign dari kantor yang toxic itu.
Tunggu, jangan keburu judge saya perkara Anda mungkin menganggap saya lemah atau lainnya. Saya sudah sering dengar, orang-orang yang tahu soal masalah saya juga bilang seperti itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Yah, namanya kerja, kantor pasti ada yang kaya gitu," atau. "Gila lo, lagi pandemi malah mau resign."
Tapi saya sudah tak peduli. Saya sudah bulat dan mantap untuk resign. Ya, sudah setahun terakhir saya mencoba untuk tetap waras dan bekerja semaksimal mungkin. Saya pikir saya hanya jenuh bekerja, dan masih berjuang dengan mengubah metode kerja dari kerja di kantor menjadi full wfh.
Mungkin ini efek pandemi dan wfh membuat saya jenuh bekerja. Maklum saya yang seorang ekstrovert dan gemar pergi ke sana ke mari usai pulang kerja harus 'dikurung' di rumah seharian. Awalnya berat karena di rumah, hanya suami yang bisa saya temui.
Bak sudah jatuh tertimpa tangga, proses switching saklar ekstrovert menuju semi introvert belum selesai, deadline pekerjaan dan tekanan dari si bos makin menjadi. Demi kewarasan mental, saya sempat ajukan cuti, namun ditolak tanpa alasan yang jelas. Pun dengan permintaan unpaid leave, banyak alasan yang disebut demi saya tak cuti. Padahal, sebenarnya, ketika ambil cuti, saya juga tak sembarangan pilih tanggal, tak ada tumpukan kerjaan.
Ironisnya, si bos yang menolak cuti saya, ternyata justru dia yang ambil cuti panjang. Dan mendadak, catat, mendadak, tanpa alasan atau info kepada timnya, termasuk saya. Dan di saat itu, pekerjaannya pun tengah banyak.
Bukan cuma itu, kerjanya main perintah, dan tak bisa backup anak buah ketika ada sebuah kesalahan yang dilakukan. Tipikal buang badan. Ditambah, dia hanya bisa teriak dan main perintah tanpa memberi panduan atau bahkan guideline.
Makin lama sikap toxic si bos, (buat saya dia bukan pemimpin, tapi bos), makin jadi saat wfh. Sikapnya makin semena-mena. Ketika jam kerja, rentetan tuntutan yang bertubi-tubi di ponsel terus muncul. Semua isinya perintah!
Yang parah, dia menuntut semua orang untuk dengan cepat membalas pesannya, selagi mereka bekerja. Jika dalam 1-2 menit tak dibalas, dia pun marah dan meminta perhatian. Belum lagi urusan politik kantor. Energi saya seperti tersedot habis untuk semua drama di kantor dan menghadapi orang yang tak bisa saya look-up atau admire sebagai atasan. Satu circle tim akhirnya pun vibe yang negatif dan selalu berakhir dengan gunjingan-gunjingan julid soal dia, dan selalu tentang dia setiap saat.
Belum lagi sikapnya yang selalu mau menonjol dan membuat dirinya bersinar di atas orang lain. Arggh..
Saatnya ke psikolog...
Pikiran saya tak keruan, kepala saya panas serasa mau pecah. Saya sempet little depressed, beberapa malam saya berteriak-teriak histeris. Menangis sejadi-jadinya. Mungkin jika tetangga dengar, mereka pikir saya alami KDRT.
Tidak, ini bukan sekadar jenuh, tapi burnout. Tak pernah sekali-kalinya saya berteriak tanpa alasan di malam hari seperti orang gila. Bahkan perubahan mood pun sangat drastis. Di hari Jumat saya senang bukan kepalang, sadar bahwa besok weekend dan saya libur dan saya tak mau diganggu kantor dengan alasan apapun. Namun kebahagiaan ini mendadak pupus di minggu sore. Di minggu malam, saya kembali cemas, anxious, takut menghadapi Senin pagi, saya ketakutan.
Beruntung suami saya, Wawan tak panik. Dengan tenang dia selalu mendengarkan cerita saya. Namun ketika saya mulai berteriak-teriak, dia tahu ada masalah yang lebih besar dari itu.
"Sampai kapan mau begini? Saya bisa dengar semua cerita kamu, tapi harus ada problem solvernya. Harus melakukan sesuatu," kata suami saya saat itu.
Di situ saya tersentak. Dia benar, saya takut semakin lama ini dibiarkan bakal merembet ke hubungan saya dengan dia dan juga kesehatan mental.
Saya pun pergi ke psikolog. Saya bercerita semuanya termasuk bad relationship dan energi yang saya terima dari kantor, dia pun meminta saya untuk membuat do and dont's untuk resign atau bertahan.
 Foto: iStock/Satoshi-K Ilustrasi |
Setelah diisi, saya sadar hal negatif lebih banyak dibandingkan sisi positifnya. Satu-satunya hal positif yang bisa membuat saya bertahan hanyalah karena uang.
Perdebatan nurani dimulai. Resign atau bertahan dan berpotensi burnout yang makin parah dan merusak kesehatan mental?
"Gak apa apa kalau mau resign. Kamu udah kerja cukup lama, sekarang waktunya kamu istirahat sejenak karena kesehatan mental lebih penting. Yang penting itu bahagia dulu, kalau udah bahagia bisa ngapain aja, termasuk kerja lagi. Uang bisa dicari, asal kita sehat jiwa raga," kata Wawan.
Dulu saya takut kalau saya tak lagi kerja di sana, saya tak lagi punya title, punya jabatan, atau bahkan kehilangan teman-teman nongkrong. Tapi lambat laun saya berpikir hal ini tak bikin saya bahagia, apalagi yang mau saya pertahankan dari situ? Sekarang saya harus fokus pada diri sendiri dan mengembangkan diri.
Dia benar, kesehatan, termasuk kesehatan mental adalah yang utama. Uang juga penting. Tapi dalam kasus saya, setidaknya saya masih punya dana darurat untuk menghidupi saya. Toh, saya juga tak akan selamanya tak bekerja. Ingat saya hanya butuh rehat sejenak.
Bersama Wawan, saya mulai memikirkan berbagai potensi aktivitas bahkan sampai bisnis yang mungkin saya lakukan usai resign. Saya sadar, ada banyak potensi yang bisa saya lakukan setelah masa rehat nanti. Jadi, saya bukannya tak ada rencana sama sekali, ada banyak rencana yang bisa saya lakukan.
Benar saja, ketika sudah mengambil keputusan, perasaan saya langsung plong. Saya masih tetap bekerja karena aturan kantor yang mengharuskan resign few months notice, tapi selama beberapa bulan terakhir itu, perasaan saya tenang, kerja pun senang.
Si bos? Dia sempat menahan saya. Tapi di hari terakhir saya bekerja dia hanya membalas email saya dengan, Thank You and Good Luck. Bye-bye.