Menengok Wajah Si Dia Setahun Sekali Saban Ramadan
CNN Indonesia
Jumat, 30 Apr 2021 14:45 WIB
Bagikan:
url telah tercopy
Ilustrasi. Saban Ramadan jadi kesempatan bagi Erin untuk menengok wajah laki-laki pujannya sejak SMA. (Diolah dari Istock)
Jakarta, CNN Indonesia --
Pipi saya selalu memerah saban Ramadan. Ia bahkan bisa memerah dengan sendirinya, tanpa pulasan blush on. Ya, pipi ini tampaknya sadar betul bahwa saya pasti akan tersipu malu di bulan Ramadan. Karena hanya di bulan Ramadan-lah, saya bisa bertemu dan memandang wajah Anu, si laki-laki pujaan sejak bangku SMA.
Lebih dari satu dekade yang lalu saya dinyatakan lulus dari salah satu SMA di Bandung. Ah, wajah kinyis-kinyis itu bahkan kini telah luntur. Tapi, wajah Anu, saya yakin tak akan pernah berubah.
Tapi, saya tak menyukainya, mencintainya, apalagi menginginkannya. Hati ini kini telah jatuh dan luluh pada seorang pria yang saya nikahi pada empat tahun lalu. Dia [suami] bahkan tahu kegilaan saya pada wajah menenangkan Anu. Alih-alih marah atau cemburu, dia justru menertawakan saya. "Aneh-aneh aja kamu. Naksir wajah orang sampai sebegitunya," ujarnya di suatu waktu sambil tertawa terbahak-bahak.
Anu adalah seorang kakak kelas satu tingkat saat SMA. Pertemuan pertama kami terjadi di ruang lembaga seni SMA. Kala itu, Anu-yang duduk di bangku kelas 2 SMA-sedang anteng menggebuk drum. Sementara saya, hanya siswi baru yang coba-coba sok aktif di lembaga seni sekolah demi mendekatkan diri dengan kakak kelas.
Sontak, di saat itu pula, saya terperangah pada sorot dingin dan menenangkan yang dipancarkan mata Anu di balik gebukan drum-nya yang kencang. Sungguh dingin, tak ada sedikit pun emosi yang keluar.
Tubuhnya jangkung dan kurus. Poni rambutnya yang halus selalu terbelah di bagian pinggir, rapi. Wajahnya tak lonjong, tak juga terlalu bulat. Belahan tipis di dagunya selalu membuat siapa pun ingin mencubitnya.
Mulutnya yang mungil jarang terbuka untuk bicara, jarang juga ia tertawa lepas. Paling sesekali hanya menyunggingkan senyum tipis yang membuat hidung kecilnya sedikit melebar. Entah dengan siapa Anu bisa tertawa lepas, dari dulu saya selalu bertanya-tanya.
Matanya? Oh, matanya! Ekor matanya sedikit runcing, tapi tidak sipit. Di dalamnya ada bola mata cokelat yang tampak selalu kelelahan. Sayu, tapi menenangkan. Sorot matanya seolah mengisyaratkan tak ada sedikit pun beban yang ada dalam pikirannya. Hidupnya seolah lurus, seperti jalan tol yang meregang panjang tanpa hambatan.
Wajah itu pula-lah yang membuat saya selalu berupaya sedemikian rupa agar bisa pulang ke Bandung saban Ramadan dan mengikuti atau berpartisipasi dalam acara ngabuburit sekaligus buka bersama yang diadakan oleh lembaga seni SMA saya dahulu. Demi apa? Demi menengok wajah Anu secara langsung, setahun sekali.
Apa pun saya lakukan demi bisa melihat wajah menenangkan Anu yang tak pernah berubah dari tahun ke tahun. Yah, setidaknya hanya sekali dalam setahun.
Upaya keras itu dimulai sejak tahun 2012, saat saya mulai bekerja di Jakarta. Kau tahu? Saking terobsesinya, bahkan saya bisa dua kali pulang ke Bandung selama bulan Ramadan. Kepulangan pertama khusus untuk mengikuti acara buka bersama, kepulangan kedua tentu untuk berkumpul bersama keluarga tersayang jelang Lebaran.
Jika dipikir-pikir, terlalu boros rasanya uang yang saya keluarkan hanya untuk bertemu Anu. Padahal, saat itu saya masih pekerja baru yang digaji dengan standar UMK. Tapi, tak apa, semua demi Anu.
Ilustrasi. (iStockphoto/kzenon)
Berbagai cara saya lakukan. Mulai dari mencari tebengan untuk pulang ke Bandung hingga merayu teman-teman panitia buka bersama untuk mengulur waktu acara jadi berdekatan dengan tanggal Lebaran agar saya tak perlu dua kali pulang ke Bandung.
Upaya semakin keras dilakukan saat saya berpindah tempat kerja ke Yogyakarta sejak tahun 2015. Tentu kau tahu bukan, ongkos pulang pergi Bandung-Yogyakarta bukan cuma seribu dua ribu. Ditambah perjalanan yang memakan waktu berjam-jam. Saat bertemu Anu, wajah ini rasanya lesu. Apalagi jika ingat bahwa keesokan paginya setelah sahur saya harus kembali ke Yogyakarta.
"Gila, ngapain kamu ke Bandung sekarang? Buang-buang uang. Nanti aja kalau udah dekat Lebaran," ujar salah seorang teman, mengomentari saya yang ngotot pulang ke Bandung demi ikut acara buka bersama.
Tapi, belum sampai masuk ke telinga, saran itu sudah terbuang begitu saja. Tidak, saya akan tetap pulang ke Bandung. Toh, selain bisa menengok Anu, saya juga bisa melepas rindu dengan teman-teman semasa SMA. Sekali berenang, dua tiga pulau terlampaui.
Pernah juga sekali waktu saya diam-diam mencuri jatah dinas keluar kota untuk mengikuti acara buka bersama di Bandung. Kebetulan sekali, kala itu, tahun 2016, saya mendapat tugas dinas ke Bogor. Jadwal tugas yang tadinya hanya tiga hari, sengaja saya perpanjang menjadi lima hari dengan berbagai alasan. Dua hari sisanya saya gunakan untuk melesat sekejap ke Bandung untuk mengikuti acara buka bersama.
Selepas Magrib itu orang-orang berkumpul di lapangan karet-salah satu spot favorit semasa SMA-menikmati sisa menu berbuka puasa ditemani sajian musik santai serta angin yang berembus dari kibasan dedaunan dan ranting pohon di sekitarnya. Seperti biasanya, suasana terasa hangat.
"Astaga, Erin. Kamu datang, toh, akhirnya? Bukannya kamu ada kerjaan kantor di Bogor, ya?" tanya seorang teman, Melan, menyambut. Saya lalu menjawabnya dengan cengengesan, seolah memberi kode, kamu tentu tahu mengapa saya tetap keukeuh datang ke sini. Dia membalasnya dengan gelengan kepala. "Tuh, orangnya di sana," ujar Melan sambil menunjuk ke arah pria yang sedang duduk di salah satu pojokan. Itu dia, Anu!
Anu tak sendiri. Di sampingnya ada seorang perempuan cantik menemani. Perempuan itu terlihat begitu ceria, melemparkan senyum merekah pada siapa pun yang menyapanya, sangat berbanding terbalik dengan Anu yang selalu dingin dan bahkan tak peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya.
"Gosipnya, sih, menurut anak-anak, itu calon istrinya. Hahaha," ujar Melan sambil tertawa terbahak-bahak, mengejek. Saya melengos, mengalihkan pandangan pada Anu. Diam-diam saya membayangkan bahwa laki-laki yang wajahnya begitu saya puja akan bersanding di pelaminan bersama perempuan pilihannya. Senyum tipis pun keluar dari wajah saya. Ada sedikit rasa kesal, ada juga rasa senang.
Momen buka bersama kali itu menjadi yang pertama bagi saya melihat Anu bersama seorang perempuan. Lengkap dengan kabar bahwa perempuan itu kelak akan menjadi istrinya.
Saya mencoba memberanikan diri berjalan ke arah Anu. Tidak untuk menyapanya, tapi sekadar ingin bertegur sapa dengan seorang teman, Banon, yang kebetulan sedang berbincang bersama Anu. Hmm.. Oke, saya akui, Banon hanya-lah alasan belaka agar saya bisa memandang Anu lebih dekat.
Ilustrasi. (iStockphoto/Delmaine Donso)
"Akang Banon, kamana wae?" sapa saya sambil menyengir lebar. Sesungguhnya aksi nyengir ini hanya cara saya untuk menutupi betapa degdegan-nya saya kala itu. Jantung berdetak kencang saat saya berada percis di dekat Anu. Semoga saja tak ada yang menyadari rona merah pada pipi saya.
Pelan-pelan saya melirik ke arah Anu. Melemparkan senyum kecil sambil pura-pura tak tahu kalau Banon sedang berbincang dengannya.
Tak ada yang berubah dari wajahnya. Matanya masih saja dingin seperti kristal es yang kokoh, tak tergoda sedikit pun dengan suhu panas yang membuatnya meleleh. Mata itu memilih untuk tetap dingin membeku. Selalu menenangkan. Yang berubah hanya-lah kehadiran seorang perempuan di sampingnya.
Pelan-pelan Anu mengisap rokoknya, dengan pandangan yang tetap lurus ke depan, seolah tak ada saya, ataupun Banon, atau juga si calon istri yang duduk manis di sampingnya. Asap yang keluar dari mulutnya mengepul bergerak perlahan ke atas, meliuk-liuk bersama udara. Tapi, sorot matanya, tetap mengarah ke depan, tanpa beban.
Waktu terus berjalan. Momen demi momen buka bersama saya ikuti demi menengok Anu. Hanya sekali waktu saya absen dari acara buka bersama. Tahun 2018, saat itu saya tengah berjuang antara hidup dan mati, menunggu kelahiran si buah hati di rumah sakit, menikmati pembukaan demi pembukaan.
Kami bertemu lagi di tahun 2019. Kala itu, Anu datang bersama perempuan yang sama, yang saat itu telah sah menjadi istrinya. Sorot mata yang menenangkan itu tampak sedang berbahagia. Hidup Anu mungkin berubah setelah bertemu teman sehidup sematinya. Mungkin saja.
Sementara saya datang lengkap satu paket bersama suami dan si kecil yang baru menginjak usia 1 tahun. Saya datang untuk memperkenalkan keluarga kecil ini pada teman-teman semasa SMA, sekaligus juga tentu untuk menengok Anu.
"Yang mana, sih, yang namanya Anu?" tanya suami saya.
"Itu, yang itu, tuh," jawab saya sambil melempar mata ke arah Anu.
Kini, dua tahun sudah pandemi membuat saya absen menengok wajah Anu di bulan Ramadan. Semoga hanya untuk sementara waktu, agar di tahun-tahun berikutnya saya bisa kembali menengok wajahnya yang selalu dingin dan menenangkan.
Menengok Wajah Si Dia Setahun Sekali Saban Ramadan