Jordhi cuma cengar-cengir dari balik laptopnya. Kami berdiskusi mengenai pengadaan ruang kerja buat berdua selama masa pandemi ini.
Jika dipikir-pikir lagi, konsep work from home ini membuat kami berdua seperti sekantor lagi, ya? Ah, kami cuma bisa tertawa jika mengingat kisah beberapa tahun lalu, saat meja kerja kami berdekatan di satu kantor yang sama.
Di kantor itu-lah, cinta antara saya, Lily, dan seorang pria yang kini menjadi suami saya, Jordhi, bersemi. Kantor itu pula yang menjadi tempat pertemuan kami untuk pertama kali dan terlibat 'cinlok'.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat juga:'Saya Seorang Janda, Lalu Kenapa?' |
Ibarat biro jodoh, kantor itu punya banyak cerita di dalamnya. Tapi, untuk menyandang status suami-istri, salah satu dari kami harus mengundurkan diri.
Kisah dimulai pada tahun 2012. Saya dan Jordhi kala itu sama-sama menjadi pegawai baru di salah satu kantor media nasional. Saya lebih banyak meliput isu-isu ekonomi dan yang bertema seni budaya. Sementara Jordhi lebih sering menggarap isu lingkungan dan politik. Meski beda penugasan, pertemuan di kantor tetap tak bisa terhindari.
Perusahaan mewajibkan karyawan untuk absen di kantor. Rapat redaksi hingga proses penulisan laporan juga dilakukan di kantor. Dengan cara itu, saya jadi bisa curhat soal kerjaan, berdiskusi soal hobi, hingga soal percintaan bersama Jordhi saat kami sedang sama-sama menyelesaikan deadline, misalnya.
Lama kelamaan, intensitas bertemu dan saling berbincang yang tinggi perlahan membuat Jordhi semakin memberikan perhatiannya.
Saat itu, saya sempat patah hati gara-gara putus dengan pacar. Demi mengobati patah hati, saya memutuskan untuk melakukan vakansi singkat ke Bandung seorang diri. Eh, tapi Jordhi malah datang dan menawarkan diri untuk menemani agenda 'pelarian patah hati' saya.
Sejak perjalanan ke Bandung, perlahan saya sadar, seperti jodoh itu tidak jauh, kok. Jodoh mungkin saja ada di depan mata. Tak selang berapa lama, kami resmi menyandang status 'pacar'. Atau, mungkin lebih tepatnya, 'pacar sekantor'.
Kami menjalani hubungan dengan santai. Di lingkungan kerja, pacaran dengan rekan sekantor bukan hal yang aneh. Kantor itu seperti biro jodoh. Selain kami, ada dua pasangan lain yang menjalin hubungan romantis.
Kantor memang melarang hubungan pernikahan sesama karyawan. Namun, bukan berarti pacaran jadi sesuatu yang 'haram'. Rapat redaksi justru jadi wahana bagi teman-teman mengejek saya. Tawa riuh kerap terselip dalam agenda rapat akibat hubungan kami.
![]() |
Meski kerap jadi bahan ejekan, tapi saya yakin, teman-teman sesungguhnya memberikan dukungan untuk hubungan kami.
Setahun berpacaran, kami sadar bahwa umur sama-sama sudah matang untuk melaju ke jenjang berikutnya. Kala itu, usia saya 25 tahun dan Jordhi 29 tahun. Berhadapan dengan aturan kantor, kami berdiskusi cukup alot soal siapa yang harus mengundurkan diri.
Dari diskusi yang alot itu, beberapa pertimbangan cenderung mengarah pada saya.
Jordhi masih ingin mengeksplorasi dunia jurnalistik yang masih digelutinya hingga saat ini. Sedangkan saya dibuat galau gara-gara dipindahkan untuk mengurus isu-isu hukum dan kriminal. Tongkrongan di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan berhadapan dengan kasus korupsi rasanya tak semenyenangkan seperti tema-tema yang sebelumnya saya geluti.
Oke, pelan-pelan saya berpikir, tak ada salahnya mencoba eksplorasi di 'dunia' lain yang berbeda.
Kendati demikian, tetap saja begitu banyak hal berkecamuk dalam pikiran. Mulai dari persoalan pernikahan itu sendiri, rasa sayang saya pada kantor lama yang benar-benar bikin nyaman, hingga menyoal proses adaptasi saya dengan lingkungan kerja yang baru. Tapi, mau tak mau, itu harus saya lakukan demi impian masa depan bersama Jordhi bisa tercapai.
Saya menarik napas panjang, menatap Jordhi, dan memantapkan hati untuk terus maju.
Lihat juga:Lika Liku Jalan Menikah di Tengah Pandemi |
Seperti halnya pasangan yang menganut paham 'jodoh-tidak jodoh', pekerjaan pun demikian. Saya jelas begitu mencintai dunia jurnalistik yang telah saya lakoni sejak lama. Sejak kuliah, saya sudah gemar menulis. Meninggalkan titel pekerjaan sebagai 'wartawan' tentu bukan perkara mudah. Apalagi kantor tempat saya belajar menjadi wartawan sesungguhnya ini begitu menawarkan suasana kekeluargaan dan kehangatan yang luar biasa nyaman.
Tapi, saya sudah membuat keputusan. Mau tak mau, harus saya coba lakoni.
Modal coba-coba melamar ke sana-sini, saya malah diterima bekerja di sebuah kantor agensi public relation (PR). Sebenarnya dunia public relation tak terlalu jauh dengan dunia jurnalistik. Justru, gelaran-gelaran yang dulu saya liput kebanyakan dibuat oleh tangan-tangan kreatif agensi PR. Sekarang, giliran saya, deh, yang menginisiasi gelaran.
Dengan demikian, dimulai-lah petualangan di tanah misi yang baru pada akhir Oktober 2015. Saya dipaksa untuk mengayuh lebih cepat karena ritme kerja yang rapat. Kaget? Sangat!
Rasa pusing dan kaget itu tak jarang membuat saya melipir ke kantor lama. Selain karena ingin bertemu si kekasih hati, kantor itu selalu menawarkan rasa nyaman dan atmosfer yang lebih berkeluarga daripada kantor baru.
Sungguh, jika dipikir-pikir, manuver Gandaria (kantor baru) - Kalibata (kantor lama) - Ciputat (rumah) begitu tak masuk akal. Tapi bagaimana? Saya ingin menyerap semangat dan dukungan dari teman-teman sekaligus pacar.
Singkat cerita, enam bulan kemudian, saya resmi menjadi istri dari seorang Jordhi. Pada April 2016, kami menikah dalam balutan adat Minang.
Berandai-andai jika kami sekantor, mungkin curhatan jadi lebih nyambung. Obrolan pasti seputar liputan, narasumber yang kami temui, juga gosip-gosip yang beredar di kalangan jurnalis. Ditambah lagi teknis pulang-pergi yang lebih mudah diatur. Tapi, kenyataannya kini kami bekerja di kantor yang berbeda, pun profesi yang berbeda.
Tapi, sesungguhnya diskusi jadi lebih menarik. Kami saling bercerita tentang apa yang dikerjakan masing-masing, dan saling memberi pengetahuan-pengetahuan baru.
Lagi pula, jika dipikir-pikir lagi, tak terbayang kalau hingga saat ini kami masih berada pada profesi dan kantor yang sama. Bagaimana cara saya bisa fokus bekerja? Bisa-bisa konsentrasi kerja jadi runyam karena masalah rumah tangga yang tak sengaja terseret hingga kantor.
(els/asr)