Bagi Indonesia, afo bukan cuma sekadar pohon cengkih biasa. Afo menjadi saksi sejarah masa keemasan Indonesia di jalur rempah. Merunut masanya, cengkih Ternate sudah jaya jauh sebelum datangnya Portugis ke Indonesia. Dalam bukunya Kepulauan Rempah-rempah, M. Adnan Amal mengungkapkan, cengkih dibudidayakan pada 1450.
Kala itu, pohon tersebut yang bisa jadi belum bernama, sudah memikat para pedagang dan pemburu rempah dari seluruh dunia. Perdagangan cengkih Ternate dan Maluku dimulai oleh pedagang Jawa dan bangsa Cina, Melayu, Arab, Persia, dan Gujarat. Kala itu mereka, kerap singgah di kota-kota pelabuhan ini untuk beristirahat. Pada abad 16 dan 17, para pedagang singgah di Makassar untuk membeli beras untuk ditukarkan dengan rempah di Maluku.
Aroma khas cengkih juga membius seorang penulis dan bendahara Portugis Tome Pires dalam bukunya yang berjudul Suma Oriental que trata do Mar Roxo ate aos Chins menuliskan perjalanannya selama berada di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Para Pedagang Melayu berkata bahwa Tuhan telah menciptakan Timor untuk kayu cendana, Banda untuk pala, dan Maluku untuk cengkih. Barang dagangan ini tidak dapat ditemukan di tempat lain di dunia kecuali di ketiga tempat ini."
Kepopuleran cengkih membuat orang-orang Eropa pun mencoba menelusuri asal-usulnya, hanya lewat namanya. Hanya saja minimnya informasi soal rempah ini membuat mereka kesulitan melacak jejaknya.
Pada 1506, Lodewijk de Bartomo adalah orang Portugis pertama yang datang ke Ternate dari Banda. Saat itu tak diketahui motif dan tujuannya datang ke Ternate. Kedatangan Bartomo kemudian disusul oleh kedatangan armada Portugis di bawah pimpinan D'Abrau dan Fransisco Serrao. Mereka tiba di masa kepemimpinan Sultan Bayanullah dari Ternate, Serrao bahkan dijadikan penasehat pribadi hingga akhirnya diberikan hak istimewa dalam perdagangan. Kongsi ini dilakukan demi mengukuhkan Ternate sebagai kerajaan terkuat di Maluku.
Kedatangan dan hak istimewa perdagangan rempah menjadi catatan tersendiri buat bangsa Eropa khususnya Spanyol, Belanda, dan Inggris, untuk datang ke Maluku demi cengkih. Pada 1521, bangsa Spanyol mulai datang ke Maluku dan mencari rempah, seperti Portugis yang dapat hak khusus perdagangan rempah, Spanyol mendapat hak monopoli perdagangan cengkih dari Sultan Almansur di Tidore.
Saat pedagang Portugis dan Spanyol berhasil menemukan tempat asal cengkih, Spanyol menyebutnya Gilope, karena dibawa dari pulau Gilolo. Sedangkan Portugis menyebutnya clou de girofle karena bentuknya yang mirip paku atau clou. Dalam bahasa Inggris disebut clove yang berasal dari bahasa Latin, clavus yang berarti kuku.
Pada 1579, Sultan Baabullah dari Ternate menerima kunjungan Francis Drake dari Inggris yang membawa 5 kapal besar, termasuk Golden Hind yang terkenal. Drake mengaku hanya ingin berdagang. Sultan pun menjamunya dengan berbagai makanan mewah termasuk hidangan sagu, nasi, lauk pauk dari kambing, rusa, ayam, ikan bakar, sampai kepiting yang semuanya dimasak dengan cengkih. Rasa suka dan hormat satu sama lain membuat Baabullah mengisi kapal Drake dengan penuh muatan cengkih terbaik. Hal ini menjadi salah satu cikal bakal terbentuknya hubungan perdagangan antara Inggris dan Indonesia.
![]() |
Kedatangan Belanda ke Maluku untuk mendapatkan cengkih, mengubah sejarah Maluku. Sebelumnya, Belanda berhasil menaklukan Banda pada 1622. Mereka berhasil menaklukan dan memonopoli pala dan kembang pala.
Demi menjalankan rencananya, VOC pun menjalin kesepakatan dengan penguasa Ternate saat itu, Sultan Mandar Syah. Dalam perjanjian tersebut, VOC diizinkan untuk melakukan eradikasi atau memusnahkan cengkih di Maluku. Sebagai gantinya, mereka memberikan Mandar Syah sejumlah recognitie penningen dengan besaran yang disepakati, pakaian dan perhiasan mahal. Akan tetapi, rakyat si empunya pohon cengkih justru mendapat bayaran yang sangat kecil dan membuat rakyat cukup marah.
Tak hanya itu, demi memastikan semua pohon cengkih habis ditebang, Belanda juga 'menggandeng' bobato (kepala desa) untuk berlayar dari pulau ke pulau melaksanakan ekspedisi pelayaran Hongi. Mereka menebang semua tanaman cengkih tersebut dan menanamnya di Ambon dan Lease, dekat pusat pemerintahannya di Banda. Hanya saja menurut cerita, keluarga Alfalat berhasil menyelamatkan sebatang pohon cengkih yang kini dikenal sebagai cengkih afo. Pohon ini disebut sengaja ditanam di dalam hutan Gunung Gamalama agar tak bisa ditemukan Belanda.
Meski demikian, saat itu Belanda dengan VOC-nya berhasil memonopoli jalur rempah di Maluku. Pada 1770, seorang saudagar Prancis berhasil mengambil bibit cengkih afo dan membawanya ke Zanzibar. Inilah yang menjadi cikal bakal Zanzibar kini menjadi produsen cengkih yang terkenal.
Monopoli VOC ini juga menimbulkan pro-kontra di antara pedagang jalur rempah. Paruh kedua abad 18, Prancis menyelundupkan cengkih dari Hindia Timur ke pulau-pulau Samudra Hindia dan Dunia Baru untuk mematahkan monopoli VOC.