Jakarta, CNN Indonesia --
"Permasalahan jerawat ini makin mengusik saat saya mulai masuk ke dunia kerja. Saya punya lingkungan kerja yang lumayan toksik," Mery Handayani, 27 Tahun. Kepada CNNIndonesia.com, Mery membagikan ceritanya saat berjerawat dan menghadapi komentar serta lingkungan yang toksik.
Saya mulai punya masalah dengan jerawat menjelang skripsi saat semester 7. Dari SD sampai semester 6, saya tidak pernah berjerawat parah. Kalau pun ada, ya, cuma satu dua, menjelang dan saat menstruasi saja.
Saat skripsi, jerawat makin parah. Beruntusan muncul di pipi kanan dan kiri, gatal sekali. Muncul juga jerawat kecil dengan cairan putih.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat itu, saya berpikir mungkin karena pikiran. Mengajukan judul skripsi yang tak tak kunjung diterima. Belum lagi saya dapat dosen pembimbing yang galak. Ini membuat saya stres dan ketakutan tiap kali bimbingan.
Selain itu, kurang tidur juga jadi biang kerok. Setiap revisi, saya selalu berusaha menyelesaikannya di hari itu juga. Alhasil, makan juga jadi tidak teratur. Ternyata, ini bikin jerawat saya makin subur.
Dari hanya beruntusan di dahi, muncul lagi di pipi kanan dan kiri. Beruntusan terasa gatal dan sangat mengganggu. Saya enggak sadar terus menerus menggaruknya.
Akhirnya, jerawat menyebar. Banyak jerawat kecil, yang jika dipencet, akan keluar air berupa nanah putih. Dari situ, muncul lagi jerawat agak besar dan merah di pipi yang datangnya seperti keroyokan, empat sampai enam jerawat sekaligus.
Awalnya, masalah jerawat ini sama sekali enggak mengganggu. Kepercayaan diri saya bahkan tidak turun kala itu.
Adik saya menyarankan untuk berkonsultasi dengan dokter kulit. Tapi, waktu itu saya masih tidak mau karena ingin pakai skincare yang dijual bebas. Papa juga menyarankan untuk tidak dipencet atau digaruk. Bersyukur, beruntusan sudah mulai mereda dan jerawat besar tidak muncul lagi.
Permasalahan jerawat ini makin mengusik saat saya mulai masuk ke dunia kerja di tahun 2017 lalu. Saya punya lingkungan kerja yang lumayan toksik.
Seorang teman selalu mengomentari wajah saya. Tiap jerawat bertambah, pasti dikomentari. Saat itu, kondisi wajah saya berjerawat parah di bagian pipi.
Kondisi wajah saya ini juga jadi pikiran keluarga, termasuk tante. Setiap main ke rumahnya, selalu ditanya, "Kenapa kok jerawatan? Kenapa bisa parah banget? Kenapa bisa hancur mukanya?"
Sepupu yang lain pun juga sama paniknya. Mereka mulai jadi dokter kulit dadakan, segala obat yang 'katanya' bagus diberikan kepada saya.
Simak cerita Mery menggunakan berbagai cara untuk menyembuhkan jerawat di halaman berikut ini.
Kakak sepupu menyarankan pakai jeruk nipis ke wajah. Karena sudah hopeless, saya mencobanya.
Namun, alih-alih sembuh, justru wajah jadi semakin perih. Tante menyarankan pakai daun binahong yang ditempel di dahi untuk menghilangkan beruntusan. Saya lakukan, tapi tak sembuh juga, yang ada jerawat malah makin subur.
Lama-lama, saya yang awalnya biasa saja dan tidak masalah dengan jerawat ini, mulai terganggu. Tiap bertemu orang yang selalu mengomentari jerawat, psikis saya jadi bermasalah.
Saya takut melihat kaca. Setiap pulang bertemu orang, saya menangis. Setiap cuci muka dan memegang jerawat, saya juga menangis.
"Kenapa ya? Kok, jerawatan aja diomongin terus?" tanya saya ketika itu.
Lama-lama, saya lelah mendengar komentar-komentar itu. Bahkan di satu kesempatan kerja, seorang klien hingga bilang, "Kamu, tuh, cantik, tapi lebih cantik [kalau] enggak jerawatan."
Ini membuat saya makin frustasi menghadapi jerawat dan omongan-omongan orang.
Bahkan mengunggah foto di media sosial saja saya enggak berani karena DM (direct messages) bakal penuh pertanyaan, "Kenapa jerawatan? Kenapa [jerawat] makin banyak?"
Bukannya tanpa usaha, saya sudah lima kali ganti dokter, tapi tak ada perubahan apa-apa. Saya sempat berpikir untuk operasi plastik saja. Capai jerawat tidak selesai-selesai, capai mendengarkan komentar orang-orang.
Sampai akhirnya, saya bertemu sahabat semasa kuliah. Dia menyarankan untuk ke dokter kulit, tempat dia melakukan perawatan. Saya mencoba mendatanginya.
Dokter mengatakan kalau jerawat saya muncul dan makin parah karena pikiran. Saya diminta untuk santai dan tidak usah memikirkan jerawatnya.
"Jerawat itu wajar terjadi pada setiap orang. Karena manusia punya hormon yang memengaruhi itu. Jadi enggak usah terlalu kamu pikirkan, dibawa santai saja. Kalau kamu terus pikirkan, mau saya kasih obat apa pun enggak akan ada pengaruhnya. Kalau masih ada aja yang komentar, diamkan dan enggak usah ditanggapi," kata dokter waktu itu.
Kata-kata dokter itu bikin saya sadar. Saya mulai mengubah pola pikir. Mereka enggak tahu apa saja yang sudah saya lakukan, sebesar apa usaha saya, dan berapa uang yang sudah dikeluarkan untuk mengobati jerawat ini.
Sejak saat itu, setiap bertemu orang yang mengomentari jerawat, saya sudah tidak menanggapinya lagi. Seperti angin lalu saja. Bodoh amat, sudah tidak peduli.
Kalau enggak kuat, saya pakai earphone atau saya tinggal pergi. Sebelumnya, saya bisa marah dan menjelaskan dari A sampai Z apa saja yang sudah saya lakukan untuk menyembuhkan jerawat.
Peran dokter ini besar sekali dalam membantu saya sembuh dari mental yang terpuruk. Saya juga belajar menerima perubahan apa pun dari diri saya. Saya menikmati proses sembuh dengan nyaman karena dokter juga selalu menyemangati saya.
Selama proses penyembuhan jerawat itu, saya juga atur pola makan, minum air putih yang cukup, makan banyak sayuran dan buah-buahan.
Sekarang saya sudah kembali percaya diri dan sudah tidak terganggu dengan jerawat. Kadang, kalau jerawat muncul lagi, misalnya timbul beruntusan di dahi atau jerawat merah-merah di pipi, dan ada yang komentar, maka saya akan jawab, "Ya, kan, saya manusia, bukan Barbie. Jadi wajar kalau ada jerawat."
[Gambas:Photo CNN]