Bulan pertama setelah menikah saya dan suami kebingungan. Bagaimana mencegah agar saya tidak hamil sementara kami tetap bisa berhubungan seksual?
Jalan satu-satunya adalah menggunakan alat kontrasepsi. Senggama terputus buat saya bukan pilihan, takut-takut bisa kelepasan dan hamil.
Iya, saya memang menunda punya anak karena ketakutan saya akan banyak hal. Beruntung suami paham ketakutan saya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kami berdua mulai mencari alat kontrasepsi terbaik yang bisa digunakan. Suami saya sempat mengajukan pil KB untuk saya konsumsi atas saran Ibunya. Saya menolak. Berbekal informasi di internet, yang bisa saja salah, saya bilang Pil KB punya banyak dampak buruk untuk saya.
Jerawat, kegemukan, bahkan migrain dan berbagai efek lain yang saya temukan di internet.
Pil KB kami eliminasi dari daftar alat kontrasepsi yang akan digunakan. Padahal kami belum berkonsultasi dengan dokter saat itu.
Saya juga sempat mengajukan pemasangan IUD atau spiral, suami saya bilang "Nanti sakit, itu dimasukin ke vagina, kamu ketakutan nanti,".
IUD kami eliminasi, selain menakutkan dalam benak saya, IUD juga bisa menunda kehamilan hingga 5 tahun. Belum tentu saya tidak mau punya anak hingga lima tahun kan?
Suami saya kemudian menyarankan agar saya menggunakan suntik hormonal, ada yang satu bulan sekali ada juga yang tiga bulan sekali. Saya sempat tertarik, tapi kemudian keponakan saya bilang KB suntik hampir sama dengan KB Pil. Bisa membuat jerawatan, kegemukan dan migrain hingga masalah menstruasi.
Lagi-lagi saya tidak memeriksa informasi ini ke dokter, bodohnya saya justru percaya dan menyampaikan hal tersebut ke suami saya. Saya bilang saya tidak mau suntik KB dengan alasan tak bagus untuk tubuh saya.
Sepertinya dia sudah mulai kesal, karena saya juga menolak berhubungan seksual selama belum ada pengaman yang bisa kami gunakan.
Hampir dua bulan perdebatan alat kontrasepsi itu terjadi di antara kami, berulang kali suami saya mengajak berkonsultasi ke dokter, berulang kali juga saya tolak. Alasan saya bermacam-macam, dari mulai takut karena kasus Covid-19 masih tinggi, takut diberi saran minum pil atau suntik, dan malas saja. Iya, saya malas berkonsultasi ke dokter kandungan.
Kami berdua juga kerap bertanya ke teman-teman yang telah menikah dan memutuskan menunda keturunan. Di antara mereka banyak yang menyarankan agar suami saya bertanya dengan sungguh-sungguh perihal apa yang saya inginkan, yang benar-benar saya butuhkan, baru setelah itu kami berdua konsultasi dengan dokter kandungan.
Suami saya pun menjalankan saran temannya itu, dia menanyakan apa yang sebenarnya saya inginkan. Saya bilang kepadanya bahwa saya tidak mau semua hal harus dibebankan di tubuh saya, semua harus adil. Karena kalau hanya saya, saya yang menderita.
Padahal pernikahan harus ditanggung bersama. Toh ketika hamil tak ada tawar-menawar bahwa saya yang harus mengandung selama sembilan bulan.
Penggunaan pil, suntik atau pemasangan spiral ada di tubuh saya. Saya bilang saya takut.
Dia pun mafhum, jadi menurut dia selama ini saya hanya tidak ingin menggunakan kontrasepsi di tubuh saya. Setelah pencarian selama dua bulan dengan banyak pertengkaran dan penolakan kami berdua memutuskan menggunakan kondom setiap kali berhubungan seksual.
Saya sempat merasa tidak enak hati, karena banyak yang bilang pria tak puas bercinta kalau pakai kondom.
"Aku enggak tau bedanya. Sekarang jalani saja dulu, nanti kalau sudah waktunya kita siap punya anak, ya dilepas, sekarang yang penting mental kita berdua siap dulu untuk punya anak," kata dia.
Saya bersyukur suami saya memahami apa yang saya butuhkan dan saya inginkan, walau mungkin ini terdengar seperti keegoisan saya, tapi keputusan hamil dan penggunaan alat kontrasepsi memang harus sesuai kesepakatan bersama. Tak boleh ada pemaksaan dalam bentuk apapun.
Alasan saya takut punya anak, saya ceritakan di halaman selanjutnya...