Layanan penggunaan maupun pembaharuan kontrasepsi memang harus dilakukan di fasilitas kesehatan. Namun dalam kondisi pandemi, banyak pertimbangan untuk tidak ke faskes sehingga pengguna kontrasepsi terancam 'drop out' atau putus pakai.
Hasto Wardoyo, kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menuturkan tahun ini angka drop out dinilai belum ada perbaikan dibanding tahun lalu.
Di 2020, peserta KB yang drop out sekitar 10 persen. Sedangkan tahun ini, Hasto belum optimistis angka dropout ini menurun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami merasa terpukul, mereka [peserta KB] enggak datang kefaskes,faskes penuh karenaCovid. Sebagian yang seharusnya disuntik, enggak suntik. Seharusnya ganti susuk, enggak ganti. Di Indonesia, mayoritas [pengguna] suntik, susuk dan pil KB. Pil itu juga bisa drop out karena harus ambil kefaskes sebulan sekali," ujarHasto saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (24/9).
Terkait penggunaan kontrasepsi(semua cara) dilihat mengalami peningkatan. Dari survei lima tahunan BPS bekerjasama dengan BKKBN dan Kemenkes atau Survei Demografi dan Kesehatan (SDKI) 2017 terlihat sebanyak 64 persen penduduk Indonesia memakai kontrasepsi. Ini lebih tinggi dibanding SDKI 2012 yakni, 62 persen. Meski harus bersabar untuk SDKI 2022, BKKBN sempat melakukan survei internal di 2019 dan hasilnya ada penurunan menjadi 63 persen.
Sementara itu, tujuan penggunaan kontrasepsi memang untuk menunda kehamilan. Namun jika dilihat lebih jauh,kontrasepsi bertujuan menurunkan angka kematian ibu dan bayi juga stunting.
SDKI 2017 menunjukkan total fertility rate (TFR) atau angka fertilitas total di 2,45. Artinya rata-rata perempuan melahirkan 2,45 kali. Ada provinsi tertentu dengan jumlah anak per keluarga cukup banyak misal, NTT, Sumatera Utara. Kontrasepsi akan bertujuan untuk menurunkan TFR atau mengendalikan jumlah anak.
Untuk daerah dengan TFR rendah misal Bali, Yogyakarta, Jawa Timur, DKI Jakarta, Sulawesi Utara,kontrasepsi bertujuan untuk memberikan jarak kelahiran sebab ini berkaitan dengan kualitas SDM.
"Kalau anak terlalu dekat jarak kelahirannya, angka stunting tinggi, kematian bayi tinggi, kematian ibu tinggi. Saya kira untuk Indonesia sudah waktunya berpikir untuk kualitas SDM," imbuhnya.