Sejarah Gedung Joang 45, Markas Pergerakan Jelang Kemerdekaan

CNN Indonesia
Minggu, 03 Okt 2021 18:49 WIB
Museum ini mungkin tak sebesar museum lain di Jakarta, namun keberadaannya menjadi saksi bisu perjuangan kemerdekaan Indonesia. Berikut sejarah Gedung Joang 45. (Foto: Rifkianto Nugroho/detikcom)
Jakarta, CNN Indonesia --

Ibu Kota Jakarta memiliki sejumlah museum sejarah, salah satunya Gedung Joang 45. Museum Gedung Joang 45 mungkin tidak sebesar museum lain di Jakarta, namun keberadaannya menjadi saksi bisu sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia di tahun 1945.

Gedung Joang 45 berlokasi di Jalan Menteng Raya No.31, Jakarta Pusat. Arsitektur museum ini bergaya Belanda dengan ciri pilar-pilar tinggi dan besar di bagian depan bangunan.

Selain itu, tampak jendela besar dan panjang di bagian kiri, tengah dan kanan dengan dominasi cat bangunan berwarna putih.

Gedung ini sendiri dibangun oleh arsitek Belanda dan telah beberapa kali berganti nama sebelum memiliki nama saat ini.


Sejarah awal Gedung Joang 45

Pada awalnya Gedung Joang bernama Hotel Schomper. Desain hotel Schomper dirancang oleh seorang pengusaha Belanda bernama L.C. Schomper pada 1939.

Pembangunan hotel ditujukan sebagai tempat peristirahatan pejabat tinggi Belanda, para pengusaha asing, dan para pejabat pribumi saat berkunjung ke Batavia.

Dalam perjalanannya, keluarga Schomper harus merelakan hotel mereka akibat dari penyerahan diri pemerintah Hindia Belanda tanpa syarat kepada Jepang 8 Maret 1942.
Jepang yang berkuasa saat itu lantas menyita semua aset-aset milik orang Belanda. Tidak terkecuali Hotel Schomper, milik L.C. Schomper.

Dengan berpindah tangan kepemilikan secara paksa, praktis fungsi bangunan dan nama bangunan diubah oleh Jepang.

Keluarga Schomper pun harus masuk kamp interniran, kamp tahanan untuk warga sipil dan militer saat Jepang berkuasa).

Pergantian Nama dan Fungsi Gedung

Pengambilalihan aset-aset Belanda oleh Jepang dilakukan oleh Gunseikanbu Sendenbu (Badan Propaganda Jepang) pada Juli 1942.

Atas izin Gunseikanbu Sendenbu, hotel sitaan ini beralih fungsi sebagai asrama pemuda Indonesia, yang disebut sebagai Asrama Angkatan Baru Indonesia atau Asrama 31.

Asrama itu menjadi tempat pendidikan politik bagi pemuda Indonesia seperti Wikana, Chairul Saleh, Adam Malik, D.N. Aidit dan sebagainya.

Mereka dididik untuk dapat menjadi kader politik yang mendukung kepentingan Asia Timur Raya.

Pendidikan politik itu lantas dimanfaatkan para tokoh bangsa untuk menanamkan cita-cita kemerdekaan Indonesia tanpa campur tangan Jepang.

Saat itu, para pelajar dan mengajar telah memiliki kesadaran akan pentingnya kemerdekaan.

Para pengajar di Asrama 31 ini adalah Soekarno, Moh. Hatta, Moh. Yamin, Sunaryo, dan Achmad Subardjo. Semua materi pelajaran yang ada di Asrama 31 ini kemudian disebarluaskan ke pemuda di seluruh Indonesia.


Asrama Angkatan Baru Indonesia setelah Kemerdekaan

Usai kemerdekaan, para pelajar di Asrama 31 melebur dengan Comite van Actie (Panitia Aksi) pada 18 Agustus 1945.

Mengutip laman Kemendikbud, penggabungan itu berhasil merebut Asrama 31 dari tangan organisasi bentukan Jepang Djawa Hokokai dan menyusun tiga poin penting yakni:

  1. Membentuk Angkatan Pemuda Indonesia (API)
  2. Mengambil alih kekuasaan dari tangan Jepang
  3. Mempersiapkan rapat raksasa di Lapangan IKADA dalam rangka mendukung proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Tokoh-tokoh yang menonjol dalam gerakan tersebut adalah Adam Malik, Sukarni, Chaerul Saleh, A.M. Hanafi. Sementara Chairil Anwar disebut-sebut juga turut menulis puisi yang memberikan semangat perjuangan kepada rakyat Indonesia.


Peresmian Gedung Joang 45

Selanjutnya, pada masa Orde Baru, gedung bekas hotel dan asrama perjuangan ini difungsikan sebagai markas Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia Jakarta Raya.

Namun pada 1968 hingga 1972, bangunan beralih fungsi menjadi pusat kegiatan Veteran Angkatan 45.

Barulah pada 19 Agustus 1974, Presiden Soeharto bersama Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin meresmikan gedung tersebut sebagai Museum Joang 45.

Sepanjang sejarah Museum Joang 45 berdiri, bangunan ini pernah sekali mengalami pemugaran pada September 1973 hingga Agustus 1974 oleh Pemerintah DKI Jakarta dan tidak banyak mengalami banyak perubahan.

(imb/fef)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK