Revitalisasi kota nyatanya mengancam keberadaan pedagang kaki lima legendaris sampai pertokoan tua. Konsep perlindungan kawasan legendaris seharusnya seperti apa?
John: Gimana ya, sekarang untuk jalan sih lebih enak ya. Lebih bagus yang sekarang maksudnya. Trotoarnya layak untuk pejalan kaki. Kalau dulu susah ya. Meski akhirnya saat ini banyak pedagang kaki lima yang udah enggak ada, seperti di Batmer. Karena mau gimana? Mau ditentang gimana?
Ale: Banyak tempat yang digusur secara paksa, gak ada pertimbangan keadilannya. Seharusnya diperhitungkan lagi, konteks dari segi budayanya seperti apa. Gak bisa tuh mindahin fisik bangunan bersejarah begitu aja, terus selesai. Kalau revitalisasi gak sesuai konteks, pasti banyak orang yang merasa punya kenangan di sana akan sakit hati.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jimi: Sebenarnya kalau ditertibkan gue sih setuju aja. Cuman kalau gedung tua dihilangkan, itu sayang. Kalau menurut gue, Planetarium mesti dipertahankan. Planetarium kalau gue bilang dijadiin Cagar Budaya aja sih. Itu edukatif banget, sampe gue ajak anak gue ke sana. Sensasi melihat antariksa dengan nuansa zaman dulu, harusnya dilestarikan. Biarkan itu jadi klasik.
Malau: Sekarang gini, ngajak turis wisata sejarah tapi pas dateng ke kawasannya eh bangunan baru semua. Kalo kondisinya gitu terus gimana? Hal seperti itu sih yang patut dipertimbangkan.
Kalau soal pemeliharaan seni, gw sempat sedih banget liat beberapa lukisan maestro Indonesia dipajang seadanya di Graha Bakti Budaya. Suasananya lebih mirip gudang. Semoga dengan revitalisasi, pemeliharaan barang seni juga gak dilupain.
![]() |
Apa yang masih dibutuhkan Cikini agar semakin layak menjadi destinasi urban tourism (wisata perkotaan)?
John: Planetarium sangat perlu dilestarikan. Nuansa retronya terutama. Selama ini keberadaannya lebih sering diremehkan, seakan kurang dana pengembangan. Padahal sangat penting untuk IPTEK.
Begitu juga dengan kawasan makanan, kayak yang di sepanjang Kantor Pos, salah satunya Bakoel Koffie, itu perlu dilestarikan. Hotel-hotel kecil di sekitar Cikini juga keren-keren. Ada Hotel Godila, Hotel Menteng, tempat dangdut namanya Iguana.
Kawasan Cikini itu lebih cocok jadi kawasan pertunjukan dan kuliner menurut gue. Jadi kalau mau ngajak tamu dari luar negeri atau luar kota untuk makan makanan Indonesia, ajak ke Cikini. Di sana seharusnya jadi kawasan one stop entertainment yang suasananya rakyat.
Ale: Ga cuma soal pembangunan fisiknya aja, soal lingkungan juga patut diperhatiin. Kalau ngomongin tata kota, kan cuma lihat permukaannya doang, bagaimana misalnya dengan limbah yang dihasilkan di daerah situ? Misalnya dengan keberadaan banyak coffee shop. Kalau diterusin kayak gini 30 tahun, kampung sebelah yang dilewati aliran pembuangan limbah jadinya gimana?
Perlu diriset soal sampah yang dihasilkan di Cikini dalam sebulan seberapa banyak. Konteksnya sekarang tentang berkelanjutan. Enggak bisa lagi mengenai memori-memori belaka doang. Romantisme okelah, tapi terlepas dari itu, pemeliharaan kawasannya di masa depan gimana? Itu yang penting.
(ard)