Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan Vaksinolog, Dirga Sakti Rambe menyebut hingga saat ini belum ada angka pasti yang menjadi penentu seberapa tinggi hasil tes yang bisa menyatakan bahwa imun atau antibodi tubuh telah mampu melawan Covid-19.
"Tidak ada organisasi kesehatan manapun baik itu WHO maupun Kemenkes yang menganjurkan pemeriksaan antibodi setelah vaksin," kata Dirga saat melakukan sesi live Instagram dengan Kementerian Kesehatan, Rabu (25/8).
Saat dilakukan pemeriksaan antibodi, memang akan muncul angka yang memperlihatkan seberapa kuat antibodi di dalam tubuh. Namun tak ada penelitian yang menunjukkan angka pasti yang terbaik untuk melawan vaksin ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Belum ada kesepakatan berapa angka ideal," kata Dirga.
Ahli biologi molekuler Ahmad Rusdan Handoyo juga menyatakan antibodi tidak langsung muncul ketika seseorang menerima vaksin Covid-19. Dia mengatakan antibodi pada umumnya muncul paling cepat dua minggu setelah suntikan.
"Rata-rata antara dua sampai tiga minggu ya," ujar Ahmad kepada CNNIndonesia.com, Kamis (4/2).
Ahmad menuturkan cepat atau lamanya tubuh menghasilkan antibodi tergantung dari status imunitas seseorang. Semakin rendahnya imunitas maka semakin lama antibodi terbentuk dan sebaliknya.
Epidemiolog Universitas Griffith, Dicky Budiman mengatakan antibodi bisa terbentuk dalam tujuh hari setelah seseorang menerima vaksin. Namun, antibodi tersebut terbilang belum optimal untuk menangkal penyakit.
"Mencapai puncaknya itu dua minggu setelah suntikan kedua. Jadai secara umum dari suntikan pertama itu butuh waktu kurang lebih empat mingguan dengan suntikan kedua diberikan dua minggu setelah suntikan pertama," ujar Dicky kepada CNNIndonesia.com.
Baca artikel selengkapnya di sini
WHO menyebut meskipun data terbatas, informasi yang tersedia menunjukkan bahwa vaksin COVID-19 yang direkomendasikan WHO saat ini ( AstraZeneca/Oxford, Johnson dan Johnson, Moderna, Pfizer/BionTech, Sinopharm dan Sinovac) aman untuk orang yang hidup dengan HIV.
Produk vaksin yang tersedia saat ini bukanlah vaksin hidup, melainkan termasuk materi genetik dari SARS-CoV-2 yang tidak dapat direplikasi. Oleh karena itu, vaksin ini diperkirakan akan aman pada orang yang kekebalannya terganggu atau dengan HIV.
Selain itu, tidak ada interaksi farmakologis yang dilaporkan antara vaksin COVID-19 dan obat antiretroviral yang harus terus dikonsumsi oleh orang yang hidup dengan HIV setelah vaksinasi untuk menjaga kesehatan mereka dengan melakukan protokol kesehatan.
Hal yang sama juga diungkapkan Unaids. Untuk orang yang hidup dengan HIV, vaksin COVID-19 akan membawa hal yang sama manfaat yang mereka bawa ke semua individu dan komunitas- pencegahan penyakit parah akibat SARS-CoV-2 dan berpotensi mengurangi penularan virus SARS-CoV-2.