Selain jenazah, ada juga tumpukan sampah seperti bekas tenda sampai kaleng oksigen. Jadi selain mendapat sebutan "kuburan tertinggi", Gunung Everest juga mendapat julukan "tong sampah tertinggi di dunia".
Sejak 1922, tercatat lebih dari 300 pendaki meninggal di zona kematian ini.
Kemudian pada 2015, saat ada longsor salju akibat Gempa Nepal dengan guncangan Magnitudo 8, pendaki yang tewas mencapai 19 orang. Seiring berjalannya waktu jumlah mayat di Rainbow Valley terus bertambah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penyebab kematian itu beragam. Selain dari faktor bencana alam seperti badai atau longsor salju, kecelakan sampai nyawa melayang juga disebabkan oleh persiapan yang kurang matang serta kenekatan.
Tak sedikit agen wisata pendakian yang "nakal" di Nepal dan Tibet, yang menjadi dua gerbang pendakian Everest.
Mereka mematok harga murah, tanpa fasilitas dan layanan keamanan yang mumpuni. Akibatnya, banyak "pendaki karbitan" yang memaksa datang, hanya demi kepongahan duniawi.
Foto dan video yang memperlihatkan antrean pendaki di puncak Everest pada tahun 2019 membuat banyak orang semakin khawatir dengan tingkat keamanan pendakian di sana, yang rasanya digadaikan hanya demi cuan.
Komunitas sherpa, suku asli Tibet penghuni kaki gunung dan akhirnya diandalkan menjadi pemandu pendakian, sudah lama mengkritik kondisi ini.
Menurut catatan pejabat Nepal pada tahun 2019, hampir 5.000 pendaki naik ke puncak Gunung Everest.
Hampir setahun lamanya belum ada kabar lagi mengenai tewasnya pendaki di sana, sejak gerbang pariwisata Nepal dan Tibet ditutup di masa pandemi virus Corona.