100 TAHUN PENDAKIAN EVEREST

'Mendaki Everest Berarti Siap Mati'

CNN Indonesia
Senin, 08 Nov 2021 12:30 WIB
Mendaki Gunung Everest, puncak tertinggi di dunia, nyatanya mendekatkan diri kepada Tuhan. Bahkan bagi pendaki yang ateis sekalipun.
Mendaki Gunung Everest, puncak tertinggi di dunia, nyatanya mendekatkan diri kepada Tuhan. Bahkan bagi pendaki yang ateis sekalipun. (Istockphoto/Easyturn)

Bagaimana dengan urusan perut?

Kwecheng: Selain asma, saya juga memiliki penyakit lambung. Saat mendaki memang biasanya napsu makan berkurang, di tambah lagi saat mendaki di luar negeri.

Saat mendaki Everest, saya membawa banyak menu makanan Indonesia, seperti rendang, teri kacang, tempe kering.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain makan menu kontinental yang disediakan sherpa, makan menu kampung halaman juga bisa menguatkan diri dari sisi psikologis. Jadi enggak homesick.

Oh, yang juga masih saya ingat, saya selalu ngemil kurma saat pendakian. Di beberapa pendakian gunung es sebelum Everest, saya sempat membawa cokelat, tapi pas dibuka di tengah jalan malah membeku sepert batako.

Kurma yang dibuang bijinya lalu diisi kacang atau keju sangat menolong. Selain itu biskuit atau buah kering.

Apa faktor berbahaya yang ditemui selama pendakian?

Kwecheng: Longsor gletser dan salju serta badai. Seperti yang saya jelaskan sebelumnya, sisi selatan dan utara memiliki faktor bahayanya masing-masing.

Selain faktor sakit, tahun 1997 saya mendaki di sisi selatan dan hanya berhasil sampai ketinggian 7.000 mdpl juga karena medan esnya yang terlalu menantang.

Area Khumbu Icefall itu terutama. Kita harus menunggu hingga gletser membeku sempurna dan aman dilewati.

Perlu diketahui, selain pendaki, banyak juga sherpa yang meninggal karena harus membuka jalan.

Kalau di sisi utara, faktor berbahayanya jalan yang sempit dan curam. Hanya agensi tertentu yang dapat izin untuk mengantar pendaki melewati sisi ini.

Ada jalur yang hampir vertikal dan cuma muat dilintasi satu orang, sehingga kita harus mendaki bergantian, baik dengan yang hendak naik atau yang hendak turun.

Medan di sisi utara juga lebih terbuka, sehingga angin bisa langsung menerjang. Kalau badai bisa sangat gawat.

Tapi pendaki Indonesia mungkin bisa lebih akrab dengan sisi utara, karena hampir mirip dengan gunung-gunung di Indonesia.

Dan bahaya tak hanya kita temui saat naik. Begitu juga saat turun.

Saat naik mungkin kita masih segar, pemakaian tabung oksigen masih bisa diatur, camilan dan air minum masih banyak.

Tapi saat turun, tubuh sudah lelah, tabung oksigen menipis, dan persediaan konsumsi sudah habis. Banyak pendaki yang meninggal saat turun.

Pendakian Everest memang seperti seleksi alam. Yang jalannya cepat bisa menyalip yang jalannya lambat.

Kesalahan teknis dan bencana alam juga diperparah dengan antrean pendaki yang panjang. Yang mendaki di Everest itu bukan hanya puluhan, tapi juga ratusan, bahkan ribuan.

Bayangkan, ribuan orang kelelahan sambil menahan dingin untuk sampai ke puncak Everest, yang mungkin hanya dijejak 10-20 menit, lalu turun lagi karena harus bergantian dengan pendaki lainnya.

Momen pendakian Gunung Everest oleh tim Seven Summits Indonesia. (Dok. Seven Summits Indonesia)Jalur utara yang berbatu di Gunung Everest. (Dok. Seven Summits Indonesia)

Pernah melihat pendaki yang tewas di depan mata?

Kwecheng: Saat mendaki di sisi utara, saya pernah melihat pendaki asal China yang terpeleset lalu bergelantungan dengan seutas tali di jurang.

Saya tidak bisa menyelamatkannya, karena saat itu saya tidak punya peralatan lebih untuk evakuasi. Jalur yang dilalui juga sedang padat, sehingga saya harus segera melintas.

Saat turun, saya mendengar akhirnya dia diselamatkan sherpa.

Seorang pendaki berarti harus memiliki empati besar, walau harus gagal summit Everest untuk menyelamatkan pendaki lainnya?

Kwecheng: Empati itu bagian dari ekspedisi. Apalagi tujuan naik gunung selain menjadi manusia yang lebih baik?

Selama pendakian rasa empati memang sangat diuji. Kita sebisa mungkin harus menolong pendaki yang sedang kesulitan. Di Everest biasanya masalahnya soal tabung oksigen.

Tapi banyak pendaki yang tak terselamatkan karena ia sudah terlalu payah untuk minta tolong. Wajah-wajah mereka kan juga tertutup google dan masker, sehingga kita tidak bisa langsung melihat ekspresinya saat kesusahan.

Saya pernah mendengar cerita seorang pendaki asal Palestina yang gagal summit karena ia menolong pendaki asal Israel untuk turun.

Sesampainya di base camp, sang pendaki Israel mengatakan kalau dirinya berjanji membiayai pendakian sang pendaki Palestina sebagai ucapan terima kasih telah menolongnya. Kisah yang sangat mengharukan, mengingat dua negara itu punya sejarah konflik.

Kabarnya banyak mayat pendaki yang dibiarkan begitu saja di Everest. Seperti apa kondisinya yang sempat dilihat mata?

Kwecheng: Betul sekali, kabar itu benar adanya, dan saya melihat banyak jenazah bertebaran selama pendakian di selatan dan utara Everest.

Evakuasi jenazah memang mahal, bahkan lebih mahal dari biaya mendakinya sendiri. Belum lagi medannya yang sulit, terutama di sisi utara, karena banyak pendaki yang meninggal di ketinggian di atas 8.000 mdpl.

Kondisi mayat-mayat di sana masih segar, karena dibekukan es. Dari kejauhan nampak sedang terduduk atau tertidur, tapi saat didekati ternyata sudah meninggal.

Mereka masih berpakaian lengkap, dengan google, masker, topi, jaket, sepatu, terkadang tas. Sangat menyedihkan melihatnya.

Di tengah perubahan iklim dan pemanasan global yang lebih cepat terjadi, jenazah-jenazah ini semakin sering bermunculan dari dalam es. Kalau masih memungkinkan, badan mereka diturunkan.

Harga pendakian yang mahal juga sudah termasuk asuransi kecelakaan. Kita sudah menandatanganinya. Kalau wafat di tengah jalan dan ada buktinya, uang asuransi itu bisa diserahkan ke ahli waris.

Artikel ini masih berlanjut ke halaman berikutnya...

'Mendaki Everest Berarti Siap Mati'

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2 3
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER