Seperti apa momen hidup dan mati Anda selama pendakian di Everest?
Kwecheng: Mendaki Everest berarti sudah siap mati.
Membicarakan kematian sudah seperti hal biasa di Everest. Semua pendaki, baik yang pemula sampai profesional sekalipun, tidak luput dari ancaman kematian di sana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelum berangkat, saya sudah minta izin ke ibu untuk mengikhlaskan. Kalaupun saya wafat, biarkan saja jenazah saya di sana, tak perlu repot-repot dibawa pulang ke Indonesia.
Momen hidup dan mati saya di Everest yang pertama saat pendakian tahun 1997. Saat itu lambung saya bermasalah dan harus turun ke base camp.
Menjelang mendekati tenda, badai mulai datang. Penglihatan saya semakin kabur. Sherpa juga tak terlihat. Akhirnya saya memilih duduk sambil memejamkan mata, berharap ada yang melihat saya.
Pikiran soal mati bolak-balik melintas. Saya teringat pesan sherpa sebelum berangkat untuk "mengikhlaskan segala hal dan menyerahkan kepadaNYA". Saya terus berdoa kepada Tuhan, memohon ampun dan keselamatan.
Beberapa menit kemudian mata saya yang awal berat pelan-pelan terbuka. Saya didatangi sherpa yang langsung mengantarkan saya ke tenda. Saya langsung makan, minum, tidur, dan tidak lupa mengucap doa masih bisa selamat.
Tahun 2012 saya mengalami hipoglikemi di base camp. Sampai hari ke-tiga, saya tidak bisa menggerakkan tubuh saya. Pikirannya sama, akan mati.
Hingga akhirnya saya mengikhlaskan diri kepada Tuhan. Bak sebuah keajaiban, di hari ke-empat, di saat matahari bersinar cerah, tubuh saya segar kembali dan bisa melanjutkan pendakian.
Gunung Everest selama ini dianggap sebagai gunung suci oleh penduduk sekitarnya, dan anggapan itu memang benar adanya.
Di puncak tertinggi ini, Tuhan serasa lebih dekat dengan kita.
Banyak pendaki yang datang dengan "ego" besar memecahkan rekor ini dan itu. Tapi pada akhirnya, sisi spiritual mereka ikut "tersentil" akan keagungan Sang Pencipta, bahkan bagi para pendaki yang awalnya mengaku ateis.
Sudah melewati berbagai momen hidup dan mati selama pendakian, apa yang Anda rasakan setelah berhasil summit di puncak gunung tertinggi di dunia?
Kwecheng: Saya summit di pagi hari, jadi antrean masih belum penuh, sehingga bisa merasakan 25 menit berada di puncak Everest.
Puncak Everest itu kecil. Luasnya 4x4 meter persegi mungkin. Kanan kirinya jurang, jadi tak bisa banyak-banyak orang. Mungkin 15 orang dalam sekali waktu masih cukup. Jadi kalau sudah terlalu penuh, ada ranger yang meminta pendaki yang sudah lama di atas untuk turun.
Haru sudah pasti. Sujud syukur lalu mengambil dokumentasi. Saking membuncahnya perasaan, saya hampir gagal merekam video. Rasanya masih tak percaya bisa berada di puncak tertinggi dunia.
Sejauh mata memandang, hanya hamparan gunung es dan langit yang terlihat. Mungkin seperti di surga. Tuhan terasa besar dan dekat, dan saya sebagai umatNYA terasa sangat kecil dan tidak berdaya. Haru sekali kalau diingat-ingat lagi.
Lucunya, di tengah keharuan saya dan teman, kami melihat kawanan sherpa yang asyik membakar rokok kretek, minum kopi, sambil berbincang di pinggir jurang.
Mereka terlihat santai, tanpa masker oksigen bahkan lepas jaket, seakan tak perlu membuktikan ego kepada siapapun bahwa mereka sudah sering bolak-balik ke puncak Everest hahaha...
![]() |
Sherpa memang sudah seperti manusia super, ya?
Kwecheng: Betul sekali. Saya sepakat dengan anggapan bahwa kalau ada superhero di dunia nyata, maka itu adalah sherpa.
Anak gunung yang paling anak gunung ya itu sherpa.
Intuisinya sudah tak terbantahkan lagi. Bahkan pengelola agensi yang kebanyakan orang Barat mengakui, kalau pendakian Everest tidak akan ada tanpa adanya sherpa.
Mustahil mendaki Everest tanpa sherpa.
Saya sendiri pernah melihat ada sherpa yang hanya mengenakan jaket seadanya dan celana jeans naik turun mengantarkan makanan di ketinggian 6.000 mdpl. Sementara pendaki lainnya sedang lunglai dengan jaket tebal dan tabung oksigennya.
Sherpa juga mengajarkan pendaki untuk menghormati gunung, yang selaras dengan penghormatan kepada Tuhan, apapun latar belakang agama pendaki.
Dengan menghormati alam, pendaki bisa menyadari kekuatan diri, yang akhirnya menghindarkan mereka sendiri dari ancaman-ancaman bahaya yang biasanya disebabkan oleh kenekatan akibat ingin "menaklukan gunung".
Sejarah pendakian Everest sudah 100 tahun lamanya. Apa evolusi terbesar yang ada lihat?
Kwecheng: Perlengkapan mendaki gunung semakin modern, ringan, dan memudahkan.
Hingga tahun 1990-an, tabung oksigen masih sangat berat. Sekarang, tabungnya berbahan alumunium yang dibungkus karbon, sehingga lebih ringan.
Belum lagi terobosan baru dalam hal jaket dan sepatu. Kita sebagai pendaki kini bisa tetap melindungi diri tanpa harus terhalang bahan yang tebal atau berat.
Tapi saya tetap angkat topi dengan para pendaki perintis. Di tengah keminiman teknologi dan teknik, mereka tetap bisa menjadi pionir summit di gunung-gunung, bahkan yang seterjal Everest.
Bayangkan, tim Inggris dulu bisa mendaki Everest dengan perlengkapan berlapis-lapis dan berat, sepatu dengan balutan wol berlapis-lapis agar tetap hangat.
Sudah pernah summit di Everest, apakah akan berencana ke sana lagi? Atau ada mimpi pendakian lainnya?
Kwecheng: Kalau bisa dibilang, saya sudah tidak ada lagi ambisi ke Everest. Tapi kalau diminta memandu pendaki-pendaki generasi muda Indonesia, saya siap melakukannya.
Mimpi pendakian saya lainnya ialah summit di K2, gunung tertinggi ke-dua di dunia yang ada di Pakistan, juga Khakaborazi yang merupakan gunung tertinggi di Asia Tenggara.
Ketinggian Khakaborazi bisa dibilang masih kontroversi, karena sempat ada tim Jepang yang ke sana, namun belum bisa membuktikan ketinggiannya.
Saya dan tim dari Indonesia punya rencana ke sana, kami sudah berlatih di Gunung Raung di Jawa Timur sampai Gunung Cook di Selandia Baru pada 2019, namun sayangnya awal tahun 2020 seluruh dunia lockdown. Konflik di Myanmar juga belum reda.
Doakan saja situasi membaik, sehingga tim Indonesia bisa menjadi yang pertama summit dan membuktikan ketinggian Khakaborazi. Tentu saja ini bisa menjadi prestasi bersejarah bagi pendakian Tanah Air dan dunia.
Untuk pendakian K2, saya masih harus meminta izin lebih lanjut dengan istri saya hehehe... Berhubung sekarang sudah berkeluarga dan punya anak, izinnya tidak cuma kepada orangtua saja.
Pendakian di K2 juga tak kalah berbahaya dengan Everest, jadi saya harus menyiapkan fisik dan mental. Sudah harus siap-siap lagi kehilangan nyawa jika Tuhan punya rencana lain untuk saya di sana.
(ard/ard)