Jakarta, CNN Indonesia --
Ada kebanggaan tersendiri ketika orangtua punya anak yang pandai baca, tulis, hitung (calistung) sejak usia dini.
Namun Kurniawan Satria Denta, dokter spesialis anak di Mayapada Hospital Kuningan, menyebut anak yang bisa calistung (baca, tulis, hitung) pra sekolah dengan yang baru bisa saat masuk sekolah dasar, nantinya kemampuan mereka akan setara di tahun ketiga dan keempat.
Lewat akun Twitter @sdenta, dia mengungkapkan fakta bahwa semuanya berdasarkan riset American Academic of Pediatric (AAP).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Denta menuturkan riset menggunakan metode survei terhadap orang tua di AS. Ada kelompok orang tua dengan anak yang bisa calistung sebelum tahun pertama sekolah, kemudian ada orang tua dengan anak yang baru bisa calistung di tahun pertama sekolah.
"Begitu tahun ketiga, tahun keempat, yang bisa calistung lebih awal enggak jadi lebih tinggi kemampuannya tapi sama. Lalu yang [dianggap] telat, padahal enggak telat, normal, ketika tahun ketiga dan keempat kemampuannya enggak jauh beda," ujar Denta saat dihubungiCNNIndonesia.com, Selasa (16/11).
Meski sudah ada penelitian tentang calistung dari AAP maupun penelitian lain, nyatanya kemampuan calistung memang masih diletakkan sebagai kemampuan yang sangat penting terlebih saat masuk sekolah.
Denta menyebut orang tua khawatir akan kemampuan calistung anak sebab banyak sekolah menerapkan ujian calistung. Padahal ujian calistung yang diselenggarakan sekolah tidak semua bertujuan menyaring calon murid. Sebagian sekolah lain menggunakan ujian calistung untuk menilai kemampuan anak sehingga sekolah bisa mengatur kelas dan pengajar yang sesuai.
"Namanya ujian, walau peruntukannya skrining [atau menilai kemampuan anak] orang tua tetap tertekan. Jadi mereka anak harus bisa calistung sebelum 6 tahun," katanya.
"Kemudian kalau memperhatikan respons tweet saya, disebut beban belajar anak kelas 1 dan 2 mensyaratkan kalau anak bisa calistung [proses pembelajaran] akan lebih mudah, beban orang tua ngajarin anak lebih ringan dibanding anak yang belum bisa calistung, apalagi sekarang anak belajar satu hal ya, tematik. Di satu tema ada matematika, sains, sosial, jadi satu."
Di samping itu, ada peer pressure yang dirasakan orang tua. Orang tua merasa tertekan akibat melihat anak-anak lain yang kemampuannya cemerlang baik melihat langsung maupun dari media sosial. Ini pun jadi faktor yang membuat orang tua mendorong anak untuk bisa berbagai macam hal termasuk calistung.
Bersambung ke halaman selanjutnya...
Terlalu fokus pada kognitif
Kemampuan calistung, kata Denta, sudah masuk ke ranah kemampuan kognitif yakni proses berpikir. Kemampuan calistung memang baru layak dikhawatirkan setelah anak usia 5-6 tahun. Justru usia di bawah 5 tahun, orang tua lebih layak untuk khawatir akan hal lain.
Dia menjelaskan kemampuan kognitif dasarnya adalah kemampuan-kemampuan yang berkaitan dengan perkembangan dari 4 domain yakni, kemampuan motorik (kasar dan halus), kemampuan interaksi sosial, kemampuan kognitif atau kecerdasan (berpikir, belajar dan mengingat) dan kemampuan bahasa (bicara, menangkap situasi, mengekspresikan diri). Orang tua kerap tidak khawatir dengan kemampuan motorik, interaksi sosial maupun kemampuan bahasa.
"Kemampuan bicara, misal, itu bukan sesuatu yang dites secara formal. Di PAUD ada kompetensi inti dan dasar, itu ada [dan anak dinilai dari situ]. Memberikan salam, itu kemampuan yang kadang orang tua merasa kalau anak bisa, itu hal yang wajar. Padahal ada anak yang enggak bisa," imbuhnya.
Akan tetapi, tidak jadi soal jika orang tua memang ingin kemampuan kognitif anak cemerlang. Orang tua ambisius pun sah-sah saja. Namun Denta memberikan catatan bahwa ekspektasi maupun ambisi harus terukur sesuai dengan capaian normal atau sesuai usia anak.
Ekspektasi terhadap anak 5 tahun, misal, anak diharapkan bisa mandiri, bercerita, mengenakan baju, makan sendiri dan bermain sendiri. Dia menekankan, orang tua perlu terus memonitor tumbuh kembang anak bukan dari membandingkan dengan tumbuh kembang anak orang lain. Orang tua perlu melakukan skrining rutin di klinik tumbuh kembang atau dokter anak. Para ahlinya akan menggunakan 'tools' yang sesuai untuk skrining dan menilai sampai mana perkembangan anak.
"Melihat tetangga anaknya bisa begini, begitu, lalu khawatir. Rasa khawatir ini jadi pengingat saja untuk cek skrining yang dilakukan kemarin. Oh ternyata baik-baik saja," katanya.
Ciptakan lingkungan belajar yang kondusif
Ingin anak cepat belajar calistung? Denta menuturkan cara utama adalah memberikan contoh buat anak. Membaca, misal, saat orang tua rajin membaca buku, koran, anak pun akan tertarik, penasaran lalu timbul keinginan untuk melakukan apa yang dilakukan orang tuanya. Begitu pula dengan menulis dan berhitung. Orang tua bisa mulai menulis di dekat anak.
"Kalau kita sering main HP, anak jadinya lebih pengen main HP. Utamanya memberikan contoh," katanya.
Pada dasarnya, lanjut Denta, fitrah anak itu penasaran sehingga orang tua harus mendukung rasa penasaran anak. Orang tua menciptakan dukungan lewat lingkungan belajar yang kondusif sehingga anak bersemangat dan senang belajar. Namun ini tetap pada koridor capaian kognitif sesuai usia.
Usia 6 tahun, misal, bisa berhitung 1-5. Kemudian orang tua memberikan dukungan dengan berbagai cara agar anak terpapar angka-angka ini misal dengan hiasan angka, permainan, buku-buku permainan sesuai usia. Dalam proses ini orang tua diharapkan benar-benar hadir, bukan sekadar menuntut anak untuk bisa.
Kemampuan atau kecerdasan anak memang tidak selalu soal calistung. Bagaimana jika orang tua ingin menggali bakat anak?
Denta berkata hal pertama dan utama yang harus diperhatikan orang tua adalah fondasi anak harus kokoh termasuk fondasi kesehatannya, nutrisi optimal, juga stimulasi sesuai usia. Menurut dia, perkembangan otak harus dijaga di 5 tahun pertama sebab terlewat dari 5 tahun, akan cukup sulit mengejarnya.
"Begitu anak sudah sampai goal yakni bisa mandiri, baru mulai kelihatan bakat anak, dia pengennya apa. Itu pun tidak akan jauh-jauh dari apa yang biasa dia lihat di sekeliling," katanya.