Di zaman kiwari, tradisi ngabuburit telah mengalami pergeseran makna. Jika dulu kegiatan ini identik dengan sesuatu yang dilakukan bersama-sama, ngabuburit kiwari justru lebih individual.
Tak sedikit masyarakat yang memilih ngabuburit dengan berkeliling naik mobil atau motor, bahkan ada juga yang ngabuburit di mal.
Tentunya, esensi ngabuburit ini berubah karena tidak lagi menyongsong Magrib, tetapi jalan-jalan biasa seperti bulan lain di luar Ramadan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tentu ini tidak lepas dari public space atau area terbuka yang semakin berkurang. Jadi pilihan ke mal untuk ngabuburit pun dipilih masyarakat," katanya.
Pergeseran kegiatan ini sedikit banyak cukup meninggalkan luka bagi Hawe. Bukan tanpa alasan, ngabuburit yang seyogianya bisa menjadi ajang silaturahmi bergeser menjadi mejeng di mal.
Dengan perubahan ini, kegiatan ngabuburit pun jadi lebih monoton karena hanya berada di mal tanpa ada interaksi alami dengan orang lain.
Oleh karena itu, menurut Hawe, sudah saatnya masyarakat berpikir untuk kembali melestarikan budaya ngabuburit seperti sedia kala.
Salah satu caranya adalah dengan tersedianya ruang publik yang lebih banyak. Cara ini perlu dilakukan oleh para pemangku kebijakan.
"Tentunya ruang publik yang bisa diakses oleh berbagai kalangan dan nyaman," kata dia.
Selain itu, menghidupkan kembali area publik sebagai pusat jajanan pasar atau kuliner murah meriah juga perlu dilakukan.
Tak hanya itu, peran permainan tradisional juga penting. Hal ini perlu dilakukan agar anak bisa memanfaatkan ngabuburit dengan sesuatu yang positif, mengenal mainan-mainan zaman baheula.
Dengan demikian, ngabuburit akan kembali terasa lebih hangat.
(tst/asr)