Jakarta, CNN Indonesia --
Studi terbaru menunjukkan bahwa Covid-19 dengan gejala ringan sekalipun berpotensi mengecilkan otak.
Hal ini bisa menyebabkan perubahan fisik pada manusia yang setara dengan proses penuaan dalam satu dekade.
"Ada bukti cedera neurologis [setelah Covid-19] yang persisten," kata Ayush Batra, ahli saraf di Fakultas Kedokteran Universitas Northwestern Feinberg dikutip dari National Geographic.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami melihat bukti biologis dan biokimianya, kami [juga] melihat bukti radiografinya, dan yang terpenting, pasien mengeluhkan gejalanya. Ini memengaruhi kualitas hidup dan fungsi mereka sehari-hari."
Batra bersama rekan-rekannya, menemukan indikator cedera neuron otak di antara pasien yang lama terkena Covid-19 dengan gejala neurologis.
Kerusakan saraf pada pasien Covid-19 dengan gejala ringan juga dilakukan oleh peneliti Inggris. Mereka menyelidiki perubahan otak pada pasien sebelum dan sesudah mereka terkena penyakit tersebut.
Dalam penelitian ini mereka melibatkan 785 peserta, berusia antara 51 dan 81 tahun, yang telah dipindai sebelum ada pandemi. Otak mereka dipindai secara berkala selama tiga tahun sebagai bagian dari proyek Biobank Inggris.
Tes atau catatan medis menunjukkan bahwa sebanyak 401 sukarelawan terinfeksi SARS-CoV-2. Sebagian besar mengalami infeksi ringan, dan hanya 15 di antaranya dirawat di rumah sakit.
Setelah empat setengah bulan terinfeksi Covid-19 dengan gejala ringan, pasien kembali diperiksa. Mereka rata-rata kehilangan antara 0,2 dan 2 persen volume otak dan memiliki materi abu-abu atau kabut tipis menyelubungi otak yang tidak ditemukan pada orang sehat.
Sebagai perbandingan, orang yang sudah tua kehilangan antara 0,2 dan 0,3 persen materi abu-abu yang membungkus otak atau hippocampus yang berkaitan dengan ingatan.
Sementara itu pada bagian otak yang terkait dengan penciuman, pasien Covid-19 juga mengalami kerusakan jaringan 0,7 persen lebih banyak dibandingkan orang sehat.
Respons kognitif peserta yang terinfeksi Covid-19 juga menurun lebih cepat dibandingkan saat sebelum sakit. Mereka membutuhkan waktu 8 dan 12 persen lebih lama pada dua tes yang mengukur perhatian, kemampuan penyaringan visual, dan kecepatan pemrosesan.
Kendati demikian, para pasien tidak secara signifikan lebih lambat dalam mengingat, bereaksi, atau penalaran.
"Kami pada gilirannya dapat menghubungkan penurunan kemampuan mental yang lebih besar ini dengan hilangnya materi abu-abu mereka yang lebih besar di bagian tertentu dari otak," kata Gwenaëlle Douaud, seorang ahli saraf di Universitas Oxford yang memimpin penelitian di Inggris.
Secara keseluruhan, hasil penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa skor pasien Covid-19 secara signifikan lebih rendah dalam tes perhatian, memori, dan fungsi eksekutif dibandingkan dengan orang sehat.
Jacques Hugon, ahli saraf di Rumah Sakit Universitas Paris Lariboisiere, menambahkan bahwa dirinya tidak memastikan penyebab kerusakan tersebut.
"Kami tidak tahu persis apa yang terjadi di otak," kata Hugon yang memperkirakan kerusakan otak akibat Covid-19 akan berkembang menjadi berbagai gangguan neurodegeneratif.
"Kami tidak tahu pasti saat ini, tetapi itu adalah risiko, dan kami harus memantau [pasien] dengan sangat hati-hati untuk tahun-tahun mendatang."
Jauh sebelum penelitian itu dilakukan, infeksi virus Covid-19 diketahui menyebabkan gangguan kognitif jangka panjang. Hal itu dikarenakan Covid-19 mempengaruhi pernapasan, sehingga otak pasien kekurangan oksigen, seperti yang terlihat dalam data otopsi dari Finlandia.
Dalam kasus yang jarang terjadi, Covid-19 juga dapat merusak otak dengan menyebabkan ensefalitis, yaitu peradangan otak. Secara lebih luas, Covid-19 menimbulkan respons imun yang memicu badai protein disebut sitokin dan peradangan di seluruh tubuh.
Peradangan jangka panjang telah terbukti meningkatkan penurunan kognitif dan penyakit neurodegeneratif sehingga dapat menyebabkan degenerasi saraf di antara para penyintas Covid-19.
Covid-19 juga meningkatkan risiko pembekuan darah hingga enam bulan, yang membuat jaringan otak kekurangan oksigen dan berakibat stroke. Bahkan, seorang pasien Covid-19 meninggal karena darah beku bersarang di kapiler otak.
 Foto: Istockphoto/Cecilie_Arcurs ilustrasi pusing |
Tak hanya menyebabkan stroke, Covid-19 juga memicu beberapa gangguan neurologis. Beberapa ilmuwan bahkan khawatir bahwa orang yang selamat dari Covid-19 dapat berisiko lebih tinggi terkena penyakit Alzheimer.
Menurut laporan, pasien Covid-19 berusia masih muda meninggal karena ada protein yang disebut beta-amyloid di otaknya.
Studi juga menemukan bukti langsung virus SARS-CoV-2 menyerang otak. Sebuah studi yang digagas oleh Institut Kesehatan Nasional AS, menunjukkan virus SARS-CoV-2 menyebar jauh melampaui paru-paru dan saluran pernapasan.
Studi ini menunjukkan bahwa ketidakmampuan sistem kekebalan untuk membersihkan virus dari tubuh bisa menjadi kontributor potensial untuk gejala Covid-19 yang berkepanjangan, termasuk pemicu kabut otak.
Seperti yang diketahui sejumlah penyintas Covid-19 di Amerika mengeluh gangguan kognisi, yang biasa digambarkan sebagai kabut otak. Mereka mengalami hilang ingatan akut, konsentrasi yang buruk, melamun di tengah percakapan, hingga gagal mengucapkan sebuah kata dalam satu kalimat.
Dilaporkan bahwa sekitar 80 juta orang Amerika yang sembuh dari Covid-19, satu dari setiap empat orang di antaranya menderita gangguan kognisi, yang biasa digambarkan sebagai kabut otak. Istilah itu sebenarnya bukan istilah medis.
Namun, Edward Shorter, seorang profesor psikiatri di University of Toronto, mengatakan bahwa istilah itu kini sangat umum digunakan untuk menggambarkan serangkaian gejala.
Gejala yang dimaksud adalah kebingungan, kesulitan menemukan kata-kata, kehilangan memori jangka pendek, pusing, atau ketidakmampuan untuk berkonsentrasi yang dialami oleh penyintas Covid-19.